Gedung Bundar, bangunan canggih di era kolonial
A
A
A
Kota Magelang menjadi salah satu daerah yang strategis karena keberadaannya di tengah-tengah Jawa Tengah. Selain dikenal dengan penataan kota yang cukup bersih, Kota Magelang ternyata menyimpan sejarah penting terutama bagi warga Thionghoa.
Banyak sekali bukti sejarah kejayaan Thionghoa yang dapat ditemui di sejumlah sudut kota ini. Seperti bangunan-bangunan tua yang didirikan pada masa kolonial Belanda, sampai saat ini masih kokoh berdiri. Tentu, bangunan tersebut memiliki peran penting pada masanya. Baik di bidang pendidikan, tata kota, ekonomi, sosial, seni, budaya, dan lain sebagainya.
Setidaknya, hal itulah yang melahirkan ide Komunitas Magelang Kota Toea menyelenggarakan kegiatan bertajuk ‘Djeladjah Petjinan Magelang’, kemarin.
Kegiatan yang bertujuan mengenal dan mengenang sejarah Thionghoa tersebut diikuti oleh sebanyak 50 peserta yang mayoritas adalah anak muda, baik dari Magelang, Yogyakarta bahkan Jakarta. Mereka diajak ber-napak tilas dengan mengunjungi sejumlah tempat-tempat peninggalan warga keturunan Tionghoa atau dikenal dengan sebutan Pecinan.
"Kita ingin mengenalkan kepada mereka seperti apa peradaban Tionghoa masa lalu di Kota Magelang, melalui bangunan-bangunan yang masih ada, kuliner hingga budaya masyakarat setempat saat ini. Menunjukkan bahwa antara warga keturunan Tionghoa dan pribumi hidup harmonis dan saling berdampingan," kata Bagus Priyana, Ketua Komunitas Magelang Kota Toea di sela-sela kegiatan, Minggu 17 Februari 2013.
Sekitar pukul 08.00 WIB, peserta memulai napak tilas dengan berjalan menempuh jarak sekira dua kilometer, dengan rute mulai tempat ibadah umat Tionghoa kelenteng Liong Hok Bio di kawasan alun-alun Magelang. Kemudian menuju Kampung Djuritan, di kampung tersebut peserta diajak menikmati jajanan legendaris seperti jenang dan Dawet Magelangan.
Setelah itu, mereka menuju Gedung Bundar di Jalan Sriwijaya Keplekan. Sebuah bangunan unik dengan arsitektur setengah lingkaran.
"Ini bangunan unik satu-satunya di Kota Magelang. Di Indonesia hanya ada dua, satunya di Bandung. Jaman dahulu belum ada teknologi komputer, tapi mereka sudah bisa bikin arsitektur demikian canggih, misalnya kaca jendela yang bisa geser setengah lingkaran dan masih banyak lagi," terangnya.
Perjalanan dilanjutkan ke bangunan bekas pabrik cerutu Ko Kwat Le di kawasan pasar Tarumanegara . Saat ini, bangunan itu sudah menjadi bangunan sekolah SMA Negeri 3 dan SMA Bhakti Tunas Harapan Kota Magelang.
“Pabrik cerutu tersebut berdiri sekitar tahun 1900 -1950an, produk cerutunya bahkan terkenal sampai Eropa,” papar Bagus.
Bukan hanya mengenal bangunan, peserta juga berkesempatan mengetahui secara detail dengan mengunjungi salah seorang ahli waris pabrik cerutu di Jalan Majapahit, lalu ke kawasan pertokoan pecinan dan diakhiri dengan mengunjungi seorang pengrajin bangrosai satu-satunya di Magelang di Jalan Daha.
"Kami ingin masyarakat, pecinta sejarah dan juga Pemerintah Kota Magelang tahu bahwa kota ini memiliki kekayaan budaya yang luar biasa yang harus dilestarikan. Melalui langkah kecil ini pula diharapkan kita semakin mencintai Magelang dan menghargai sejarah," harapnya.
Fathan (21) salah satu peserta dari Mertoyudan Kabupaten Magelang mengaku senang bisa mengikuti kegiatan itu. Menurutnya, melalui kegiatan tersebut selain bisa mengisi liburan sekaligus juga bisa menambah pengetahuan dan pengalaman.
"Senang sekali bisa ikut kegiatan ini, biasa tahu sejarah Kota Magelang yang ternyata luar biasa, walaupun saya dari Kabupaten Magelang, tapi tetap membuat saya bangga jadi warga Magelang," ujarnya.
Kegiatan tersebut, imbuhnya, dapat memberikan pengetahuan yang mendalam mengenai sejarah Thionghoa maupun Kota Magelang secara umum.
