Tak diperhatikan, warga perbatasan ancam pindah ke Malaysia
A
A
A
Sindonews.com - Warga Apau Kayan, Kabupaten Malinau, Kalimantan Timur (Kaltim), yang merupakan perbatasan Indonesia-Malaysia mulai kesal tidak diperhatikan pemerintah.
Akses jalan yang selama ini dijanjikan tak kunjung terpenuhi. Bahkan penerbangan bersubsidi yang selama ini membantu warga tak kunjung dimulai kembali setelah berakhir 31 Desember 2012 lalu.
Menghadapi kenyataan itu, sejumlah warga kemudian mengancam akan memindahkan kawasan Apau Kayan masuk ke wilayah Malaysia.
Kawasan Apau Kayan adalah kawasan perbatasan Indonesia-Malaysia yang terdiri dari empat kecamatan di kabupaten hasil pemekaran yakni Kecamatan Kayan Hilir, Kecamatan Kayan Ulu, Kecamatan Kayan Selatan, dan Kecamatan Sungai Boh.
Janji pembangunan akses keluar masuk, baik darat maupun udara, yang tak kunjung terpenuhi membuat mereka mulai putus asa. Derita warga perbatasan makin terasa setelah penerbangan bersubisidi dari dan menuju Apau Kayan tak kunjung ada kejelasan untuk dimulai kembali.
“Kami merasa warga di perbatasan diabaikan oleh pemerintah. Akses transportasi yang tak kunjung terpenuhi, bahkan cenderung tersendat membuat kami harus bergantung dengan Malaysia soal kebutuhan pokok,” kata Ketua Adat Besar Apau Kayan, Ibau Ala, Minggu (20/1/2013).
Menurutnya, berakhirnya kontrak penerbangan bersubsidi dengan Susi Air pada 31 Desember 2012 lalu, serta tak adanya tanda-tanda perpanjangan kontrak tersebut, membuat warga Apau Kayan sepenuhnya bergantung dari Malaysia.
“Kami ini seperti mengemis dengan Malaysia agar mereka mau menjual barang kebutuhan pokok kepada kita,” tambahnya.
Wajar saja, sebab jalur menuju Malaysia sudah diputus oleh pemerintah negeri jiran tersebut. Bahkan penjagaan juga dilakukan tentara Malaysia agar tak ada lagi masyarakat Indonesia yang bisa masuk Malaysia. Tidak hanya itu, penjual kebutuhan pokok juga diinstruksikan untuk tidak menjual barang dagangannya ke warga Indonesia.
“Untuk meluluhkan hati orang Malaysia supaya menjual barangnya ke kami, kami terpaksa meletakkan Mandau di hadapan mereka. Ini sebagai bentuk symbol pengharapan kepada mereka,” terang Ibau.
Mandau adalah senjata khas suku Dayak yang ada di Kalimantan. Mandau adalah symbol pengharapan, kerja keras dan harga diri. Dengan menyerahkan Mandau, artinya harapan itu tinggal satu-satunya digantungkan kepada warga Malaysia.
“Kami merasa tidak diperhatikan. Kalau sudah begini, kami mungkin terpaksa memilih jadi warga negara Malaysia. Kalau pergi meninggalkan Apau Kayan itu tidak mungkin, karena itu tanah leluhur kami. Yang paling mungkin memindahkan patok batas negara agar Apau Kayan masuk Malaysia,” katanya.
Kontrak pemerintah dengan Susi Air memang telah berakhir per 31 Desember 2012 lalu. Hingga kini belum ada kejelasan kapan akan di mulai kembali.
Penerbangan rute Samarinda-Apau Kayan merupakan akses satu-satunya warga untuk bepergian dan memenuhi kebutuhan pokoknya. Di empat kecamatan ini, ada sekitar 15 ribu warga yang mendiami.
