Rentan Jadi Komoditas Politik, Kepala Daerah Diminta Hati-hati Soal Dana Bansos
A
A
A
BANDUNG BARAT - Dana bansos serta hibah seperti dua sisi mata pisau yang bisa mencelakakan atau bahkan bisa menguntungkan bagi seorang kepala daerah. Tidak jarang dana bantuan pemerintah daerah ini pun kerap jadi komoditas politik karena begitu sensitif dan menjadi isu menarik karena berbicara nominal rupiah yang digelontorkan.
Data di Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) KBB, dana hibah tahun 2019 mencapai Rp77 miliar lebih dengan serapan Rp76 miliar atau 98,65%. Sementara untuk dana bansos sebesar Rp16, 86 miliar dengan realisasi hanya Rp12.32 miliar atau 73,09%. Anggaran hibah itu tidak hanya tersentralistik di bagian Kesejahteraan Rakyat (Kesra), tapi juga ada yang Dinas Sosial, Disdik, Dispora, Kesbangpol, Dinas Pertanian, dan sejumlah dinas lainnya.
Direktur Eksekutif Sundanedia Digdaya Institute, Moch Galuh Fauzi mengatakan, apa yang terjadi di Kabupaten Bandung Barat (KBB) saat ini, seakan merepresentasikan hal tersebut. Ini berawal dari adanya surat Polda Jabar yang meminta dokumen dana bansos dan hibah yang bersumber dari APBD KBB tahun 2019. "Polemik permintaan dokumen dari kepolisian terhadap Bupati Bandung Barat harus jelas, masyarakat juga mesti mengawal, agar hal ini tidak bergeser menjadi komoditas politik," ucapnya, Jumat (24/1/2020).
Menurutnya pihak kepolisian juga perlu memberikan keterangan yang lebih jelas. Apalagi sempat muncul adanya pernyataan akan menjemput paksa bupati jika tidak menyerahkan dokumen bansos dan hibah. Dirinya khawatir pernyataan itu lantas 'digoreng' dengan masif untuk menggerus kepercayaan masyarakat terhadap bupati.
Faktanya, kata Galuh, di sejumlah media sosial muncul berbagai macam komentar bahkan terkesan tendesius karena menganggap bupati tidak koperatif, dll. Padahal semestinya masyarakat fokus mengawal bila benar ada dugaan pidana korupsi dalam kasus hibah dan bansos itu. Bukan malah membumbui lewat komentar dan opini yang membuat suasana menjadi gerah.
Terkait pendelegasian yang dilakukan bupati terhadap bawahannya untuk mengirimkan lampiran dokumen yang diminta oleh pihak kepolisian, dinilainya sah-sah saja. Termasuk melakukan langkah tepat dengan mengumpulkan para kepala dinas pascapermintaan dokumen yang dimaksud, mengingat hibah dan bansos disimpan di berbagai OPD.
Lebih lanjut, masyarakat juga perlu tahu bahwa mekanisme hibah sudah diatur melalui Permendagri Nomor 123 Tahun 2018 tentang Perubahan Keempat Atas Permendagri Nomor 32 Tahun 2011 tentang Pedoman Pemberian Hibah dan Bantuan Sosial yang Bersumber dari APBD. Jadi jelas bahwa mekanisme hibah secara teknis prosesnya ada di kepala OPD melalui Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) yang dipimpin Sekda.
"Rekomendasi OPD dan TAPD itu yang menjadi dasar pencantuman alokasi dana hibah dalam rancangan Kebijakan Umum Anggaran dan Prioritas Plafon Anggaran Sementara (KUA PPAS)," sebutnya.
Data di Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) KBB, dana hibah tahun 2019 mencapai Rp77 miliar lebih dengan serapan Rp76 miliar atau 98,65%. Sementara untuk dana bansos sebesar Rp16, 86 miliar dengan realisasi hanya Rp12.32 miliar atau 73,09%. Anggaran hibah itu tidak hanya tersentralistik di bagian Kesejahteraan Rakyat (Kesra), tapi juga ada yang Dinas Sosial, Disdik, Dispora, Kesbangpol, Dinas Pertanian, dan sejumlah dinas lainnya.
Direktur Eksekutif Sundanedia Digdaya Institute, Moch Galuh Fauzi mengatakan, apa yang terjadi di Kabupaten Bandung Barat (KBB) saat ini, seakan merepresentasikan hal tersebut. Ini berawal dari adanya surat Polda Jabar yang meminta dokumen dana bansos dan hibah yang bersumber dari APBD KBB tahun 2019. "Polemik permintaan dokumen dari kepolisian terhadap Bupati Bandung Barat harus jelas, masyarakat juga mesti mengawal, agar hal ini tidak bergeser menjadi komoditas politik," ucapnya, Jumat (24/1/2020).
Menurutnya pihak kepolisian juga perlu memberikan keterangan yang lebih jelas. Apalagi sempat muncul adanya pernyataan akan menjemput paksa bupati jika tidak menyerahkan dokumen bansos dan hibah. Dirinya khawatir pernyataan itu lantas 'digoreng' dengan masif untuk menggerus kepercayaan masyarakat terhadap bupati.
Faktanya, kata Galuh, di sejumlah media sosial muncul berbagai macam komentar bahkan terkesan tendesius karena menganggap bupati tidak koperatif, dll. Padahal semestinya masyarakat fokus mengawal bila benar ada dugaan pidana korupsi dalam kasus hibah dan bansos itu. Bukan malah membumbui lewat komentar dan opini yang membuat suasana menjadi gerah.
Terkait pendelegasian yang dilakukan bupati terhadap bawahannya untuk mengirimkan lampiran dokumen yang diminta oleh pihak kepolisian, dinilainya sah-sah saja. Termasuk melakukan langkah tepat dengan mengumpulkan para kepala dinas pascapermintaan dokumen yang dimaksud, mengingat hibah dan bansos disimpan di berbagai OPD.
Lebih lanjut, masyarakat juga perlu tahu bahwa mekanisme hibah sudah diatur melalui Permendagri Nomor 123 Tahun 2018 tentang Perubahan Keempat Atas Permendagri Nomor 32 Tahun 2011 tentang Pedoman Pemberian Hibah dan Bantuan Sosial yang Bersumber dari APBD. Jadi jelas bahwa mekanisme hibah secara teknis prosesnya ada di kepala OPD melalui Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) yang dipimpin Sekda.
"Rekomendasi OPD dan TAPD itu yang menjadi dasar pencantuman alokasi dana hibah dalam rancangan Kebijakan Umum Anggaran dan Prioritas Plafon Anggaran Sementara (KUA PPAS)," sebutnya.
(pur)