Keterbelakangan mental, leher Teguh dirantai 8 tahun

Senin, 09 Januari 2012 - 01:12 WIB
Keterbelakangan mental, leher Teguh dirantai 8 tahun
Keterbelakangan mental, leher Teguh dirantai 8 tahun
A A A
Sindonews.com - Seorang anak laki-laki di Blok Seda RT 02/01 No 48, Desa Banjarwangunan, Kecamatan Mundu, Kabupaten Cirebon, Teguh (12), selama delapan tahun harus mengalami pemasungan oleh orangtuanya.

Teguh dipasung sejak berusia empat tahun, karena dianggap membahayakan diri dan orang lain di sekitarnya. Jadilah dia terpaksa harus terbelenggu rantai bekas kaleng kue yang terkalungkan di sekitar lehernya.

Teguh ditempatkan di atas potongan-potongan kayu yang disusun sedemikian rupa menyerupai dipan. Dipan itu menjadi area khusus bagi Teguh dalam kesehariannya, entah itu bermain, sekedar duduk, tidur, bahkan buang air.

Menurut orangtuanya, Marzuki (57), dan Nenti (45), anak mereka mengidap keterbelakangan mental. Kondisi itu terjadi setelah Teguh, saat berusia empat tahun, mengalami kesurupan ketika bermain di sebuah kolam bersama kakaknya. Parahnya, setelah kesurupan berhasil diobati, Teguh justru mengalami demam tinggi.

“Badannya panas dan kejang-kejang. Mulutnya berbusa sampai kami tidak bisa berbuat banyak,” beber Marzuki, Minggu (8/1/2012).

Berharap kesembuhan bagi buah hati tercintanya, Marzuki selanjutnya meminta seorang tukang pijat untuk menyembuhkan Teguh. Namun, usai dipijat, kondisi Teguh tidak membaik sampai dia akhirnya dibawa ke puskesmas setempat.

Di sana, Teguh mendapat pengobatan sampai akhirnya demam tingginya turun. Sayang, pengobatan itu rupanya tidak berhasil menyembuhkan mental Teguh yang pasca dipijat menunjukkan gejala keterbelakangan.

Menurut Marzuki, dokter di puskesmas sudah memintanya untuk membawa Teguh ke rumah sakit jiwa di Magelang, Jawa Tengah. “Tapi biayanya bisa mencapai Rp 20juta. Kami bingung, dari mana punya uang sebanyak itu,” tutur dia.

Keterbatasan biaya akhirnya membuat Marzuki dan Nenti terpaksa merawat Teguh sebisa mereka. Tapi, menjaga anak bungsu dari enam bersaudara itu rupanya tak semudah yang dibayangkan Marzuki dan Nenti.

Selain tak bertindak sebagaimana anak-anak yang bisa diarahkan dengan baik, Teguh juga jadi tak bisa berbicara. Komunikasi Teguh dengan keluarganya akhirnya dilakukan melalui bahasa isyarat.

Teguh rupanya “gemar” merusak. Tangannya selalu “lincah” bergerak mengorek, mencungkil, segala macam yang ada di hadapannya. “Lantai rumah ini sampai berlubang setelah dicungkil-cungkil Teguh. Kursi, dinding, ada bagian-bagian yang hilang karena tangan Teguh tak mau diam,” tambah dia.

Teguh juga kerap menyakiti dirinya sendiri dan orang lain. Saat lapar, Teguh biasanya hanya bisa menangis. Meski begitu, dengan rasa sayang tak terhingga, orangtuanya selalu merawat Teguh tanpa henti. Setiap pagi, Teguh dimandikan dan sarapan seperti biasa.

Luar biasanya, Teguh dikenal doyan makan. Kesukaannya nasi dan sayur, tanpa lauk pauk lain. Menurut Marzuki, dalam sehari, Teguh bisa makan lebih dari tiga kali. Itu pun kalau persediaan beras yang mereka miliki cukup.

“Kalau beras habis, ya tidak makan. Diberi roti, Teguh tak suka. Kami sendiri belum akan makan kalau Teguh belum makan,” ujar dia.

Kendati begitu, secara fisik Teguh tumbuh menjadi anak yang terlihat sehat. Perawatan orangtuanya membuat Teguh tumbuh gemuk dan menggemaskan.

Bayangan Teguh berkembang menjadi anak yang sehat dan ceria selalu berkelebat dalam benak Marzuki dan Nenti. Namun sayang, sejauh ini kedunya hanya sebatas mampu membayangkan saja.

Dikatakan Marzuki, keluarganya sudah meminta puluhan orang pintar untuk menyembuhkan Teguh. Segala barang berharga yang mereka miliki bahkan telah habis kini demi kesembuhan Teguh.

“Dulu kami beternak kambing, sekitar 50 ekor kami gunakan untuk membiayai kesembuhan Teguh ke orang pintar. Tapi tiada hasil positif,” tutur dia sendu.

Kondisi itu makin diperparah dengan kecelakaan yang dialami Marzuki pada 2010. Dia yang sehari-hari mengojek suatu hari ditabrak seorang pengendara sepeda motor di sekitar Terminal Harjamukti, Kota Cirebon.

Usai menabraknya, pengendara motor itu malah melarikan diri. Akibat hal itu, Marzuki mengalami patah kaki dan terpaksa menggadaikan sepeda motor yang menjadi media keluarganya mencari nafkah untuk biaya pengobatan dirinya.

Kecelakaan itu membuat dirinya kini tak bisa lagi menopang ekonomi keluarga. Hanya Nenti yang kini jadi tulang punggung dengan bekerja sebagai buruh cuci dan setrika di kawasan perumahan tak jauh dari rumah mereka.

“Sehari istri saya dapat bayaran Rp 15ribu. Karena dia bekerja, sayalah yang bertanggung jawab menjaga Teguh di rumah,” ungkap dia.

Kini, Teguh hanya bisa mengharap bantuan dermawan yang mau menolongnya. Selama delapan tahun dipasung pun, baik camat maupun kepala desa setempat belum menjenguk.

“Padahal, kami berharap pemerintah membantu. Sekarang kami lebih mengharapkan dermawan, mohon doanya saja karena bagi kami ini adalah ujian dari Tuhan,” tandas dia.
()
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.8104 seconds (0.1#10.140)