Skema Impor Pangan Harus Diubah dari Sistem Kuota ke Tarif
A
A
A
JAKARTA - Ketua Badan Anggaran DPR Said Abdullah meminta pemerintah mengubah skema impor pangan dari sistem kuota menjadi impor dengan model pengenaan tarif.
Menurut Said, kebijakan impor dengan sistem kuota syarat dengan upaya memburu rente para pejabat. Sedangkan dengan model pengenaan tarif negara lebih banyak untungnya. Kebijakan tarif juga tidak memungkinkan adanya selisih harga yang tinggi antara negara asal impor dan dalam negeri, sehingga meminimalisir praktik suap. (Baca juga: Banggar DPR Yakin Pembangunan Ibu Kota Selesai dalam 5 Tahun)
"Para pelaku impor juga lebih terbuka, karena memungkinkan banyak pihak jadi importir. Sebab asal bisa memenuhi pembayaran tarif dan keekonomian barang didalam negeri masih memungkinkan," ujar Said dalam keterangan tertulisnya, Jumat (21/2/2020).
Dia menjelaskan, kebijakan tarif impor secara internasional meminimalisir perselisihan di meja World Trade Organization (WTO) asal pengenaan kebijakan tariff transparan dan mengacu pada ketentuan UU No 7 tahun 1994 tentang Pengesahan Persetujuan WTO. "Konsekuensinya, Indonesia terikat dengan kesepakatan-kesepakatan dalam WTO," imbuhnya
Kebijakan impor sebenarnya lumrah dalam interaksi perdagangan antar negara. Namun dalam kebijakan impor yang ditujukan menyeimbangkan supply and demand justru berubah menjadi ruang berburu rente, permainan kartel dan perselisihan internasional.
Bahkan dalam prinsip perdagangan bebas, kuota impor dianggap sebagai kebijakan haram. WTO menganggap kuota impor sebagai kebijakan proteksionis terhadap barang-barang di dalam negeri, dan diskirimasi terhadap barang-barang negara lain.
Sebab terkait kualifikasi, jumlah, dan kebijakan pendukungnya tidak mengacu pada standar perdagangan internasional, akan tetapi keputusan sepihak pejabat negara pengimpor. Akibatnya, sistem kuota impor seringkali menjadi perselisihan di WTO dari banyak negara. Indonesia diadukan ke WTO oleh Amerika Serikat terkait kuota impor daging, jauh sebelum perang dagang China dan Amerika Serikat.
"Kita sering mendengar berbagai kasus hukum yang muncul akibat kuota impor barang. Biasanya kebijakan impor barang, khususnya pangan, terjadi selisih harga yang cukup tinggi antara didalam negeri dan luar negeri," jelasnya.
Harga di luar negeri ujarnya lebih murah dari pada harga di dalam negeri. Selisih harga yang tinggi memungkinkan para importir memberi fee yang besar kepada para pejabat sindikatif pemberi otoritas.
Motifnya agar klan atau jaringan mereka yang dimenangkan sebagai importir pada proses lelang. Hal inilah yang kerapkali terjadi dalam kebijakan impor pangan kita. "Jadi sesungguhnya kebijakan impor dengan sistem kuota tidak sebenar-benarnya untuk memenuhi kebutuhan pangan didalam negeri, akan tetapi lebih ditujukan untuk berburu rente para pejabat," urainya.
Bahkan kebijakan impor dalam beberapa kasus juga bagian dari dampak permainan para kartel. Saking besarnya peran mereka dalam penentuan di pasar, bahkan pemerintahpun dibuat kalah sehingga pemerintah harus terpaksa impor pangan tertentu.
Ketua DPP PDIP ini menguraikan modus yang seringkali terjadi para kartel menghentikan sementara pasokan dengan cara menimbun. Akibatnya terjadi kelangkaan barang dan harga di pasar tinggi.
Alhasil, pemerintah dituntut untuk menyeimbangkan harga, sementara cadangan pangan milik pemerintah yang ada di Bulog tidak memadai. Konseuensinya pemerintah harus membuka kran impor, yang dalam prosesnya juga tidak bisa lepas dari campur tangan kartel.
"Saya kira, kebijakan impor barang harus dibenahi, khususnya pangan kedepan lebih baik. Hal ini penting agar kedepan tidak menimbulkan perselisihan di WTO, tidak korup dan yang lebih penting lagi menjadi daya topang tumbuh kembang perekonomian dalam negeri secara berkelanjutan," tandasnya.
