25 LSM perjuangkan siswi hamil ikut UN
A
A
A
Sindonews.com - Larangan siswi hamil mengikuti ujian nasional (UN) kembali mendapat protes dari masyarakat. Sebanyak 25 Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) perlindungan yang tergabung dalam Jaringan Peduli Pendidikan Anak Jawa Timur menolak kebijakan Kepala Dinas Pendidikan (Dindik) Jatim.
Mereka menilai, kebijakan yang diambil Kepala Dindik Jatim Harun sangat kontroversi, karena kebijakan tersebut bertentangan dengan UU Sisdiknas No 20 tahun 2003 dan UU Perlindungan Anak No 23 tahun 2002 yang diberlakukan di Indonesia.
"Kebijakan yang diambil Dinas Pendidikan bertentangan dengan aturan. Mereka tidak mempedulikan kondisi psikologi anak," kata Ketua Lembaga Perlindungan Anak (LPA) yang tergabung dalam Jaringan Peduli Pendidikan Anak Jatim, Sinung D Kristanto, Jumat (13/4/2012).
Sinung menerangkan, pihaknya merasa prihatin atas pernyataan yang dilakukan Kepala Dindik Jatim, karena menabrak aturan-aturan yang telah ditentukan seperti UU Perlindungan Anak No 23 tahun 2002. Dalam undang-undang disebutkan setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakat.
Selain itu, UU Sisdiknas No 20 tahun 2003 yang menyatakan pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai agama, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa, telah ditabrak Kepala Dindik Jatim.
"Secara prinsip, apa yang diutarakan Kepala Dinas Pendidikan Jatim bagus, karena pendidikan juga menyangkut moral. Tapi kan tidak boleh menabrak aturan," ujarnya.
Dengan berbagai landasan di atas, Sinung menilai kebijakan yang dikeluarkan Dindik telah mendiskriminasikan hak-hak anak. Karena ada perlakukan berbeda dengan siswa-siswa yang berkelakukan buruk seperti tersandung narkoba dan mabuk-mabukan. Mereka diperbolehkan mengikuti UN sedangkan siswi hamil tidak diperbolehkan.
Untuk itu, 25 LSM ini menyatukan visi untuk mendirikan posko terkait permasalahan-permasalahan yang terjadi di UN. Persoalan tersebut nantinya bukan hanya berkaitan dengan siswi hamil, tetapi lebih condong ke persoalan-persoalan umum. "Kami menerima segala bentuk pengaduan terkait ujian nasional," ujar Sinung.
Erma Susanti, Ketua LSM Samitra Abaya KPPD mengatakan, pada dasarnya LSM-LSM ini menyuarakan kegalauan atas pernyataan yang dikeluarkan Dindik Jatim, karena ada hak anak yang dihilangkan sepihak yakni siswi hamil.
"Ukuran kesalahan hanya karena siswi hamil dan melanggar aturan norma. Inikan tidak bisa dibenarkan," ungkapnya.
Harusnya, semua ketentuan peraturan diberlakukan sama. Sebab, siswi hamil merupakan korban dari perbuatan orang. Sedangkan yang menghamili tidak mendapatkan sanksi apa pun. Padahal keduanya juga bersalah melakukan perbuatan itu. "Inikan aturan hanya diberlakukan pada pihak-pihak tertentu," kata Erma.
Ketua Hotline Pendidikan Jawa Timur Isa Ansori menilai, dasar yang dipergunakan Dindik Jatim melarang siswa hamil mengikuti UN tidak kuat. Karena kehamilan dan UN merupakan dua hal yang berbeda.
"Ini persoalan yang berbeda. Kebijakan yang diambil harus jelas dan memiliki landasan kuat," katanya.
Isa menegaskan, jika kebijakan Dindik Jatim diberlakukan, dia yakin banyak siswa yang akan dikorbankan dalam pelaksanaan UN ini. Pasalnya, sesuai data yang diperoleh, di Surabaya ada enam siswi hamil tetapi yang menghadapi UN ada dua satu SMA dan satu SMP.
Mereka membutuhkan perlindungan karena selama ini siswi-siswi tersebut resah dengan pernyataan larangan pelaksanaan UN. "Kasihan anak-anak ini, hak mereka dihilangkan sepihak," kata Isa.
Selain itu, dalam aturan manapun tidak ada larangan siswi hamil mengikuti ujian. Bahkan dalam persyaratan pelaksanaan UN tidak ada yang melarang secara tegas. Larangan yang muncul keluar karena asas kepatutan saja dan diwujudkan dalam kebijakan. "Jadi kebijakan yang diambil itu sangat subjektif," ujar dia.
Isa menegaskan, sebelum menerapkan aturan tersebut, sebaiknya Pemerintah Provinsi (Pemprov) melihat berbagai aturan lain seperti UU Perlindungan anak. Dalam UU ini sangat jelas tertera kalau pendidikan anak perlu ada layanan khusus dalam bentuk apapun. Mereka berhak mendapatkan layanan pendidikan yang bermutu.
