Di Pantai Serang Blitar, Ide Pemberontakan S Soeprijadi Berkobar
A
A
A
Sebelum meletus pemberontakan tentara Pembela Tanah Air (PETA) 14 Februari 1945, Shodanco Soeprijadi sempat bermarkas di Pantai Selatan Serang, Kecamatan Panggungrejo, Kabupaten Blitar.
Shodanco merupakan komandan peleton yang membawahi 26-55 personel. Dalam militer Jepang, Shodanco termasuk golongan perwira yang struktur kepangkatannya di bawah Chudanco atau Komandan Kompi yang memiliki 80-225 personel pasukan.
Bersama anak buahnya, Shodanco Soeprijadi oleh Jepang ditempatkan di pantai selatan Serang. “Soeprijadi memang pernah berasrama di Pantai Serang,“ kata Raban Yuwono, tokoh masyarakat Desa Serang yang sekaligus penggiat seni Mocopat kepada SINDOnews.
Tiga bulan setelah menaklukkan Belanda, yakni Juni 1942, Jepang melakukan penguatan pasukan sekaligus menjaga seluruh kawasan Indonesia. Terutama perairan yang berpotensi menjadi pintu masuk musuh.
Organisasi sukarelawan Jawa Boei Giyugun (Giyugun) atau lebih dikenal dengan PETA (Pembela Tanah Air) langsung didirikan. Rekrutmen besar-besaran seketika digelar.
PETA yang diisi putra putra Indonesia, di awal pendiriannya memiliki 33 batalyon dengan masing masing 522 prajurit dan perwira. Perwira PETA atau setingkat Shodanco sebagian besar berasal dari golongan priyayi, yakni baik priyayi rendah maupun priyayi tinggi, termasuk bangsawan.
Bahkan dalam seleksi sebanyak 2.088 calon perwira (1942-1943) PETA di Bogor, Jawa Barat, terdapat 11 pangeran muda Jawa, yang 10 di antaranya datang dari Solo dan satu orang dari Yogyakarta.
Selain alasan latar belakang pendidikan yang lebih maju, sehat jasmani dan rohani, kedudukan sosial tinggi di masyarakat menjadi pertimbangan pemilihan perwira PETA. Kedudukan sosial tinggi dianggap akan menguntungkan Jepang.
Para komandan daidancho atau batalyon, komandan chudanco dan komandan shodanco seluruhnya orang Indonesia. Begitu juga dengan prajurit PETA, sebagian besar orang Jawa dan Sunda.
Kendati demikian di setiap pasukan tetap ditempatkan sebanyak dua tiga orang perwira dan empat sampai lima orang bintara Jepang. Mereka ditugaskan di bidang adminsitrasi, penghubung dan pelatihan.
Dalam tempo dua tahun, PETA berkembang menjadi 69 batalyon, dengan sebanyak 37.500 orang personel yang terpusat di Pulau Jawa dan Bali, serta 20.000 personel lain di Pulau Sumatera.
Di sisi lain dari 55.000 tentara Jepang yang ada di Indonesia hanya disisakan 15.000 personel. Selebihnya ditarik pulang ke Tokyo.
Di Pantai Serang yang berjarak 43 kilometer dari Kota Blitar, selama tiga tahun (1942-1945) Soeprijadi diperintahkan menjaga pertahanan laut selatan. Hal itu sesuai dokumen tentara ke-16 AD Jepang, bahwa pasukan PETA memang tidak ditempatkan di garis depan.
PETA hanya ditugasi mengawasi kawasan pantai dari udara. Kemudian juga menjaga obyek obyek vital, dan melakukan kerjasama untuk membangun benteng pertahanan. Ketika terjadi perang, pasukan PETA tidak ikut ambil bagian di garda depan.
Mereka tetap ditempatkan di garis belakang dan hanya melakukan tugas penjagaan. Versi lain menyebut PETA dipersiapkan Jepang untuk menghadapi perang gerilya dalam jangka panjang. Yakni, apabila sekutu kembali mendarat di wilayah Indonesia.
