Zona tambang Blitar diserahkan kepada publik
A
A
A
Sindonews.com - DPRD Kabupaten Blitar akan melakukan uji publik terhadap wilayah (zona) yang selama ini memiliki tafsir ganda dan rawan menimbulkan konflik. Salah satunya adalah kawasan pantai selatan Pasur dan Jolosutro. Legislatif akan mempertegas dimana wilayah zona wisata dan mana area pertambangan. Hal itu untuk mengakhiri polemik yang berlarut-larut.
“Sebab selama ini tidak ada kejelasan. Dan itu menimbulkan polemic antara masyarakat setempat dengan pemilik modal," ujar Ketua Pansus Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) DPRD Kabupaten Blitar Herry Romadhon kepada wartawan, akhir pekan lalu.
Seperti yang terjadi, sejumlah pemilik modal melakukan eksplorasi pasir besi di kawasan pantai selatan. Selain menimbulkan kerusakan lingkungan, aktivitas ekonomi tersebut tidak memberikan sumbangan yang berarti bagi pendapatan asli daerah. Setiap tahun pengusaha hanya menyisihkan isi kantongnya tidak lebih dari Rp30-40 juta. Sementara harga setiap satu ton pasir besi bisa mencapai Rp42 juta.
Dalam setiap hari ada sebanyak 38 truk yang keluar masuk di lokasi pertambangan. Setiap truk memiliki kapasitas maksimal 7 ton pasir besi. Sejumlah aktivis LSM Komite Rakyat Pemberantas Korupsi (KRPK) menilai masyarakat telah dirugikan.
Di samping itu, aktivitas ekonomi tersebut dianggap menyalahi Perda RT RW. Dimana salah satu klausulnya secara tegas menyatakan pelarangan aktivitas pertambangan di kawasan wisata. Jika tidak dihentikan, warga setempat mengancam akan merusak seluruh aset pemilik modal.
Sementara Bupati Blitar Herry Noegroho tidak kalah lantang menegaskan jika eksplorasi yang dilakukan pemilik modal diluar zona terlarang. Meski diakui PAD yang disumbangkan saat ini relatif kecil, Bupati Herry yakin pada saatnya masih bisa dimaksimalkan. Karenanya Bupati menolak mencabut SK yang menjadi dasar aktivitas pertambangan.
Menanggapi aspirasi masyarakat, DPRD dan eksekutif memutuskan untuk melakukan revisi Perda RTRW. Menurut Herry, dengan menyerahkan kepada publik (uji publik), masyarakatlah yang akan memutuskan garis batas zona tambang dan wisata.
“Ini termasuk juga untuk memastikan apakah status zona yang ada tetap dipertahankan atau tidak," terangnya.
Herry mengakui, tidak tertutup kemungkinan sebuah wilayah akan mengalami perubahan. Karena alasan potensi PAD yang besar, zona yang sebelumnya terlarang sangat mungkin akan mengalami perubahan status. Apalagi, Perda RTRW yang disepakati ini diharapkan bisa memberikan perlindungan hukum hingga 20 tahun ke depan. “Karena itu semuanya harus melalui pembahasan dengan semua pihak," pungkasnya.
Koordinator LSM KRPK Moh Triyanto dengan tegas menyatakan penutupan lokasi pertambangan pasir besi di pantai selatan sudah harga mati. Jika memang pemerintah tidak berani mengambil langkah tegas (penutupan), masyarakat akan melakukan caranya sendiri. “Tidak ada toleransi untuk tambang pasir besi. Harus ditutup atau masyarakat kembali bergerak," tegasnya. (bro)
()