Bedah Pengelolaan Air, Eks Ketua Presidium GMNI Raih Gelar Doktor
A
A
A
DEPOK - Mantan Ketua Presidium GMNI, Wahyuni Refi Setya Bekti berhasil meraih gelar doktor di bidang ilmu politik dengan predikat sangat memuaskan (cum laude) di Universitas Indonesia (UI), Depok, Jabar.
Refi sukses mempertahankan disertasinya dalam promosi doktor yang digelar di Auditorium Juwono Sudarsono, Kampus FISIP UI, Rabu (8/1/2020). Dipromotori oleh Maswadi Rauf dan co-promotor Chusnul Mar’iyah, Refi membedah karya ilmiah yang berjudul Konflik Politik Pengelolaan Sumber Daya Air, Studi Kasus Perumusan dan Pembatalan UU No 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (SDA). (Baca juga: Mahasiswa UI Juara Vocational Banking and Finance Competition 2019)
"Topik ini dipilih karena studi tentang kebijakan pengelolaan SDA di Indonesia, terutama dalam perspektif ilmu politik dengan relasi antara kekuasaan negara, korporasi, dan organisasi masyarakat sipil (civil society) belum banyak dilakukan," ujar Refi dalam keterangan tertulisnya.
Menurut Ketua Presidium Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) periode 2002-2004 ini, konflik politik yang terjadi di seputar pengesahan UU SDA 2004 menarik dikaji. Selain kerasnya perdebatan saat RUU SDA dibahas di DPR, juga marak penolakan dan permohonan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) setelah UU SDA 2004 resmi diundangkan. (Baca juga: Ini Kampus Terhijau Dunia versi UI GreenMetric World University)
Refi mencatat, UU No 7/2004 menghadapi permohonan pengajuan uji materi dengan jumlah pemohon terbanyak. "Enam kali permohonan pengajuan uji materi ditolak, sampai akhirnya diterima dengan pembatalan secara keseluruhan undang-undang merupakan gambaran betapa panjang tarik menarik kepentingan yang terjadi," lanjut Wakil Sekjen DPP PAN ini.
Ada sejumlah temuan penting yang Refi dapatkan dalam penelitiannya, di antaranya pengesahan UU SDA 2004 sangat kental diwarnai oleh pertarungan ideologi. Yakni, ideologi neoliberal yang mewakili kepentingan korporasi asing dan lembaga keuangan internasional versus ideologi nasionalis yang lebih pro kepada kepentingan rakyat.
Temuan Refi menunjukkan, korporasi selalu menggunakan kekuatan lembaga donor untuk memaksa negara dengan membuat kebijakan seturut kepentingannya.
Selain itu, kebijakan tata kelola air yang ditandai dengan terbitnya UU SDA 2004 sekaligus merupakan cermin gagalnya negara dalam memenuhi dan menjamin hak rakyat atas air, yang merupakan bagian dari hak asasi manusia. Hal itu diperkuat dengan adanya pasal dalam UU SDA 2004 yang mengandung muatan privatisasi, meski dibahasakan dengan istilah Hak Guna Usaha Air.
"Pada praktiknya hal itu bertujuan memperbesar peran swasta dan melepaskan peran utama negara dalam pengelolaan SDA di Indonesia," ujarnya.
Pengesahan UU SDA 2004 di Sidang Paripurna DPR RI itu sendiri diwarnai dengan catatan keberatan (minderheit nota) dan aksi walk out Fraksi Reformasi. Namun, secara aklamasi, UU SDA 2004 tetap disahkan menggantikan UU No 11/1974 tentang Pengairan.
Temuan lain yang tak kalah penting, MK sebagai penjaga ideologi negara (guardian of state ideology) pada akhirnya tampil sebagai pemberi solusi untuk mencegah konflik antara pemerintah dengan civil society semakin luas dan tajam. Hal itu ditandai dengan keputusan MK yang membatalkan seluruh materi UU SDA pada Februari 2015.
Keputusan tersebut dapat diartikan MK mengajak kembali dari ideologi neoliberal yang diusung oleh UU SDA 2004 ke ideologi nasionalis, sebagaimana ketentuan Pasal 33 UUD 1945. "Pembatalan UU SDA 2004 secara keseluruhan membuktikan bahwa MK peka apabila sudah menyangkut ideologi neoliberal yang tidak sesuai dengan UUD 1945," jelas Refi.
