Obsesi Menjadi World Heritage 2020, Kota Lama Semarang Direvitalisasi
A
A
A
DULU, hanya ada satu predikat untuk menyebut Kota Lama atau de ouwde staad Semarang: kumuh dan angker. Namun, kini kawasan yang dijuluki sebagai Little Nederland telah berbenah. Kawasan yang dulu gelap dan suram menjadi terang dan cemerlang. Sudut-sudut kumuh disulap menjadi bersih dan asri, lepas dari kesan angker.
Kota Lama Semarang memang mengandung nilai historis yang kental. Kawasan inilah yang menjadi pusat aktivitas perniagaan di masa Kolonial Hindia-Belanda. Ada 116 bangunan cagar budaya berdiri di kawasan ini. Sekarang, bangunan-bangunan tua bergaya arsitektur Eropa abad 17 tersebut menjadi salah satu titik foto instagrammable paling favorit. Ditambah dengan bangku-bangku di pinggir jalan, lampu-lampu jalan, dan gardu telepon bergaya British.
Perubahan itu tidak lepas dari program revitalisasi yang dilakukan pemerintah. Pemerintah Kota (Pemkot) Semarang menginisiasi proyek revitalisasi dengan Direktorat Cipta Karya Kementerian PUPR sebagai pelaksana. Dimulai sejak 2017, penataan kawasan Kota Lama kini sudah memasuki tahap kedua. Tidak tanggung-tanggung, dana yang digelontorkan untuk tahap pertama sebesar Rp170 miliar.
Pada tahap kedua, dialokasikan dana sebesar Rp60 miliar dari APBN. Program pengembangan Kota Lama ini meliputi pembangunan jalan, tempat pejalan kaki (pedestrian), drainase untuk mengatasi banjir, street furniture, lampu jalan, tempat sampah, dan fasilitas lainnya.
Hingga sekarang, pembenahan kawasan kota lama masih terus dilakukan. Sebut saja misalnya penertiban para pedagang di Jalan Sendowo pekan lalu. Upaya Pemkot Semarang itu dilakukan agar Semarang bisa mendapat pengakuan sebagai kota warisan cagar budaya (World Heritage 2020) dari UNESCO. Dengan begitu, Pemkot Semarang berharap Kota Lama naik kelas langsung sebagai destinasi wisata dunia. “Untuk meningkatkan kunjungan wisatawan mancanegara ke Kota Semarang,” jelas Wali Kota Semarang Hendar Prihadi.
Sayangnya, apa yang telah dilakukan pemerintah dianggap berlebihan. Koordinator Komunitas Pegiat Sejarah Semarang Rukardi mengatakan revitalisasi Kota Lama Semarang sesungguhnya adalah beautification yang justru sudah mengurangi nilai autentifikasi sejarahnya sendiri. “Kota lama ibarat gadis yang sebenarnya sudah cantik, tapi didandani terlalu menor,” tegas Rukardi kepada SINDO Weekly, Rabu pekan lalu.
Kontroversi pengembangan cagar budaya Kota Lama Semarang juga datang dari pemilik bangunan. Beberapa bangunan di kawasan ini dimiliki secara pribadi. Penetapan bangunan sebagai cagar budaya dengan SK wali kota membuat pemilik kerepotan. Kendati diberikan kompensasi potongan pajak bumi bangunan (PBB), proses perawatan cagar budaya sebagaimana diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 11/2010 tidak bisa dilakukan sembarangan. Pemilik harus meminta izin khusus agar bisa merenovasi bangunan. Itu pun mesti didampingi tenaga ahli cagar budaya.
Kekhawatiran atas hilangnya nilai sejarah autentik Kota Lama Semarang akibat revitalisasi yang ”overdosis” tersebut bisa dipahami. Apabila hal itu terjadi, obsesi untuk menjadi World Heritage 2020 justru lenyap. Apalagi, tidak mudah untuk memperoleh predikat tersebut. Kepala Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPJB) Jawa Tengah Sukronedi mengakui predikat tingkat internasional menjadi prestise bagi bangsa dan menarik wisatawan untuk berkunjung.
Akan tetapi, perlu diingat bahwa hanya cagar budaya tingkat nasional yang bisa diajukan ke tingkat internasional. Syarat-syaratnya pun harus terpenuhi, seperti wujud persatuan dan kesatuan bangsa, karya adiluhung yang mencerminkan kekhasan bangsa Indonesia, cagar budaya yang sangat langka, keunikan rancangannya, jumlahnya di Indonesia mesti sedikit, dan syarat lainnya.
Saat ini, cagar budaya di Jawa Tengah yang sudah mendapatkan pengakuan dari UNESCO yaitu Candi Borobudur dan Candi Prambanan. Jawa Tengah sendiri punya banyak candi lain. Sebut saja misalnya Candi Sojiwan di Klaten, Candi Dieng, Gedung Songo di Kabupaten Semarang, Sukuh Cetho di Kabupaten Karanganyar, dan Candi Ngemplon di Semarang.
Program revitalisasi, kata Sukronedi, diperbolehkan secara UU sebagaimana pemeliharaan cagar budaya dalam UU No. 11/2010. Agar unsur keaslian dan budayanya tidak hilang dalam proses tersebut memang tidak gampang. Selain biaya yang besar, juga dibutuhkan sumber daya manusia (SDM) yang mumpuni.