“Saya semakin paham, harapannya semua masyarakat Kota Magelang dapat selalu menjaga persatuan meski harus bermacam suku dan perbedaan,” tandasnya.
Banyak sekali bukti sejarah kejayaan Thionghoa yang dapat ditemui di sejumlah sudut kota ini. Seperti bangunan-bangunan tua yang didirikan pada masa kolonial Belanda, sampai saat ini masih kokoh berdiri. Tentu, bangunan tersebut memiliki peran penting pada masanya. Baik di bidang pendidikan, tata kota, ekonomi, sosial, seni, budaya, dan lain sebagainya.
Setidaknya, hal itulah yang melahirkan ide Komunitas Magelang Kota Toea menyelenggarakan kegiatan bertajuk ‘Djeladjah Petjinan Magelang’, kemarin.
Kegiatan yang bertujuan mengenal dan mengenang sejarah Thionghoa tersebut diikuti oleh sebanyak 50 peserta yang mayoritas adalah anak muda, baik dari Magelang, Yogyakarta bahkan Jakarta. Mereka diajak ber-napak tilas dengan mengunjungi sejumlah tempat-tempat peninggalan warga keturunan Tionghoa atau dikenal dengan sebutan Pecinan.
"Kita ingin mengenalkan kepada mereka seperti apa peradaban Tionghoa masa lalu di Kota Magelang, melalui bangunan-bangunan yang masih ada, kuliner hingga budaya masyakarat setempat saat ini. Menunjukkan bahwa antara warga keturunan Tionghoa dan pribumi hidup harmonis dan saling berdampingan," kata Bagus Priyana, Ketua Komunitas Magelang Kota Toea di sela-sela kegiatan, Minggu 17 Februari 2013.
Sekitar pukul 08.00 WIB, peserta memulai napak tilas dengan berjalan menempuh jarak sekira dua kilometer, dengan rute mulai tempat ibadah umat Tionghoa kelenteng Liong Hok Bio di kawasan alun-alun Magelang. Kemudian menuju Kampung Djuritan, di kampung tersebut peserta diajak menikmati jajanan legendaris seperti jenang dan Dawet Magelangan.
Setelah itu, mereka menuju Gedung Bundar di Jalan Sriwijaya Keplekan. Sebuah bangunan unik dengan arsitektur setengah lingkaran.
"Ini bangunan unik satu-satunya di Kota Magelang. Di Indonesia hanya ada dua, satunya di Bandung. Jaman dahulu belum ada teknologi komputer, tapi mereka sudah bisa bikin arsitektur demikian canggih, misalnya kaca jendela yang bisa geser setengah lingkaran dan masih banyak lagi," terangnya.
Perjalanan dilanjutkan ke bangunan bekas pabrik cerutu Ko Kwat Le di kawasan pasar Tarumanegara . Saat ini, bangunan itu sudah menjadi bangunan sekolah SMA Negeri 3 dan SMA Bhakti Tunas Harapan Kota Magelang.
“Pabrik cerutu tersebut berdiri sekitar tahun 1900 -1950an, produk cerutunya bahkan terkenal sampai Eropa,” papar Bagus.
Bukan hanya mengenal bangunan, peserta juga berkesempatan mengetahui secara detail dengan mengunjungi salah seorang ahli waris pabrik cerutu di Jalan Majapahit, lalu ke kawasan pertokoan pecinan dan diakhiri dengan mengunjungi seorang pengrajin bangrosai satu-satunya di Magelang di Jalan Daha.
"Kami ingin masyarakat, pecinta sejarah dan juga Pemerintah Kota Magelang tahu bahwa kota ini memiliki kekayaan budaya yang luar biasa yang harus dilestarikan. Melalui langkah kecil ini pula diharapkan kita semakin mencintai Magelang dan menghargai sejarah," harapnya.
Fathan (21) salah satu peserta dari Mertoyudan Kabupaten Magelang mengaku senang bisa mengikuti kegiatan itu. Menurutnya, melalui kegiatan tersebut selain bisa mengisi liburan sekaligus juga bisa menambah pengetahuan dan pengalaman.
"Senang sekali bisa ikut kegiatan ini, biasa tahu sejarah Kota Magelang yang ternyata luar biasa, walaupun saya dari Kabupaten Magelang, tapi tetap membuat saya bangga jadi warga Magelang," ujarnya.
Kegiatan tersebut, imbuhnya, dapat memberikan pengetahuan yang mendalam mengenai sejarah Thionghoa maupun Kota Magelang secara umum.
“Saya semakin paham, harapannya semua masyarakat Kota Magelang dapat selalu menjaga persatuan meski harus bermacam suku dan perbedaan,” tandasnya.
(ysw)