Namun perhitungan itu meleset. Sekutu tidak masuk Indonesia. Justru langsung menyerbu Jepang dengan memotong jalan dari Papua dan langsung ke Filipina. Dan terjadilah insiden bom atom Hiroshima dan Nagasaki (6 dan 9 Agustus 1945) yang seketika Jepang menyerah tanpa syarat kepada sekutu.
“Sayangnya bekas asrama PETA itu sudah tidak ada jejaknya. Semuanya sudah menjadi permukiman warga,“ kata Raban.
Di saat berbarengan, Jepang juga membangun tanggul pertahanan di Pantai Serang dan Pantai Tambakrejo, dengan mengerahkan tenaga romusha. Romusha merupakan sistem kerja paksa di zaman penjajahan Jepang yang kekejamannya setara kerja rodi Belanda.
Para pemuda dari berbagai daerah dikumpulkan, diangkut untuk diperas tenaganya tanpa bayaran. Tidak jarang, mereka yang sakit dan tua mati karena siksaan. Melihat ragam penyiksaan itu, Soeprijadi timbul ide pemberontakan yang kemudian dia letuskan pada 14 Februari 1945.
“Kabarnya pemberontakan yang dilakukan Soeprijadi karena melihat kekejaman tentara Jepang terhadap romusha. Pemandangan itu salah satunya terjadi di kawasan Pantai Serang,“ kata Raban yang juga mantan anggota legislatif Kabupaten Blitar.
Di kawasan Pantai Serang juga terdapat pohon beringin tua. Tanaman tua yang dicungkupi itu. Yakni, bagian pinggirnya dilindungi pagar tembok dengan satu pintu masuk di sisi depan, diyakini sebagai petilasan Soeprijadi.
Untuk menegaskan itu sebuah tulisan pada kayu dipasang di atasnya. Menurut Raban, informasi yang dia terima, Soeprijadi memang pernah singgah di lokasi pohon beringin itu berada. Namun sifatnya hanya mampir, tidak sampai menginap berhari hari.
Karenanya, menurut dia, kurang tepat jika pohon beringin itu dikatakan sebagai petilasan. “Kalau konsepnya petilasan sebagai ampiran saja memang benar. Namun di situ (pohon beringin) tidak sampai berhari hari,“ kata dia.
Begitu juga dengan informasi selama di Pantai Serang Soeprijadi gemar bermiditasi di atas karang yang berlokasi di tengah lautan. Bisa jadi cerita itu, kata Raban benar adanya.
Sebab memang di pesisir Pantai Serang banyak terdapat gugusan karang dan putra Bupati Blitar era kemerdekaan Darmadi itu memang dikenal memiliki kebiasaan gemar berlaku tirakat.
Namun dia menduga karang yang dimaksud tidak berada di tengah lautan. “Bisa jadi karang di sekitar pantai itu. Namun karena dulu airnya lebih besar, sehingga terlihat seperti berada di tengah,“ kata Raban.
Seiring perjalanan waktu, setelah bertugas di Pantai Serang, Soeprijadi benar-benar mewujudkan gagasan pemberontakannya. Meski kalah dan banyak tentara PETA yang dihukum gantung, termasuk Soeprijadi sendiri tidak jelas rimbanya, perlawanan itu dicatat dalam sejarah kemerdekaaan bangsa Indonesia.
Untuk mengenang peristiwa itu, sebuah monumen berupa patung setengah badan Soeprijadi didirikan di lapangan Desa Serang, sebelah utara kawasan pantai.
Menurut Kepala Desa Serang Dwi Handoko, setiap 14 Februari, peristiwa pemberontakan PETA itu selalu dikenang dengan acara napak tilas ke sejumlah titik yang tempat persinggahan Soeprijadi selama di Serang.
Pantai Serang yang memiliki tradisi pelepasan tukik (anak penyu), festival musik jazz, layang layang, patung pasir, kesenian tradisional jaranan serta barongan itu juga merupakan salah satu kawasan wisata andalan di Kabupaten Blitar.