Satu candi, lanjut Sukronedi, membutuhkan biaya sekitar Rp200 juta. Sementara, untuk mencari SDM juga bukan perkara mudah. “Untuk mencari juru pugar di sekolah enggak ada,” katanya. (Efi Susiyanti)
Kota Lama Semarang memang mengandung nilai historis yang kental. Kawasan inilah yang menjadi pusat aktivitas perniagaan di masa Kolonial Hindia-Belanda. Ada 116 bangunan cagar budaya berdiri di kawasan ini. Sekarang, bangunan-bangunan tua bergaya arsitektur Eropa abad 17 tersebut menjadi salah satu titik foto instagrammable paling favorit. Ditambah dengan bangku-bangku di pinggir jalan, lampu-lampu jalan, dan gardu telepon bergaya British.
Perubahan itu tidak lepas dari program revitalisasi yang dilakukan pemerintah. Pemerintah Kota (Pemkot) Semarang menginisiasi proyek revitalisasi dengan Direktorat Cipta Karya Kementerian PUPR sebagai pelaksana. Dimulai sejak 2017, penataan kawasan Kota Lama kini sudah memasuki tahap kedua. Tidak tanggung-tanggung, dana yang digelontorkan untuk tahap pertama sebesar Rp170 miliar.
Pada tahap kedua, dialokasikan dana sebesar Rp60 miliar dari APBN. Program pengembangan Kota Lama ini meliputi pembangunan jalan, tempat pejalan kaki (pedestrian), drainase untuk mengatasi banjir, street furniture, lampu jalan, tempat sampah, dan fasilitas lainnya.
Hingga sekarang, pembenahan kawasan kota lama masih terus dilakukan. Sebut saja misalnya penertiban para pedagang di Jalan Sendowo pekan lalu. Upaya Pemkot Semarang itu dilakukan agar Semarang bisa mendapat pengakuan sebagai kota warisan cagar budaya (World Heritage 2020) dari UNESCO. Dengan begitu, Pemkot Semarang berharap Kota Lama naik kelas langsung sebagai destinasi wisata dunia. “Untuk meningkatkan kunjungan wisatawan mancanegara ke Kota Semarang,” jelas Wali Kota Semarang Hendar Prihadi.
Sayangnya, apa yang telah dilakukan pemerintah dianggap berlebihan. Koordinator Komunitas Pegiat Sejarah Semarang Rukardi mengatakan revitalisasi Kota Lama Semarang sesungguhnya adalah beautification yang justru sudah mengurangi nilai autentifikasi sejarahnya sendiri. “Kota lama ibarat gadis yang sebenarnya sudah cantik, tapi didandani terlalu menor,” tegas Rukardi kepada SINDO Weekly, Rabu pekan lalu.
Kontroversi pengembangan cagar budaya Kota Lama Semarang juga datang dari pemilik bangunan. Beberapa bangunan di kawasan ini dimiliki secara pribadi. Penetapan bangunan sebagai cagar budaya dengan SK wali kota membuat pemilik kerepotan. Kendati diberikan kompensasi potongan pajak bumi bangunan (PBB), proses perawatan cagar budaya sebagaimana diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 11/2010 tidak bisa dilakukan sembarangan. Pemilik harus meminta izin khusus agar bisa merenovasi bangunan. Itu pun mesti didampingi tenaga ahli cagar budaya.
Kekhawatiran atas hilangnya nilai sejarah autentik Kota Lama Semarang akibat revitalisasi yang ”overdosis” tersebut bisa dipahami. Apabila hal itu terjadi, obsesi untuk menjadi World Heritage 2020 justru lenyap. Apalagi, tidak mudah untuk memperoleh predikat tersebut. Kepala Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPJB) Jawa Tengah Sukronedi mengakui predikat tingkat internasional menjadi prestise bagi bangsa dan menarik wisatawan untuk berkunjung.
Akan tetapi, perlu diingat bahwa hanya cagar budaya tingkat nasional yang bisa diajukan ke tingkat internasional. Syarat-syaratnya pun harus terpenuhi, seperti wujud persatuan dan kesatuan bangsa, karya adiluhung yang mencerminkan kekhasan bangsa Indonesia, cagar budaya yang sangat langka, keunikan rancangannya, jumlahnya di Indonesia mesti sedikit, dan syarat lainnya.
Saat ini, cagar budaya di Jawa Tengah yang sudah mendapatkan pengakuan dari UNESCO yaitu Candi Borobudur dan Candi Prambanan. Jawa Tengah sendiri punya banyak candi lain. Sebut saja misalnya Candi Sojiwan di Klaten, Candi Dieng, Gedung Songo di Kabupaten Semarang, Sukuh Cetho di Kabupaten Karanganyar, dan Candi Ngemplon di Semarang.
Program revitalisasi, kata Sukronedi, diperbolehkan secara UU sebagaimana pemeliharaan cagar budaya dalam UU No. 11/2010. Agar unsur keaslian dan budayanya tidak hilang dalam proses tersebut memang tidak gampang. Selain biaya yang besar, juga dibutuhkan sumber daya manusia (SDM) yang mumpuni.
Satu candi, lanjut Sukronedi, membutuhkan biaya sekitar Rp200 juta. Sementara, untuk mencari SDM juga bukan perkara mudah. “Untuk mencari juru pugar di sekolah enggak ada,” katanya. (Efi Susiyanti)
(ysw)