Gang Lombok, dari Kebun Cabai Jadi Objek Wisata

Kamis, 12 Maret 2020 - 08:05 WIB
Gang Lombok, dari Kebun Cabai Jadi Objek Wisata
Gang Lombok, dari Kebun Cabai Jadi Objek Wisata
A A A
SEMARANG - Nugroho (42) seolah tak henti mengumbar senyum. Wisatawan asal Jakarta ini tak bisa menyembunyikan kelegaannya lantaran impiannya berkunjung ke Gang Lombok akhirnya tertuntaskan.

Menikmati deretan bangunan berarsitektur Tionghoa, kelenteng-kelenteng tua yang namanya melegenda dan pemandangan klasik kawasan Pecinan membuat hatinya bahagia. “Senang lagi karena akhirnya bisa merasakan langsung lumpia di Gang Lombok sini yang namanya begitu terkenal,” ujar Nugroho.

Gang Lombok adalah jalan yang berada di kawasan Pecinan Kota Semarang. Dinamika kawasan ini telah lama memberikan banyak pengaruh terhadap konfigurasi kota. Apalagi tak sekadar lekat dengan sejarah kota, kawasan ini juga telah beralih menjadi destinasi wisata budaya yang kian menjanjikan.

Dari penelusuran di lapangan, kawasan ini awalnya merupakan ladang tanaman cabai yang cukup luas. Karena berupa ladang, rumah-rumah di sekelilingnya juga sangat jarang. Seiring perjalanan waktu, tepatnya kala Kelenteng Kwan Im Teng dipindah, wilayah ini kemudian dinamai Gang Lombok.

Yogi, sejarawan Kota Semarang, mengungkapkan munculnya nama Gang Lombok karena wilayah itu sebelumnya merupakan ladang cabai yang dalam bahasa Jawa adalah lombok. “Ketika itu pemindahan kelenteng bukan tanpa sebab, karena di sekitar kelenteng lama sering terjadi perseteruan sehingga membuat para saudagar kaya mencari lahan untuk membuat kelenteng baru,” ungkapnya.

Dengan pertimbangan feng shui dan hong shui, dipilihlah ladang tersebut sebagai lokasi pendirian kelenteng. Sebenarnya lokasi ini tidak jauh dari tempat kelenteng sebelumnya yang ada di Gang Belakang. “Namun nama kelenteng juga ikut diganti sejak berdiri di lahan baru, Kelenteng Kwan Im Teng diubah menjadi Tay Kak Sie yang berarti ‘kuil kesadaran aku’,” jelasnya.

Penggantian nama ini bertujuan agar umat sadar akan keagungan Tuhan dan senantiasa bersyukur. “Kwan Im Teng ketika itu masih digunakan untuk berdoa kepada Dewi Kwan Im, tetapi sekarang Kelenteng Tay Kak Sie digunakan oleh umat Tridharma,” terangnya.

Namun keberadaan Gang Lombok di pinggir kali (sungai) tak jarang membuat orang yang hendak mencari lokasi Kelenteng Tay Kak Sie merasa kesulitan. Perubahan demi perubahan pun dilakukan seperti memperbaiki akses transportasi.

Kini akses menuju kelenteng tua itu bisa dilewati oleh mobil dan kendaraan lain. Lahan parkirnya juga cukup luas. Pengunjung bisa lebih leluasa melihat dengan jelas deretan bangunan tua yang berjajar di kawasan tersebut. Keindahan ini memberikan pengalaman tersendiri bagi wisatawan yang pertama kali berkunjung.

Sepintas dilihat dari luar, Kelenteng Tay Kak Sie yang sudah ditetapkan sebagai situs cagar budaya ini memiliki luas bangunan yang lebih kecil jika dibandingkan dengan Kelenteng Sam Poo Kong yang berada di Gang Batu Simongan.

Namun jika dilihat dari segi arsitekturnya, kelenteng umat Tionghoa ini tak kalah megah karena kaya akan berbagai ornamen. Di depan bangunan kelenteng ada patung Laksamana Cheng Ho. Adapun atap kelenteng tampak berhiaskan sepasang naga sedang memperebutkan matahari sebagai simbol penjaga kelenteng dari pengaruh jahat.

Sementara itu di depan pintu masuk tampak singa jantan dan betina yang disimbolkan sebagai penolak bala. Selain itu kedua singa ini melambangkan keadilan dan kejujuran.

Tampak juga papan penjelasan sejarah penamaan Kelenteng Tay Kak Sie yang artinya Kuil Kesadaran Agung dengan catatan tahun pemerintahan Kaisar Dao Guang 1821–1850 dari Dinasti Qing.

Pada daun pintu kelenteng ada lukisan sepasang panglima perang Qie Lan Pu Sa dan Wei Tuo Pu Sa. Kelenteng Tay Kak Sie juga kaya akan ornamen dan simbol-simbol yang berhubungan dengan kepercayaan aliran Buddha, Tao, dan Konfusianisme. Bila dirunut sejarahnya, kelenteng kuno ini dibangun pada 1746 oleh seorang pedagang yang bernama Kho Ping dan Bon Wie.

