Kejati abaikan dugaan korupsi sewa kantor Dispenda
A
A
A
Sindonews.com - Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sumatera Utara (Sumut) menyatakantidakpernah menangani kasus dugaan korupsi sewa kantor Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda) Medan di Gedung Bank Sumut pada 2006-2007.
Padahal,berulang kali demonstran mendesak penanganan kasus itu, termasuk memberikan data- data terkait masalah tersebut. “Tidak ada kami menangani perkara sewa Kantor Dispenda Medan di Bank Sumut. Saya sudah cek, baik di bagian intel maupun pidsus (pidana khusus),” kata Pelaksana harian (Plh) Kepala Seksi Penerangan Hukum (Kasipenkum) Kejati Sumut Ronald H Bakara, Minggu 1 April.
Dia mengaku sudah melihat daftar perkara yang sedang ditangani penyidik kejati. Tapi, tidak terlihat perkara sewa kantor Dispenda itu.“Saya sudah lihat dalam buku register perkara. Tidak ada perkara itu terlihat. Siapa yang melapor dan kapan?” tanyanya.
Namun, ketika ditanya apakah aksi demonstrasi berbagai massa yang menuntut penuntasan kasus tersebut beberapa waktu lalu, telah ditelaah atau diklarifikasi, Ronald tidak mau menjawab. Dia hanya tersenyum.
Sekadar mengingatkan,dugaan penyelewengan dana sewa kantor Dispenda di Gedung Bank Sumut lantai 8 itu senilai Rp2,1 miliar. Padahal, sewa gedung hanya lantai selama setahun hanya Rp726.000.000 atau sebesar Rp60.500.000 sebulan sesuai Bea Perolehan Hak atas Tanah atau/dan Bangunan (BPHTB) saat itu.
Jika sewa gedung dilakukan dua tahun sesuai ketentuan di Bank Sumut,cmaka yang dibayarkan Rp1.452.000.000, bukan Rp2,1 miliar Kasus ini diduga melibatkan Wakil Wali Kota Medan Dzulmi Eldin yang kala itu menjabat sebagai Kepala Dispenda.
Sementara itu, praktisi hukum Erwin Asmadi mengatakan, kondisi ini menujukkan Kejati belum serius menuntaskan kasus-kasus korupsi di Sumut. Kejati juga terkesan melakukan tebang pilih dalam menangani perkara. Tentunya kuat dugaan karena ada intervensi, masukan atau pun dorongan dari internal maupun eksternal sendiri. Kondisi ini bisa memengaruhi kinerja para jaksa.
“Kita butuh jaksa jujur yang tidak mudah terpengaruh dorongan dari dalam maupun luar.Sebab,intervensi itu tidak hanya dari dalam maupun dari luar,” bebernya.
Menurut dia, adanya dorongan dari dalam maupun dari luar, tim penyidik bekerja bekerja sesuai arahan dan tunduk kepada pimpinannya. Tentunya pimpinan punya akses keluar. Hubungan keluar ini bisa memengaruhi penanganan atau penyelesaian perkara.
Dia mencontohkan, perkara korupsi terjadi melibatkan tokoh politik. Makanya, penahanan perkara banyak dicegah dari situ. “Akses dari situ dimanfaatkan untuk melakukan penahanan atau upaya penghentian perkara korupsi,” bebernya.(azh)
Padahal,berulang kali demonstran mendesak penanganan kasus itu, termasuk memberikan data- data terkait masalah tersebut. “Tidak ada kami menangani perkara sewa Kantor Dispenda Medan di Bank Sumut. Saya sudah cek, baik di bagian intel maupun pidsus (pidana khusus),” kata Pelaksana harian (Plh) Kepala Seksi Penerangan Hukum (Kasipenkum) Kejati Sumut Ronald H Bakara, Minggu 1 April.
Dia mengaku sudah melihat daftar perkara yang sedang ditangani penyidik kejati. Tapi, tidak terlihat perkara sewa kantor Dispenda itu.“Saya sudah lihat dalam buku register perkara. Tidak ada perkara itu terlihat. Siapa yang melapor dan kapan?” tanyanya.
Namun, ketika ditanya apakah aksi demonstrasi berbagai massa yang menuntut penuntasan kasus tersebut beberapa waktu lalu, telah ditelaah atau diklarifikasi, Ronald tidak mau menjawab. Dia hanya tersenyum.
Sekadar mengingatkan,dugaan penyelewengan dana sewa kantor Dispenda di Gedung Bank Sumut lantai 8 itu senilai Rp2,1 miliar. Padahal, sewa gedung hanya lantai selama setahun hanya Rp726.000.000 atau sebesar Rp60.500.000 sebulan sesuai Bea Perolehan Hak atas Tanah atau/dan Bangunan (BPHTB) saat itu.
Jika sewa gedung dilakukan dua tahun sesuai ketentuan di Bank Sumut,cmaka yang dibayarkan Rp1.452.000.000, bukan Rp2,1 miliar Kasus ini diduga melibatkan Wakil Wali Kota Medan Dzulmi Eldin yang kala itu menjabat sebagai Kepala Dispenda.
Sementara itu, praktisi hukum Erwin Asmadi mengatakan, kondisi ini menujukkan Kejati belum serius menuntaskan kasus-kasus korupsi di Sumut. Kejati juga terkesan melakukan tebang pilih dalam menangani perkara. Tentunya kuat dugaan karena ada intervensi, masukan atau pun dorongan dari internal maupun eksternal sendiri. Kondisi ini bisa memengaruhi kinerja para jaksa.
“Kita butuh jaksa jujur yang tidak mudah terpengaruh dorongan dari dalam maupun luar.Sebab,intervensi itu tidak hanya dari dalam maupun dari luar,” bebernya.
Menurut dia, adanya dorongan dari dalam maupun dari luar, tim penyidik bekerja bekerja sesuai arahan dan tunduk kepada pimpinannya. Tentunya pimpinan punya akses keluar. Hubungan keluar ini bisa memengaruhi penanganan atau penyelesaian perkara.
Dia mencontohkan, perkara korupsi terjadi melibatkan tokoh politik. Makanya, penahanan perkara banyak dicegah dari situ. “Akses dari situ dimanfaatkan untuk melakukan penahanan atau upaya penghentian perkara korupsi,” bebernya.(azh)
()