Anak sebagai Pelaku sekaligus Korban Perundungan

Senin, 02 Maret 2020 - 10:07 WIB
Anak sebagai Pelaku sekaligus Korban Perundungan
Anak sebagai Pelaku sekaligus Korban Perundungan
A A A
Reni Kartikawati
Staf Pengajar Departemen Kriminologi FISIP UI

“Sekolah tempat belajar, bukan dihajar!” adalah tagline sekaligus pukulan bagi dunia pendidikan di Indonesia. Video perundungan di salah satu sekolah menengah pertama (SMP) di Purworejo, Jawa Tengah, yang membuat Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo sampai turun tangan, langsung beredar. Kasus perundungan serupa terjadi pada Januari 2020 di Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN) 16 Kota Malang, Jawa Timur.

Catatan KPAI tahun 2018 menunjukkan kasus anak pelaku kekerasan dan perundungan adalah paling banyak terjadi bidang pendidikan. Dari 161 kasus, 41 kasus di antaranya adalah kasus anak pelaku kekerasan dan perundungan. Di jenjang sekolah dasar sebanyak 25 kasus atau 67%, jenjang SMP sebanyak 5 kasus, SMA sebanyak 6 kasus, perguruan tinggi sebanyak 1 kasus, dan lainnya 4 kasus (www.kpai.go.id. KPAI juga mencatat dalam kurun waktu 9 tahun, mulai dari 2011–2019 ada 37.381 kasus pengaduan kekerasan terhadap anak. Sedangkan kasus perundungan, baik di bidang pendidikan maupun sosial media mencapai 2.473 laporan dengan tren terus meningkat.

Aturan kebijakan terhadap fenomena kasus perundungan dengan pelaku dan korban anak, komitmen pemerintah untuk perlindungan terhadap hak anak telah jelas dan dijamin dalam UUD RI tahun 1945 Pasal 28B ayat (2) yang menyatakan bahwa “setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang, serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.”

Selain itu, Permendikbud No. 82/2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan adalah salah satu aturan terkait anak khusus tentang perundungan. Pasal 2 aturan ini menyatakan: tujuan dari pencegahan dan penanggulangan tindak kekerasan di lingkungan satuan pendidikan dimaksudkan untuk menciptakan kondisi proses pembelajaran yang aman, nyaman, dan menyenangkan, serta menghindarkan semua warga sekolah dari unsur-unsur atau tindakan kekerasan, dan menumbuhkan kehidupan pergaulan yang harmonis dan kebersamaan antara peserta didik atau antara peserta didik dengan pendidik, tenaga kependidikan, dan orang tua, serta masyarakat baik dalam satu satuan pendidikan maupun antar satuan pendidikan.

Kemudian Pasal 6 poin (b) juga menyebutkan perundungan adalah tindakan mengganggu, mengusik terus-menerus, atau menyusahkan dan dikategorikan salah satu tindak kekerasan di lingkungan satuan pendidikan. Permendikbud juga mengatur mengenai upaya pencegahan, penanggulangan, dan sanksi yang bisa dikenakan terhadap peserta didik yang melakukan tindakan kekerasan atau sanksi terhadap satuan pendidikan dan kepala sekolah jika masih terdapat praktik kekerasan di lingkungan sekolahnya.

Artinya, siswa (peserta didik), orang tua/wali peserta didik, pendidik (guru), tenaga kependidikan, satuan pendidikan, komite sekolah, masyarakat, pemerintah kabupaten/kota/provinsi, sampai dengan pemerintah sesuai dengan kewenangannya dilibatkan untuk pencegahan. Sanksi bagi peserta didik, menurut aturan ini adalah mulai dari teguran lisan, tertulis, sampai dengan tindakan lain bersifat edukatif untuk peserta didik. Sedangkan untuk pendidik dan tenaga pendidikan diberikan sanksi lebih tegas berupa pemberhentian sementara atau tetap atau pemutusan hubungan kerja.

Faktor penyebab anak melakukan perundungan dan sanksi hukumnya: sudahkah berperspektif perlindungan terhadap anak?

