Diancam izinnya, sekolah Katolik beri pendidikan Islam
A
A
A
Sindonews.com - Sekolah Menengah Katolik (SMK) Diponegoro Kota Blitar bersedia memberikan pelayanan pelajaran agama lain bagi 60 persen siswa muslim.
Hal itu dilakukan setelah DPRD Kota Blitar bersama, Dinas Pendidikan dan Kemenag mengancam mencabut izin operasional pendidikan Yayasan Katolik Yohanes Gabriel (YKYG) selaku lembaga yang menaungi sekolah.
“Setelah ada pertemuan, disepakati solusi memberikan pendidikan untuk siswa di luar agama Katolik, “ujar Kepala Kantor Kemenag Kota Blitar Imam Muchlis kepada wartawan, Rabu (16/1/2013).
Masalah berawal dari pelayanan pelajaran agama non Katolik kepada para siswa. Pihak SMK Diponegoro tidak menyediakan guru untuk pelajaran agama di luar Katolik.
Konsekuensi yang berlaku pihak sekolah mewajibkan seluruh siswa non Katolik yang bersekolah disana mengikuti pelajaran agama yang tidak sesuai dengan keyakinanya. Sementara 60 persen dari sekitar seribu siswa (kelas 1-3) yang bersekolah di SMK Diponegoro beragam Islam.
Protes yang dilontarkan sejumlah wali murid direspon legislatif. DPRD bersama lembaga terkait memanggil seluruh perwakilan lembaga sekolah (SMP dan SMA) berbasis agama. Di Kota Blitar terdapat enam lembaga sekolah, baik Islam dan Katolik.
Namun, dari sekian lembaga sekolah, hanya SMK Diponegoro yang kukuh menyatakan tidak akan memberikan layanan pendidikan agama bagi siswa non Katolik.
Alasan yang disampaikan pihak YKYG mengikuti UU Sisdiknas pasal 55. Yakni masyarakat berhak menyelenggarakan pendidikan berbasis masyarakat, baik formal maupun nonformal yang sesuai kekhasan agama.
Yang kedua, setiap calon siswa yang masuk sudah mendapat pemberitahuan sekaligus perjanjian bermeterai jika mereka tidak akan mendapat pendidikan agama diluar agama Katolik.
Selain itu, pemberian pendidikan agama non Katolik harus seijin Majelis Pendidikan Nasional Katolik dan berdasarkan keputusan Konferensi Wali Gereja Indonesia.
DPRD mendesakkan pasal 12 UU Sisdiknas No 20 Tahun 2003. Bahwa setiap peserta didik pada satuan pendidikan berhak mendapat pendidikan agama sesuai dengan keyakinan yang dianut dan diajarkan pendidik seagama. Legislatif bersama lembaga terkait memberi deadline 20 Januari 2013. Jika tidak dilaksanakan, dewan beserta lembaga berwenang akan menutup SMK Diponegoro.
Menurut Imam Muchlis, deadline itu sudah tidak berlaku seiring kesediaan pihak sekolah membolehkan pendidikan agama selain Katolik.
“Hanya saja secara tekhnis, para siswa muslim itu akan mendapat pendidikan agama di luar lingkungan sekolah,“ pungkasnya.
Romo Rafael, salah satu penanggung jawab dari YKYG membenarkan jika pihaknya telah menyetujui permintaan itu (memberikan pendidikan agama selain Katolik). Namun pihaknya meminta guru agama yang ada nantinya disediakan dari Kemenag.
“Guru tersebut harus bersertifikasi,“ ujarnya.
Sementara keterangan sedikit berbeda disampaikan Ketua YKYG Sumardiono, meskipun bersedia memberikan pendidikan agama lain kepada siswa, pihak yayasan tetap akan meminta rekomendasi kepada pengurus pusat.
“Kita tetap akan meminta rekomendasi ke pusat. Dan pelajaran agama non Katolik tekhnisnya dilakukan diluar lingkungan sekolah,“ pungkasnya.
Hal itu dilakukan setelah DPRD Kota Blitar bersama, Dinas Pendidikan dan Kemenag mengancam mencabut izin operasional pendidikan Yayasan Katolik Yohanes Gabriel (YKYG) selaku lembaga yang menaungi sekolah.
“Setelah ada pertemuan, disepakati solusi memberikan pendidikan untuk siswa di luar agama Katolik, “ujar Kepala Kantor Kemenag Kota Blitar Imam Muchlis kepada wartawan, Rabu (16/1/2013).
Masalah berawal dari pelayanan pelajaran agama non Katolik kepada para siswa. Pihak SMK Diponegoro tidak menyediakan guru untuk pelajaran agama di luar Katolik.
Konsekuensi yang berlaku pihak sekolah mewajibkan seluruh siswa non Katolik yang bersekolah disana mengikuti pelajaran agama yang tidak sesuai dengan keyakinanya. Sementara 60 persen dari sekitar seribu siswa (kelas 1-3) yang bersekolah di SMK Diponegoro beragam Islam.
Protes yang dilontarkan sejumlah wali murid direspon legislatif. DPRD bersama lembaga terkait memanggil seluruh perwakilan lembaga sekolah (SMP dan SMA) berbasis agama. Di Kota Blitar terdapat enam lembaga sekolah, baik Islam dan Katolik.
Namun, dari sekian lembaga sekolah, hanya SMK Diponegoro yang kukuh menyatakan tidak akan memberikan layanan pendidikan agama bagi siswa non Katolik.
Alasan yang disampaikan pihak YKYG mengikuti UU Sisdiknas pasal 55. Yakni masyarakat berhak menyelenggarakan pendidikan berbasis masyarakat, baik formal maupun nonformal yang sesuai kekhasan agama.
Yang kedua, setiap calon siswa yang masuk sudah mendapat pemberitahuan sekaligus perjanjian bermeterai jika mereka tidak akan mendapat pendidikan agama diluar agama Katolik.
Selain itu, pemberian pendidikan agama non Katolik harus seijin Majelis Pendidikan Nasional Katolik dan berdasarkan keputusan Konferensi Wali Gereja Indonesia.
DPRD mendesakkan pasal 12 UU Sisdiknas No 20 Tahun 2003. Bahwa setiap peserta didik pada satuan pendidikan berhak mendapat pendidikan agama sesuai dengan keyakinan yang dianut dan diajarkan pendidik seagama. Legislatif bersama lembaga terkait memberi deadline 20 Januari 2013. Jika tidak dilaksanakan, dewan beserta lembaga berwenang akan menutup SMK Diponegoro.
Menurut Imam Muchlis, deadline itu sudah tidak berlaku seiring kesediaan pihak sekolah membolehkan pendidikan agama selain Katolik.
“Hanya saja secara tekhnis, para siswa muslim itu akan mendapat pendidikan agama di luar lingkungan sekolah,“ pungkasnya.
Romo Rafael, salah satu penanggung jawab dari YKYG membenarkan jika pihaknya telah menyetujui permintaan itu (memberikan pendidikan agama selain Katolik). Namun pihaknya meminta guru agama yang ada nantinya disediakan dari Kemenag.
“Guru tersebut harus bersertifikasi,“ ujarnya.
Sementara keterangan sedikit berbeda disampaikan Ketua YKYG Sumardiono, meskipun bersedia memberikan pendidikan agama lain kepada siswa, pihak yayasan tetap akan meminta rekomendasi kepada pengurus pusat.
“Kita tetap akan meminta rekomendasi ke pusat. Dan pelajaran agama non Katolik tekhnisnya dilakukan diluar lingkungan sekolah,“ pungkasnya.
(rsa)