Mengapa konflik enggan sirna dari Papua?
A
A
A
Sindonews.com - Kasus penembakan terhadap warga sipil dan aparat keamanan baru-baru ini, menambah daftar panjang kasus kekerasan di 'Bumi Cendrawasih'. Tak pelak, dipastikan penyelesaian kisruh tersebut akan menemui jalan yang panjang.
Kasus penembakan seolah menjadi catatan biasa di sana. Nyawa melayang sia-sia seolah menjadi ritual penting demi sebuah ekspektasi. Lantas mengapa polemik berkepanjangan enggan sirna dari tanah Papua?.
Pengamat Intelejen Wawan Purwanto menyebut, hal itu lantaran banyaknya kelompok dan faksi yang terdapat di Papua. Sebut saja salahsatunya kelompok pegunungan, dan kelompok pantai.
Kelompok bersenjata yang ada di sana, dinilainya tak mau diajak berunding untuk mencari solusi alternatif pemecahan masalah tersebut.
Menurut Wawan, kelompok bersenjata di Papua bersifat fragmentatif alias terkotak-kotak. Dengan begitu, berbagai kepentingan sudah tentu akan diperjuangkan masing-masing kelompok tersebut.
"Kelompok di Papua tidak satu komando, jadi sulit bagi pemerintah melakukan penyelesaian terhadap kelompok-kelompok bersenjata di Papua," jelas Wawan kepada Sindonews, Sabtu (2/3/2013).
Dengan begitu, pemerintah saat ini merasa kesulitan untuk melakukan penyelesaian konflik di sana. Bagaimana tidak, lanjutnya, banyaknya kelompok tentu akan semakin banyak pula kekerasan dan penembakan sebagai bentuk eksistensi mereka.
Dikatakannya, kelompok Pantai di Papua lebih melunak dengan pemerintah. Lantaran, keinginan kelompok pantai tidak terlalu rumit, yakni referendum. Sementara, kelompok pegunungan menginginkan kemerdekaan.
Permasalahan tersebut tentu saja sangat berbeda dengan kondisi keadaan konflik di tanah rencong (Aceh) yang diprakarsai oleh Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
"GAM saat itu bersifat satu komando, dan satu perjuangan untuk tujuan kemerdekaan, sehingga pemerintah tidak sulit untuk mengatasi dan mengintegrasikannya," jelasnya.
Maka itu, Wawan menyarankan agar pemerintah tidak melakukan pendekatan dengan cara-cara militer seperti yang selalu dilakukannya saat ini. Hal itu, kata dia, justru akan menimbulkan kemarahan yang semakin menjadi dari para kelompok-kelompok tersebut.
Selain itu, pemerintah dinilainya harus melakukan pemetaan terhadap kelompok-kelompok bersenjata di Papua, setelah itu dilanjutkan dengan pendekatan secara personal.
"Khususnya yang tinggal di pegunungan yang kukuh untuk merdeka," jelasnya.
Sementara terkait persenjataan yang dimiliki para kelompok bersenjata tersebut, menurut Wawan, hal itu didapatkan dari hasil rampasan tentara dan pasokan yang didapatkan dari penyuplai dana mereka.
Meski jumlah kekuatan estimasi mereka dikatakan tak banyak, namun hal ini tentu menjadi ancaman besar bagi pemerintah karena tentu mereka akan terus melakukan pengembangan.
"Mereka mudah mempengaruhi masyarakat untuk bergabung dan mendapat dukungan atau simpati dari mereka, hal itu juga tentu harus diwaspadai pemerintah dengan melibatkan unsur kepala daerah atau tokoh masyarakat setempat," jelasnya.
Kasus penembakan seolah menjadi catatan biasa di sana. Nyawa melayang sia-sia seolah menjadi ritual penting demi sebuah ekspektasi. Lantas mengapa polemik berkepanjangan enggan sirna dari tanah Papua?.
Pengamat Intelejen Wawan Purwanto menyebut, hal itu lantaran banyaknya kelompok dan faksi yang terdapat di Papua. Sebut saja salahsatunya kelompok pegunungan, dan kelompok pantai.
Kelompok bersenjata yang ada di sana, dinilainya tak mau diajak berunding untuk mencari solusi alternatif pemecahan masalah tersebut.
Menurut Wawan, kelompok bersenjata di Papua bersifat fragmentatif alias terkotak-kotak. Dengan begitu, berbagai kepentingan sudah tentu akan diperjuangkan masing-masing kelompok tersebut.
"Kelompok di Papua tidak satu komando, jadi sulit bagi pemerintah melakukan penyelesaian terhadap kelompok-kelompok bersenjata di Papua," jelas Wawan kepada Sindonews, Sabtu (2/3/2013).
Dengan begitu, pemerintah saat ini merasa kesulitan untuk melakukan penyelesaian konflik di sana. Bagaimana tidak, lanjutnya, banyaknya kelompok tentu akan semakin banyak pula kekerasan dan penembakan sebagai bentuk eksistensi mereka.
Dikatakannya, kelompok Pantai di Papua lebih melunak dengan pemerintah. Lantaran, keinginan kelompok pantai tidak terlalu rumit, yakni referendum. Sementara, kelompok pegunungan menginginkan kemerdekaan.
Permasalahan tersebut tentu saja sangat berbeda dengan kondisi keadaan konflik di tanah rencong (Aceh) yang diprakarsai oleh Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
"GAM saat itu bersifat satu komando, dan satu perjuangan untuk tujuan kemerdekaan, sehingga pemerintah tidak sulit untuk mengatasi dan mengintegrasikannya," jelasnya.
Maka itu, Wawan menyarankan agar pemerintah tidak melakukan pendekatan dengan cara-cara militer seperti yang selalu dilakukannya saat ini. Hal itu, kata dia, justru akan menimbulkan kemarahan yang semakin menjadi dari para kelompok-kelompok tersebut.
Selain itu, pemerintah dinilainya harus melakukan pemetaan terhadap kelompok-kelompok bersenjata di Papua, setelah itu dilanjutkan dengan pendekatan secara personal.
"Khususnya yang tinggal di pegunungan yang kukuh untuk merdeka," jelasnya.
Sementara terkait persenjataan yang dimiliki para kelompok bersenjata tersebut, menurut Wawan, hal itu didapatkan dari hasil rampasan tentara dan pasokan yang didapatkan dari penyuplai dana mereka.
Meski jumlah kekuatan estimasi mereka dikatakan tak banyak, namun hal ini tentu menjadi ancaman besar bagi pemerintah karena tentu mereka akan terus melakukan pengembangan.
"Mereka mudah mempengaruhi masyarakat untuk bergabung dan mendapat dukungan atau simpati dari mereka, hal itu juga tentu harus diwaspadai pemerintah dengan melibatkan unsur kepala daerah atau tokoh masyarakat setempat," jelasnya.
(rsa)