Untuk itu, jika ada larangan siswi hamil mengikuti ujian harus dibuat landasan hukum atau aturan peserta UN sejak awal. Namun yang terjadi, Dindik tiba-tiba membuat kebijakan yang justru meresahkan masyarakat dan anak-anak yang akan melaksanakan ujian. "Ada baiknya kebijakan tersebut di cabut," pinta dia.(azh)
Mereka menilai, kebijakan yang diambil Kepala Dindik Jatim Harun sangat kontroversi, karena kebijakan tersebut bertentangan dengan UU Sisdiknas No 20 tahun 2003 dan UU Perlindungan Anak No 23 tahun 2002 yang diberlakukan di Indonesia.
"Kebijakan yang diambil Dinas Pendidikan bertentangan dengan aturan. Mereka tidak mempedulikan kondisi psikologi anak," kata Ketua Lembaga Perlindungan Anak (LPA) yang tergabung dalam Jaringan Peduli Pendidikan Anak Jatim, Sinung D Kristanto, Jumat (13/4/2012).
Sinung menerangkan, pihaknya merasa prihatin atas pernyataan yang dilakukan Kepala Dindik Jatim, karena menabrak aturan-aturan yang telah ditentukan seperti UU Perlindungan Anak No 23 tahun 2002. Dalam undang-undang disebutkan setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakat.
Selain itu, UU Sisdiknas No 20 tahun 2003 yang menyatakan pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai agama, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa, telah ditabrak Kepala Dindik Jatim.
"Secara prinsip, apa yang diutarakan Kepala Dinas Pendidikan Jatim bagus, karena pendidikan juga menyangkut moral. Tapi kan tidak boleh menabrak aturan," ujarnya.
Dengan berbagai landasan di atas, Sinung menilai kebijakan yang dikeluarkan Dindik telah mendiskriminasikan hak-hak anak. Karena ada perlakukan berbeda dengan siswa-siswa yang berkelakukan buruk seperti tersandung narkoba dan mabuk-mabukan. Mereka diperbolehkan mengikuti UN sedangkan siswi hamil tidak diperbolehkan.
Untuk itu, 25 LSM ini menyatukan visi untuk mendirikan posko terkait permasalahan-permasalahan yang terjadi di UN. Persoalan tersebut nantinya bukan hanya berkaitan dengan siswi hamil, tetapi lebih condong ke persoalan-persoalan umum. "Kami menerima segala bentuk pengaduan terkait ujian nasional," ujar Sinung.
Erma Susanti, Ketua LSM Samitra Abaya KPPD mengatakan, pada dasarnya LSM-LSM ini menyuarakan kegalauan atas pernyataan yang dikeluarkan Dindik Jatim, karena ada hak anak yang dihilangkan sepihak yakni siswi hamil.
"Ukuran kesalahan hanya karena siswi hamil dan melanggar aturan norma. Inikan tidak bisa dibenarkan," ungkapnya.
Harusnya, semua ketentuan peraturan diberlakukan sama. Sebab, siswi hamil merupakan korban dari perbuatan orang. Sedangkan yang menghamili tidak mendapatkan sanksi apa pun. Padahal keduanya juga bersalah melakukan perbuatan itu. "Inikan aturan hanya diberlakukan pada pihak-pihak tertentu," kata Erma.
Ketua Hotline Pendidikan Jawa Timur Isa Ansori menilai, dasar yang dipergunakan Dindik Jatim melarang siswa hamil mengikuti UN tidak kuat. Karena kehamilan dan UN merupakan dua hal yang berbeda.
"Ini persoalan yang berbeda. Kebijakan yang diambil harus jelas dan memiliki landasan kuat," katanya.
Isa menegaskan, jika kebijakan Dindik Jatim diberlakukan, dia yakin banyak siswa yang akan dikorbankan dalam pelaksanaan UN ini. Pasalnya, sesuai data yang diperoleh, di Surabaya ada enam siswi hamil tetapi yang menghadapi UN ada dua satu SMA dan satu SMP.
Mereka membutuhkan perlindungan karena selama ini siswi-siswi tersebut resah dengan pernyataan larangan pelaksanaan UN. "Kasihan anak-anak ini, hak mereka dihilangkan sepihak," kata Isa.
Selain itu, dalam aturan manapun tidak ada larangan siswi hamil mengikuti ujian. Bahkan dalam persyaratan pelaksanaan UN tidak ada yang melarang secara tegas. Larangan yang muncul keluar karena asas kepatutan saja dan diwujudkan dalam kebijakan. "Jadi kebijakan yang diambil itu sangat subjektif," ujar dia.
Isa menegaskan, sebelum menerapkan aturan tersebut, sebaiknya Pemerintah Provinsi (Pemprov) melihat berbagai aturan lain seperti UU Perlindungan anak. Dalam UU ini sangat jelas tertera kalau pendidikan anak perlu ada layanan khusus dalam bentuk apapun. Mereka berhak mendapatkan layanan pendidikan yang bermutu.
Untuk itu, jika ada larangan siswi hamil mengikuti ujian harus dibuat landasan hukum atau aturan peserta UN sejak awal. Namun yang terjadi, Dindik tiba-tiba membuat kebijakan yang justru meresahkan masyarakat dan anak-anak yang akan melaksanakan ujian. "Ada baiknya kebijakan tersebut di cabut," pinta dia.(azh)
()