“Desa kami memang memiliki sejarah cukup erat dengan perjalanan Shodanco Soeprijadi dan tentara PETA,“ pungkas Dwi Handoko.
Sumber :Diolah dari berbagai sumber
Shodanco merupakan komandan peleton yang membawahi 26-55 personel. Dalam militer Jepang, Shodanco termasuk golongan perwira yang struktur kepangkatannya di bawah Chudanco atau Komandan Kompi yang memiliki 80-225 personel pasukan.
Bersama anak buahnya, Shodanco Soeprijadi oleh Jepang ditempatkan di pantai selatan Serang. “Soeprijadi memang pernah berasrama di Pantai Serang,“ kata Raban Yuwono, tokoh masyarakat Desa Serang yang sekaligus penggiat seni Mocopat kepada SINDOnews.
Tiga bulan setelah menaklukkan Belanda, yakni Juni 1942, Jepang melakukan penguatan pasukan sekaligus menjaga seluruh kawasan Indonesia. Terutama perairan yang berpotensi menjadi pintu masuk musuh.
Organisasi sukarelawan Jawa Boei Giyugun (Giyugun) atau lebih dikenal dengan PETA (Pembela Tanah Air) langsung didirikan. Rekrutmen besar-besaran seketika digelar.
PETA yang diisi putra putra Indonesia, di awal pendiriannya memiliki 33 batalyon dengan masing masing 522 prajurit dan perwira. Perwira PETA atau setingkat Shodanco sebagian besar berasal dari golongan priyayi, yakni baik priyayi rendah maupun priyayi tinggi, termasuk bangsawan.
Bahkan dalam seleksi sebanyak 2.088 calon perwira (1942-1943) PETA di Bogor, Jawa Barat, terdapat 11 pangeran muda Jawa, yang 10 di antaranya datang dari Solo dan satu orang dari Yogyakarta.
Selain alasan latar belakang pendidikan yang lebih maju, sehat jasmani dan rohani, kedudukan sosial tinggi di masyarakat menjadi pertimbangan pemilihan perwira PETA. Kedudukan sosial tinggi dianggap akan menguntungkan Jepang.
Para komandan daidancho atau batalyon, komandan chudanco dan komandan shodanco seluruhnya orang Indonesia. Begitu juga dengan prajurit PETA, sebagian besar orang Jawa dan Sunda.
Kendati demikian di setiap pasukan tetap ditempatkan sebanyak dua tiga orang perwira dan empat sampai lima orang bintara Jepang. Mereka ditugaskan di bidang adminsitrasi, penghubung dan pelatihan.
Dalam tempo dua tahun, PETA berkembang menjadi 69 batalyon, dengan sebanyak 37.500 orang personel yang terpusat di Pulau Jawa dan Bali, serta 20.000 personel lain di Pulau Sumatera.
Di sisi lain dari 55.000 tentara Jepang yang ada di Indonesia hanya disisakan 15.000 personel. Selebihnya ditarik pulang ke Tokyo.
Di Pantai Serang yang berjarak 43 kilometer dari Kota Blitar, selama tiga tahun (1942-1945) Soeprijadi diperintahkan menjaga pertahanan laut selatan. Hal itu sesuai dokumen tentara ke-16 AD Jepang, bahwa pasukan PETA memang tidak ditempatkan di garis depan.
PETA hanya ditugasi mengawasi kawasan pantai dari udara. Kemudian juga menjaga obyek obyek vital, dan melakukan kerjasama untuk membangun benteng pertahanan. Ketika terjadi perang, pasukan PETA tidak ikut ambil bagian di garda depan.
Mereka tetap ditempatkan di garis belakang dan hanya melakukan tugas penjagaan. Versi lain menyebut PETA dipersiapkan Jepang untuk menghadapi perang gerilya dalam jangka panjang. Yakni, apabila sekutu kembali mendarat di wilayah Indonesia.
Namun perhitungan itu meleset. Sekutu tidak masuk Indonesia. Justru langsung menyerbu Jepang dengan memotong jalan dari Papua dan langsung ke Filipina. Dan terjadilah insiden bom atom Hiroshima dan Nagasaki (6 dan 9 Agustus 1945) yang seketika Jepang menyerah tanpa syarat kepada sekutu.