Menurut Said, kebijakan impor dengan sistem kuota syarat dengan upaya memburu rente para pejabat. Sedangkan dengan model pengenaan tarif negara lebih banyak untungnya. Kebijakan tarif juga tidak memungkinkan adanya selisih harga yang tinggi antara negara asal impor dan dalam negeri, sehingga meminimalisir praktik suap. (Baca juga: Banggar DPR Yakin Pembangunan Ibu Kota Selesai dalam 5 Tahun)
"Para pelaku impor juga lebih terbuka, karena memungkinkan banyak pihak jadi importir. Sebab asal bisa memenuhi pembayaran tarif dan keekonomian barang didalam negeri masih memungkinkan," ujar Said dalam keterangan tertulisnya, Jumat (21/2/2020).
Dia menjelaskan, kebijakan tarif impor secara internasional meminimalisir perselisihan di meja World Trade Organization (WTO) asal pengenaan kebijakan tariff transparan dan mengacu pada ketentuan UU No 7 tahun 1994 tentang Pengesahan Persetujuan WTO. "Konsekuensinya, Indonesia terikat dengan kesepakatan-kesepakatan dalam WTO," imbuhnya
Kebijakan impor sebenarnya lumrah dalam interaksi perdagangan antar negara. Namun dalam kebijakan impor yang ditujukan menyeimbangkan supply and demand justru berubah menjadi ruang berburu rente, permainan kartel dan perselisihan internasional.
Bahkan dalam prinsip perdagangan bebas, kuota impor dianggap sebagai kebijakan haram. WTO menganggap kuota impor sebagai kebijakan proteksionis terhadap barang-barang di dalam negeri, dan diskirimasi terhadap barang-barang negara lain.
Sebab terkait kualifikasi, jumlah, dan kebijakan pendukungnya tidak mengacu pada standar perdagangan internasional, akan tetapi keputusan sepihak pejabat negara pengimpor. Akibatnya, sistem kuota impor seringkali menjadi perselisihan di WTO dari banyak negara. Indonesia diadukan ke WTO oleh Amerika Serikat terkait kuota impor daging, jauh sebelum perang dagang China dan Amerika Serikat.
"Kita sering mendengar berbagai kasus hukum yang muncul akibat kuota impor barang. Biasanya kebijakan impor barang, khususnya pangan, terjadi selisih harga yang cukup tinggi antara didalam negeri dan luar negeri," jelasnya.
Harga di luar negeri ujarnya lebih murah dari pada harga di dalam negeri. Selisih harga yang tinggi memungkinkan para importir memberi fee yang besar kepada para pejabat sindikatif pemberi otoritas.
Motifnya agar klan atau jaringan mereka yang dimenangkan sebagai importir pada proses lelang. Hal inilah yang kerapkali terjadi dalam kebijakan impor pangan kita. "Jadi sesungguhnya kebijakan impor dengan sistem kuota tidak sebenar-benarnya untuk memenuhi kebutuhan pangan didalam negeri, akan tetapi lebih ditujukan untuk berburu rente para pejabat," urainya.
Bahkan kebijakan impor dalam beberapa kasus juga bagian dari dampak permainan para kartel. Saking besarnya peran mereka dalam penentuan di pasar, bahkan pemerintahpun dibuat kalah sehingga pemerintah harus terpaksa impor pangan tertentu.
Ketua DPP PDIP ini menguraikan modus yang seringkali terjadi para kartel menghentikan sementara pasokan dengan cara menimbun. Akibatnya terjadi kelangkaan barang dan harga di pasar tinggi.
Alhasil, pemerintah dituntut untuk menyeimbangkan harga, sementara cadangan pangan milik pemerintah yang ada di Bulog tidak memadai. Konseuensinya pemerintah harus membuka kran impor, yang dalam prosesnya juga tidak bisa lepas dari campur tangan kartel.
"Saya kira, kebijakan impor barang harus dibenahi, khususnya pangan kedepan lebih baik. Hal ini penting agar kedepan tidak menimbulkan perselisihan di WTO, tidak korup dan yang lebih penting lagi menjadi daya topang tumbuh kembang perekonomian dalam negeri secara berkelanjutan," tandasnya.
(shf)