Anak sebagai pelaku perundungan dalam kajian kriminologi disebut sebagai anak nakal (delinquent juvenile) dan bukan penjahat (Mustofa, 2010). Kematangan moral dan psikologis anak—dalam melihat tindakannya—belum berkembang seperti orang dewasa sehingga anak pelaku perundungan terkadang menilai perbuatan yang dia lakukan hanya sebagai candaan dan tidak untuk menyakiti korbannya (Darmawan, 2017).

Namun, apakah lantas kita bisa menolerir perbuatan tersebut? Karena dalam hal ini, ada korban yang mengalami kekerasan dan ada yang juga masih berstatus sebagai anak. Bagaimana kita menyikapinya agar tidak terus berulang? Terselesaikan tidak hanya lewat cara represif, baik oleh sekolah, orang tua, maupun pemerintah.

Secara kriminologis, anak pelaku perundungan sesungguhnya adalah korban (juga) dari sistem dan struktur sosial, pola asuh dan sosialisasi nilai dalam keluarga, sekolah, serta pengaruh lingkungan, termasuk peer group, media, dan kontrol sosial masyarakat yang berubah cepat (Sari &Anwar, 2017; Sufriani & Sari, 2017).

Novalita (2019) menemukan bahwa penyebab terbesar anak melakukan perundungan adalah paparan kekerasan dari berbagai media yang memberikan edukasi dan misedukasi terhadap kejahatan/kekerasan oleh sebuah tayangan. Karena itu, anak yang terbiasa menyaksikan kekerasan sebagai penyelesaian masalah akan menyelesaikan masalahnya dengan kekerasan pula.

Penyebab lainnya; balas dendam pelaku yang pernah menjadi korban. Ini sejalan dengan General Strain Theory of Crime and Delinquency oleh Robert Agnew (2010): untuk setiap stres yang menimpanya, anak akan lebih mungkin mengalami emosi negatif; yang artinya anak juga akan lebih mungkin melampiaskan kekecewaan, ketakutan, dan rasa marahnya dalam bentuk keinginan balas dendam; yang lalu dilampiaskannya kepada korbannya.

Kesimpulannya, menurut Agnew, anak pelaku perundungan seharusnya juga dilihat sebagai “korban” stres. Kita harusnya menengok kembali sudahkah keluarga pelaku menjadi sistem sosial yang mendukung, bagaimanakah pola asuh orang tua, sudahkan orang tua menanamkan nilai sosial dan moral yang baik, jika anak melakukan kesalahan, bagaimana kontrol sosialnya dilakukan: apakah dengan cara kekerasan?

Lalu, sudahkah lingkungan sosial anak mendukung terciptanya tindakan yang baik, misalnya sudahkah tayangan di televisi berupa sinetron, berita kejahatan, dan lain-lain turut membangun karakter anak untuk tidak menjadi pemarah ataupun agresif dalam menyelesaikan masalah yang dialaminya? Sudahkah lingkungan sekolah juga memiliki fasilitas sarana-prasarana yang mendukung terciptanya lingkungan akademik yang baik sehingga anak merasa diterima dan bertumbuh kembang baik tanpa punishment berlebihan, yang justru membuat anak stres dan melampiaskannya berupa perundungan terhadap temannya.

Pemahaman akan dampak bagi masa depan korban maupun pelaku perundungan adalah hal perlu diperhatikan oleh semua pihak. Ini tercermin dalam Pasal 7 BAB IV Permendikbud No 82/2015 tentang pencegahan yang melibatkan seluruh elemen masyarakat. Sanksi atau proses penghukuman yang diberikan juga harus berperspektif perlindungan anak. Hukuman yang diberikan kepada anak harus merupakan upaya akhir dan tidak dengan mudahnya dijatuhi hukuman pidana, tetapi lebih berupa mengembalikan kepada orang tua.

Jelas tanpa mengesampingkan juga, hak korban yang masih dalam kategori anak untuk mendapatkan pembelaan sehingga tidak lantas mengurangi haknya untuk mendapatkan penanganan khusus yang terbaik.
(ysw)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7427 seconds (0.1#10.140)