“Sayangnya bekas asrama PETA itu sudah tidak ada jejaknya. Semuanya sudah menjadi permukiman warga,“ kata Raban.
Di saat berbarengan, Jepang juga membangun tanggul pertahanan di Pantai Serang dan Pantai Tambakrejo, dengan mengerahkan tenaga romusha. Romusha merupakan sistem kerja paksa di zaman penjajahan Jepang yang kekejamannya setara kerja rodi Belanda.
Para pemuda dari berbagai daerah dikumpulkan, diangkut untuk diperas tenaganya tanpa bayaran. Tidak jarang, mereka yang sakit dan tua mati karena siksaan. Melihat ragam penyiksaan itu, Soeprijadi timbul ide pemberontakan yang kemudian dia letuskan pada 14 Februari 1945.
“Kabarnya pemberontakan yang dilakukan Soeprijadi karena melihat kekejaman tentara Jepang terhadap romusha. Pemandangan itu salah satunya terjadi di kawasan Pantai Serang,“ kata Raban yang juga mantan anggota legislatif Kabupaten Blitar.
Di kawasan Pantai Serang juga terdapat pohon beringin tua. Tanaman tua yang dicungkupi itu. Yakni, bagian pinggirnya dilindungi pagar tembok dengan satu pintu masuk di sisi depan, diyakini sebagai petilasan Soeprijadi.
Untuk menegaskan itu sebuah tulisan pada kayu dipasang di atasnya. Menurut Raban, informasi yang dia terima, Soeprijadi memang pernah singgah di lokasi pohon beringin itu berada. Namun sifatnya hanya mampir, tidak sampai menginap berhari hari.
Karenanya, menurut dia, kurang tepat jika pohon beringin itu dikatakan sebagai petilasan. “Kalau konsepnya petilasan sebagai ampiran saja memang benar. Namun di situ (pohon beringin) tidak sampai berhari hari,“ kata dia.
Begitu juga dengan informasi selama di Pantai Serang Soeprijadi gemar bermiditasi di atas karang yang berlokasi di tengah lautan. Bisa jadi cerita itu, kata Raban benar adanya.
Sebab memang di pesisir Pantai Serang banyak terdapat gugusan karang dan putra Bupati Blitar era kemerdekaan Darmadi itu memang dikenal memiliki kebiasaan gemar berlaku tirakat.
Namun dia menduga karang yang dimaksud tidak berada di tengah lautan. “Bisa jadi karang di sekitar pantai itu. Namun karena dulu airnya lebih besar, sehingga terlihat seperti berada di tengah,“ kata Raban.
Seiring perjalanan waktu, setelah bertugas di Pantai Serang, Soeprijadi benar-benar mewujudkan gagasan pemberontakannya. Meski kalah dan banyak tentara PETA yang dihukum gantung, termasuk Soeprijadi sendiri tidak jelas rimbanya, perlawanan itu dicatat dalam sejarah kemerdekaaan bangsa Indonesia.
Untuk mengenang peristiwa itu, sebuah monumen berupa patung setengah badan Soeprijadi didirikan di lapangan Desa Serang, sebelah utara kawasan pantai.
Menurut Kepala Desa Serang Dwi Handoko, setiap 14 Februari, peristiwa pemberontakan PETA itu selalu dikenang dengan acara napak tilas ke sejumlah titik yang tempat persinggahan Soeprijadi selama di Serang.
Pantai Serang yang memiliki tradisi pelepasan tukik (anak penyu), festival musik jazz, layang layang, patung pasir, kesenian tradisional jaranan serta barongan itu juga merupakan salah satu kawasan wisata andalan di Kabupaten Blitar.
“Desa kami memang memiliki sejarah cukup erat dengan perjalanan Shodanco Soeprijadi dan tentara PETA,“ pungkas Dwi Handoko.
Sumber :Diolah dari berbagai sumber
(sms)