Merintis nasionalisme pada anak-anak di Filipina

Minggu, 25 November 2012 - 23:30 WIB
Merintis nasionalisme pada anak-anak di Filipina
Merintis nasionalisme pada anak-anak di Filipina
A A A
Sindonews.com - Subuh belum menjelang namun Arlince dan 121 siswa di Sekolah Indonesia Davao (SID) sudah harus bangun. Sekolah di kawasan Konjen RI di Davao, Filipina merupakan sekolah berasrama namun karena keterbatasan kamar mandi maka mereka rela bangun pagi karena jam masuk sekolah disini menyamai di tanah air yakni pukul tujuh.

Arlince merasakan betul kedisiplinan seperti sekolah yang dimulai pukul tujuh hingga tiga sore. Balik ke asrama mereka mengulang pelajaran dan membuat PR. Mulai pukul lima sore, mereka kembali antre lagi untuk mandi. Mereka mengisi waktu santainya dengan bermain musik
karena sekolah menyediakan angklung, gamelan, dan kolintang serta gitar. Tak ayal mereka sering dipanggil menghibur para pejabat yang datang ke Konjen.

Arlince berasal dari Sangihe Talaud, Sulawesi Utara. Meski di kampungnya dia sudah mengenyam pendidikan SMA namun dia menganggur lima tahun sampai “misionaris” pendidikan dari Konjen yang mengajarkan Kursus Pendidikan Indonesia Dasar (KPID) datang dan merekrut gadis berambut keriting ini bersekolah lagi.

“Umurku 20 tahun namun disini aku masih kelas 1 SMA,” ujar anak dari seorang nelayan yang sangat fasih berbahasa Inggris ini.

Selain menjaring anak-anak dari perbatasan, SID juga menjaring anak Indonesia yang orang tuanya menjadi TKI ilegal. Seperti Rodal Lumindu yang tinggal dengan keluarga ayahnya di kota General Santos. Ibu sudah lama meninggal sementara ayahnya pun jarang bertemu muka.

Rodal dikenal anak pintar karena dia sudah mendapat beasiswa pendidikan dasar dan menengah di Filipina dan sempat berkuliah di kampus Filipina. Sayang, karena masalah financial dia putus kuliah. Dia bercita-cita tinggi sebagai pengusaha karena itu dia rela mengulang bersekolah SMA di SID dengan harapan dapat dibantu berkuliah di jurusan Manajemen.

Jangan tanyakan ke mereka mau tinggal dan bekerja di mana setelah lulus SID. Rodal pun bingung karena budaya dan kultur tradisi di Filipina sudah mendarah daging meski dia lahir di Pulau Sangir. Menjadi tenaga kerja di Filipina pun mudah karena tak seperti di Malaysia, TKI ilegal disini jarang yang dirazia. Ada cerita bahwa Filipina dulunya masuk dalam wilayah kerajaan Sriwijaya sehingga lebih mudah menerima warga Indonesia.

Penguatan rasa nasionalisme inilah yang diperjuangkan Kepala Sekolah SID Petrus Pati beserta 15 guru. Petrus mengatakan, tantangan terbesar ialah mengajarkan Bahasa Indonesia karena siswanya kebanyakan berdialog bahasa daerah Visayas dan Tagalog dan sangat lancar sekali
berbahasa Inggris.

“Kami harus bersabar saat mengajari mereka berbahasa Indonesia. Namun karena sekolah ini berasrama maka interaksi dengan bahasa Indonesia lebih mudah diaplikasikan,” ujarnya.

SID tidak memungut biaya ke siswanya karena ada bantuan rutin blockgrant dari Kemendikbud sekitar Rp100 juta. Sekolah pun kembali bergairah karena sejak dua tahun lalu mendapat dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) sekitar Rp7 juta selama setahun yang dipakai untuk keperluan operasional. Namun mereka masih berteriak kekurangan sarana laboratorium dan sarana keterampilan seperti tata boga, salon dan otomotif padahal siswanya sangat antusias mengikuti keterampilan ini.

Petrus yang tidak ingin siswa-siswinya menganggur setelah lulus maka mendaftarkan anak sekolahnya Technical Education and Skill Development Authority (TESDA) sebuah program pendidikan keahlian yang dibawah naungan langsung presiden. Lulusan TESDA akan mendapatkan sertifikasiinternasional yang berlaku diseluruh Filipina.

Ironisnya siswanya yang lahir di Filipina banyak yang memilih bekerja di Filipina dan menjadi warga Negara dimana pada usia 20 tahun anak itu boleh memilih menjadi warga Negara bekas jajahan Spanyol ini atau WNI.

“Kita hanya menuntun mereka belajar nasionalisme indonesia namun setelah memasuki usia 20 tahun kami tidak dapat memaksa mereka dalam memilih kewarganegaraan,” terangnya.

Akan tetapi, terus menerus Petrus mengingatkan siswanya untuk kembali bekerja atau kuliah di Indonesia karena kekayaan alam dan sumber daya manusia Indonesia masih lebih kaya dari Filipina namun masih terbelakang karena tidak ada yang mengolah dengan benar.

Tiba-tiba lirihan sang kepala sekolah ini dipotong oleh teriakan seseorang “Saya ingin jadi business woman pak di Sangihe,” teriak Arlince yang sudah rapi berseragam dan duduk manis di bangku kelasnya.
(ysw)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.8192 seconds (0.1#10.140)