Ibau Ala dan sejumlah warga kini tertahan di Samarinda. Mereka ingin pulang ke Apau Kayan namun tidak bisa karena tak ada akses transportasi yang tersedia. Warga ini tentu ingin pulang sambil membawa bahan kebutuhan pokok untuk menghidupi keluarganya.
Akses jalan yang selama ini dijanjikan tak kunjung terpenuhi. Bahkan penerbangan bersubsidi yang selama ini membantu warga tak kunjung dimulai kembali setelah berakhir 31 Desember 2012 lalu.
Menghadapi kenyataan itu, sejumlah warga kemudian mengancam akan memindahkan kawasan Apau Kayan masuk ke wilayah Malaysia.
Kawasan Apau Kayan adalah kawasan perbatasan Indonesia-Malaysia yang terdiri dari empat kecamatan di kabupaten hasil pemekaran yakni Kecamatan Kayan Hilir, Kecamatan Kayan Ulu, Kecamatan Kayan Selatan, dan Kecamatan Sungai Boh.
Janji pembangunan akses keluar masuk, baik darat maupun udara, yang tak kunjung terpenuhi membuat mereka mulai putus asa. Derita warga perbatasan makin terasa setelah penerbangan bersubisidi dari dan menuju Apau Kayan tak kunjung ada kejelasan untuk dimulai kembali.
“Kami merasa warga di perbatasan diabaikan oleh pemerintah. Akses transportasi yang tak kunjung terpenuhi, bahkan cenderung tersendat membuat kami harus bergantung dengan Malaysia soal kebutuhan pokok,” kata Ketua Adat Besar Apau Kayan, Ibau Ala, Minggu (20/1/2013).
Menurutnya, berakhirnya kontrak penerbangan bersubsidi dengan Susi Air pada 31 Desember 2012 lalu, serta tak adanya tanda-tanda perpanjangan kontrak tersebut, membuat warga Apau Kayan sepenuhnya bergantung dari Malaysia.
“Kami ini seperti mengemis dengan Malaysia agar mereka mau menjual barang kebutuhan pokok kepada kita,” tambahnya.
Wajar saja, sebab jalur menuju Malaysia sudah diputus oleh pemerintah negeri jiran tersebut. Bahkan penjagaan juga dilakukan tentara Malaysia agar tak ada lagi masyarakat Indonesia yang bisa masuk Malaysia. Tidak hanya itu, penjual kebutuhan pokok juga diinstruksikan untuk tidak menjual barang dagangannya ke warga Indonesia.
“Untuk meluluhkan hati orang Malaysia supaya menjual barangnya ke kami, kami terpaksa meletakkan Mandau di hadapan mereka. Ini sebagai bentuk symbol pengharapan kepada mereka,” terang Ibau.
Mandau adalah senjata khas suku Dayak yang ada di Kalimantan. Mandau adalah symbol pengharapan, kerja keras dan harga diri. Dengan menyerahkan Mandau, artinya harapan itu tinggal satu-satunya digantungkan kepada warga Malaysia.
“Kami merasa tidak diperhatikan. Kalau sudah begini, kami mungkin terpaksa memilih jadi warga negara Malaysia. Kalau pergi meninggalkan Apau Kayan itu tidak mungkin, karena itu tanah leluhur kami. Yang paling mungkin memindahkan patok batas negara agar Apau Kayan masuk Malaysia,” katanya.
Kontrak pemerintah dengan Susi Air memang telah berakhir per 31 Desember 2012 lalu. Hingga kini belum ada kejelasan kapan akan di mulai kembali.
Penerbangan rute Samarinda-Apau Kayan merupakan akses satu-satunya warga untuk bepergian dan memenuhi kebutuhan pokoknya. Di empat kecamatan ini, ada sekitar 15 ribu warga yang mendiami.
Ibau Ala dan sejumlah warga kini tertahan di Samarinda. Mereka ingin pulang ke Apau Kayan namun tidak bisa karena tak ada akses transportasi yang tersedia. Warga ini tentu ingin pulang sambil membawa bahan kebutuhan pokok untuk menghidupi keluarganya.
(rsa)