Ketua Umum Yayasan Kelenteng Tay Kak Sie Tanto Hermawan mengungkapkan, kelenteng ini terlengkap di Jawa Tengah karena memiliki 29 dewa dan dewi sebagai wujud penghormatan. "Jadi dewa mana pun yang dicari ada di sini sesuai dengan tugas masing-masing," kata Tanto.

Menurutnya banyak dewa dan dewi yang dipuja, tetapi sebenarnya tuan rumah dari Kelenteng Tay Kak Sie adalah Dewi Welas Asih.

Wali Kota Semarang Hendrar Prihadi mengakui bahwa kawasan pecinan di Kota Semarang selalu ramai setiap Tahun Baru Imlek, termasuk di kawasan Gang Lombok yang di dalamnya ada kelenteng tua Tay Kak Sie dan sejarah lahirnya kuliner khas lumpia. Penataan kawasan ini dimulai sekitar 15 tahun silam melalui dasar Surat Keputusan Wali Kota No 650/157 Tanggal 28 Juni 2005.

Menurutnya, kawasan pecinan yang awalnya hanya pusat perdagangan orang-orang etnis Tionghoa kemudian berubah menjadi pusat wisata yang menampilkan kebudayaan China di Kota Semarang.

Data Pemkot Semarang menyebutkan, setidaknya ada sembilan kelenteng di kawasan Pecinan, yakni Kelenteng Siu Hok Bio, Kelenteng Tek Hay Bio/Kwee Lak Kwa, Kelenteng Tay Kak Sie, Kelenteng Kong Tik Soe, Kelenteng Hoo Hok Bio, Kelenteng Tong Pek Bio, Kelenteng Wie Hwie, Kelenteng Ling Hok Bio, dan Kelenteng See Hoo Kiong/Ma Tjouw Kiong.

Pemerhati Tionghoa Semarang Jongkie Tio menuturkan bahwa sejarah kawasan Pecinan di Semarang berbeda dengan kawasan Pecinan lainnya. Menurutnya Pecinan Semarang terbentuk bukan karena berkumpulnya suatu etnis dan kemudian berkembang menjadi sebuah perkampungan. Namun perkampungan ini tercipta karena ada kebijakan kolonial Belanda yang mengumpulkan etnik Tionghoa di satu tempat.

"Karena di masa Belanda ada pemberontakan yang melibatkan warga Tionghoa sehingga muncul aturan agar warga Tionghoa dikumpulkan dalam suatu wilayah agar bisa dipantau pergerakannya. Di Pecinanlah dulu orang-orang Tionghoa dikumpulkan," ungkap Jongkie.

Dia menceritakan, sejarah terbentuknya kampung Pecinan di Semarang bermula pada 1740 ketika orang-orang Tionghoa melakukan pemberontakan di Batavia. Konflik ini membuat pembantaian etnik Tionghoa oleh kolonial Belanda tak bisa terhindarkan.

Situasi Batavia yang makin tak kondusif membuat warga Tionghoa berusaha menyelamatkan diri ke arah timur menyusuri pantai utara (pantura). Sesampainya di Semarang, warga Tionghoa diterima dengan senang hati oleh Pakubuwono I dan bupati-bupati sekitarnya.

Saat itu Pakubuwono I melihat betapa besarnya potensi pemberontakan yang dilakukan warga Tionghoa terhadap Belanda. Pakubuwono I pun bermaksud ingin menggalang kekuatan dengan warga Tionghoa guna melawan VOC di Jepara.

Namun saat Pakubuwono I meninggal dan digantikan Pakubuwono II, situasinya kian lama berubah. Hubungan raja dengan bupati-bupati lainnya tidak harmonis lagi. Pemberontakan pun pecah. “Orang Tionghoa yang sejak awal berhubungan baik dengan para bupati turut terlibat," ujarnya.

Perlahan Semarang akhirnya jatuh, disusul Juwana, Jepara hingga Rembang. Orang-orang Tionghoa yang kalah kekuatan dan terdesak lalu lari masuk ke Kartasura. Wilayah administratif Semarang akhirnya jatuh ke tangan Belanda.

Akibat pemberontakan itu pada tahun 1743 keluarlah peraturan agar orang Tionghoa dikumpulkan dalam satu wilayah saja. Sehingga semua orang Tionghoa yang tinggal di Simongan Semarang dipindahkan ke sebuah lokasi yang tak jauh dari Kota Lama.

Menariknya meski berada di wilayah sempit dengan rumah-rumah yang sangat berdekatan plus akses satu gang saja seperti Gang Lombok, wilayah Pecinan bertransformasi menjadi wilayah kekuatan ekonomi di Semarang. Hingga kemudian dibukalah pasar pembaharuan di Gang Baru. Seiring dengan perkembangan teknologi, Gang Lombok pun tak henti bertransformasi agar terus menarik wisatawan berkunjung. (Ahmad Antoni)
(ysw)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6188 seconds (0.1#10.140)