Refi sukses mempertahankan disertasinya dalam promosi doktor yang digelar di Auditorium Juwono Sudarsono, Kampus FISIP UI, Rabu (8/1/2020). Dipromotori oleh Maswadi Rauf dan co-promotor Chusnul Mar’iyah, Refi membedah karya ilmiah yang berjudul Konflik Politik Pengelolaan Sumber Daya Air, Studi Kasus Perumusan dan Pembatalan UU No 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (SDA). (Baca juga: Mahasiswa UI Juara Vocational Banking and Finance Competition 2019)
"Topik ini dipilih karena studi tentang kebijakan pengelolaan SDA di Indonesia, terutama dalam perspektif ilmu politik dengan relasi antara kekuasaan negara, korporasi, dan organisasi masyarakat sipil (civil society) belum banyak dilakukan," ujar Refi dalam keterangan tertulisnya.
Menurut Ketua Presidium Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) periode 2002-2004 ini, konflik politik yang terjadi di seputar pengesahan UU SDA 2004 menarik dikaji. Selain kerasnya perdebatan saat RUU SDA dibahas di DPR, juga marak penolakan dan permohonan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) setelah UU SDA 2004 resmi diundangkan. (Baca juga: Ini Kampus Terhijau Dunia versi UI GreenMetric World University)
Refi mencatat, UU No 7/2004 menghadapi permohonan pengajuan uji materi dengan jumlah pemohon terbanyak. "Enam kali permohonan pengajuan uji materi ditolak, sampai akhirnya diterima dengan pembatalan secara keseluruhan undang-undang merupakan gambaran betapa panjang tarik menarik kepentingan yang terjadi," lanjut Wakil Sekjen DPP PAN ini.
Ada sejumlah temuan penting yang Refi dapatkan dalam penelitiannya, di antaranya pengesahan UU SDA 2004 sangat kental diwarnai oleh pertarungan ideologi. Yakni, ideologi neoliberal yang mewakili kepentingan korporasi asing dan lembaga keuangan internasional versus ideologi nasionalis yang lebih pro kepada kepentingan rakyat.
Temuan Refi menunjukkan, korporasi selalu menggunakan kekuatan lembaga donor untuk memaksa negara dengan membuat kebijakan seturut kepentingannya.
Selain itu, kebijakan tata kelola air yang ditandai dengan terbitnya UU SDA 2004 sekaligus merupakan cermin gagalnya negara dalam memenuhi dan menjamin hak rakyat atas air, yang merupakan bagian dari hak asasi manusia. Hal itu diperkuat dengan adanya pasal dalam UU SDA 2004 yang mengandung muatan privatisasi, meski dibahasakan dengan istilah Hak Guna Usaha Air.
"Pada praktiknya hal itu bertujuan memperbesar peran swasta dan melepaskan peran utama negara dalam pengelolaan SDA di Indonesia," ujarnya.
Pengesahan UU SDA 2004 di Sidang Paripurna DPR RI itu sendiri diwarnai dengan catatan keberatan (minderheit nota) dan aksi walk out Fraksi Reformasi. Namun, secara aklamasi, UU SDA 2004 tetap disahkan menggantikan UU No 11/1974 tentang Pengairan.
Temuan lain yang tak kalah penting, MK sebagai penjaga ideologi negara (guardian of state ideology) pada akhirnya tampil sebagai pemberi solusi untuk mencegah konflik antara pemerintah dengan civil society semakin luas dan tajam. Hal itu ditandai dengan keputusan MK yang membatalkan seluruh materi UU SDA pada Februari 2015.
Keputusan tersebut dapat diartikan MK mengajak kembali dari ideologi neoliberal yang diusung oleh UU SDA 2004 ke ideologi nasionalis, sebagaimana ketentuan Pasal 33 UUD 1945. "Pembatalan UU SDA 2004 secara keseluruhan membuktikan bahwa MK peka apabila sudah menyangkut ideologi neoliberal yang tidak sesuai dengan UUD 1945," jelas Refi.
(shf)