Kasus KDRT Kota Blitar seperti gunung es
A
A
A
Sindonews.com - Kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang dilakukan seorang suami terhadap istri di Kota Blitar cenderung meningkat.
Dari semula tiga kasus pada tahun 2009, jumlah meningkat menjadi 20 kasus pada tahun 2010. Pada tahun 2011 terjadi penurunan 13 kasus. Namun pada tahun 2012 kekasaran suami terhadap pasangan hidupnya melonjak menjadi 16 kasus.
“Memang secara statistik fluktuatif. Namun ada kecenderungan meningkat,“ ujar Kasi Perlindungan Perempuan dan Anak Badan Pemberdayaam Masyarakat dan Keluarga Berencana (Bapemas dan KB ) Kota Blitar Widiastuti, Senin (4/1/2013).
Menurutnya, kasus KDRT ibarat seperti gunung es. Angka-angka yang terlaporkan hanyalah puncak. Sementara pada bagian bawah yang tidak terlihat diyakini lebih besar.
Menurut Widiastuti, selain malu, rasa takut menjadi faktor tersendiri korban KDRT untuk tidak membawa masalah ke jalur hukum. Selain itu, faktor anak yang membuat korban selalu menaruh harapan bangunan rumah tangganya untuk kembali utuh.
“Sebab dengan dilaporkan, tentu akan banyak orang tahu. Artinya tidak sedikit korban KDRT yang memilih jalan diam ini,“ terangya.
Faktor ekonomi, pernikahan usia dini, dan prilaku yang kurang dewasa menjadi akar dari munculnya kasus KDRT. Memang tidak seluruhnya kondisi ekonomi menjadi dasar utama permasalahan. Namun, kata Widiastuti, kemiskinan selalu menjadi latar belakang mayoritas keluarga yang mengalami kekerasan dalam rumah tangganya.
“Dan dalam hal ini pemerintah melakukan fungsinya sebagai mediasi. Tidak sedikit juga yang memutuskan untuk cerai. Namun yang terpenting dalam hal ini adalah anak-anak yang hidup di dalamnya. Sebab KDRT selalu membawa dampak psikologis yang tidak kecil untuk perkembangan jiwa anak,“ paparnya.
Menanggapi hal itu, Wakil Ketua DPRD Kota Blitar M Syaiful Maarif hanya berharap pemerintah untuk bisa menempatkan diri dengan sebaik-baiknya. Secara teknis, pemerintah bisa melakukan sosialisasi dengan menggandeng lembaga keagamaan.
“Tentunya pendekatan yang dilakukan termasuk sosialisasi bersifat persuasif,“ ujarnya singkat.
Dari semula tiga kasus pada tahun 2009, jumlah meningkat menjadi 20 kasus pada tahun 2010. Pada tahun 2011 terjadi penurunan 13 kasus. Namun pada tahun 2012 kekasaran suami terhadap pasangan hidupnya melonjak menjadi 16 kasus.
“Memang secara statistik fluktuatif. Namun ada kecenderungan meningkat,“ ujar Kasi Perlindungan Perempuan dan Anak Badan Pemberdayaam Masyarakat dan Keluarga Berencana (Bapemas dan KB ) Kota Blitar Widiastuti, Senin (4/1/2013).
Menurutnya, kasus KDRT ibarat seperti gunung es. Angka-angka yang terlaporkan hanyalah puncak. Sementara pada bagian bawah yang tidak terlihat diyakini lebih besar.
Menurut Widiastuti, selain malu, rasa takut menjadi faktor tersendiri korban KDRT untuk tidak membawa masalah ke jalur hukum. Selain itu, faktor anak yang membuat korban selalu menaruh harapan bangunan rumah tangganya untuk kembali utuh.
“Sebab dengan dilaporkan, tentu akan banyak orang tahu. Artinya tidak sedikit korban KDRT yang memilih jalan diam ini,“ terangya.
Faktor ekonomi, pernikahan usia dini, dan prilaku yang kurang dewasa menjadi akar dari munculnya kasus KDRT. Memang tidak seluruhnya kondisi ekonomi menjadi dasar utama permasalahan. Namun, kata Widiastuti, kemiskinan selalu menjadi latar belakang mayoritas keluarga yang mengalami kekerasan dalam rumah tangganya.
“Dan dalam hal ini pemerintah melakukan fungsinya sebagai mediasi. Tidak sedikit juga yang memutuskan untuk cerai. Namun yang terpenting dalam hal ini adalah anak-anak yang hidup di dalamnya. Sebab KDRT selalu membawa dampak psikologis yang tidak kecil untuk perkembangan jiwa anak,“ paparnya.
Menanggapi hal itu, Wakil Ketua DPRD Kota Blitar M Syaiful Maarif hanya berharap pemerintah untuk bisa menempatkan diri dengan sebaik-baiknya. Secara teknis, pemerintah bisa melakukan sosialisasi dengan menggandeng lembaga keagamaan.
“Tentunya pendekatan yang dilakukan termasuk sosialisasi bersifat persuasif,“ ujarnya singkat.
(rsa)