Meneguk Sejarah dalam Secangkir Kopi
A
A
A
1 Oktober disepakati menjadi International Coffee Day atau Hari Kopi Internasional. Kesepakatan ini berdasarkan sidang International Coffee Organization (ICO) pada Maret 2014 lalu. Hari Kopi pertama kali diperingati pada 1 Oktober 2015 oleh Organisasi Kopi Internasional di Milan, Italia. Pada Hari Kopi, mengampanyekan tentang perdagangan kopi yang adil dan kesejahteraan para petani kopi.
Di Indonesia, kehadiran kopi memiliki sejarah yang panjang. Dalam perjalananya, kopi di Nusantara terkait erat dengan perdagangan kopi dunia serta isu kesejahteraan para petani kopi. Boleh jadi, seteguk kopi yang kita nikmati pagi ini, tersimpan kisah pahit dan manis sejarah bangsa ini. (Baca juga; Asal Mula Masuknya Kopi di Indonesia )
Dalam catatan arsip tua yang ditulis oleh kongsi dagang Belanda atau VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie), kopi masuk ke Indonesia pada 1696. Wali Kota Amsterdam, Nicholas Witsen, pada 1696 memberi mandat kepada Adrian Van Ommen komandan pasukan Belanda di Malabar, India, untuk membawa beberapa bibit kopi ke Indonesia.
Atas mandat dari Witsen inilah, bibit pertama kopi diboyong ke nusantara dan ditanam di tanah pribadi Gubernur Jendral VOC, Willem van Outhoorn, tepatnya di Kedawoeng, Batavia. Ada juga catatan yang menyebutkan kopi pertama ditanam dan dikembangkan di daerah timur Jatinegara yang kini lebih dikenal dengan nama Pondok Kopi.
Bibit kopi yang pertama kali ditanam adalah spesies kopi Arabika. Namun, usaha awal menanam bibit kopi Arabika itu gagal karena bencana alam, gempa bumi dan banjir. VOC terus melakukan percobaan dan pada upaya kedua tahun 1699 mendatangkan stek pohon kopi dari Malabar.
Penanaman berikutnya dilakukan di kawasan kampung Melayu, Bidaracina, Palmerah, dan beberapa wilayah lain. Pada 1706 sampel kopi yang ditanam di Batavia dikirim ke negeri Belanda untuk diteliti di Kebun Raya Amsterdam. Hasilnya sukses besar, kopi yang dihasilkan memiliki kualitas yang sangat baik.
Selanjutnya tanaman kopi ini dijadikan bibit bagi seluruh perkebunan yang dikembangkan di Indonesia. Pada 1707, Gubernur Hindia Belanda Van Hoorn, memasukan bibit-bibit kopi ke beberapa daerah di Priangan, Cirebon, dan Batavia. Pada 1711, VOC sudah bisa mengekspor langsung biji kopi dari Jawa ke Eropa.
Setelah berhasil dibudidayakan di Jawa pada 1714-1715, jumlah produksi kopi melimpah dan mendominasi pasar dunia. Bahkan pada saat itu jumlah ekspor kopi dari Jawa ke Eropa, melebihi jumlah ekspor kopi dari Mocha (Yaman) ke Eropa. Kopi Jawa pun mulai dinikmati sampai ke Eropa dan akhirnya muncul istilah populer “A Cup of Java” yang bermakna “satu cangkir (pulau) Jawa”.
Dalam dalam waktu sepuluh tahun, angka ekspor biji kopi meningkat pesat menjadi sekitar 60 ton setiap tahunnya. Menyadari potensi pasar kopi yang besar, VOC terus meningkatkan produksi kopi Arabika ini. Sejak saat inilah VOC tidak ingin melewatkan kesempatan untuk memonopoli perdagangan kopi dunia, terhitung dari tahun 1725-1780.
Jika pada produksi awal sekitar tahun 1830-1834 total produksi mencapai sebesar 26.600 ton per tahun. Secara signifikan angka tersebut naik bertahap menjadi 79.600 ton. Puncaknya pada 1880-1884 menjadi 94.400 ton per tahun.
Memasuki pertengahan tahun 1870-an, VOC mulai memperluas penanaman biji kopi di beberapa pulau nusantara di luar Jawa yang memiliki tanah subur, seperti Pulau Sumatera, Bali, Sulawesi, dan Timor. Hasil produksi dari pulau-pulau ini sangat berkualitas dan diakui dunia, salah satunya adalah kopi Sidikalang, Mandheling, Lintong, Gayo, Kintamani, Toraja, dan Flores.
Sampai pada 1878 ketika terjadi tragedi memilukan. Perkebunan kopi di Hindia Belanda, terutama di dataran rendah, rusak terserang penyakit karat daun atau Hemileia vastatrix (HV). Kala itu semua tanaman kopi merupakan jenis Arabika (Coffea arabica). Untuk menanggulanginya, VOC mendatangkan spesies kopi Liberika (Coffea liberica) yang diperkirakan lebih tahan penyakit karat daun.
Sampai beberapa tahun lamanya, kopi Liberika menggantikan kopi Arabika di perkebunan dataran rendah. Di pasar Eropa kopi Liberika saat itu dihargai sama dengan arabika. Namun, kopi Liberika mengalami hal yang sama, rusak terserang karat daun. Akhirnya pada 1907 Belanda mendatangkan spesies lain, yakni kopi Robusta (Coffea canephora). Usaha kali ini berhasil, hingga saat ini perkebunan-perkebunan kopi Robusta yang ada di dataran rendah bisa bertahan.
Di antara kisah manis kesuksesan VOC menjual kopi dari Jawa ke Eropa, tersimpan juga cerita pahit para petani kopi di nusantara. Memasuki tahun 1830, ketika VOC bangkrut akibat perang Diponegoro, Gubernur Jendral Van Den Bosch mengeluarkan peraturan kultivasi besar-besaran yang bernama sistem tanam paksa. Sistem ini berhasil mengembalikan kas VOC dengan memeras habis para petani lokal menanam komoditas ekspor, seperti kopi.
Ironisnya, para petani juga dilarang untuk menikmati hasil dari kebun kopi yang dikerjakan mereka. Akhirnya muncul istilah minuman bernama Aia Kawa atau minuman hasil rebusan daun kopi untuk mengobati kerinduan dan kenikmatan terhadap kopi. Padahal melalui kopi yang ditanam petani di Jawa, Amsterdam menjadi pusat lelang kopi terbesar di dunia. Bahkan kopi dari Jawa terkenal memiliki kualitas terbaik di masa itu.
Situasi tersebut direkam baik oleh Eduard Douwes Dekker, seorang Asisten Residen Lebak, yang ditulis dalam buku berjudul Max Havelaar. Eduard Douwes Dekker yang bertugas di Rangkasbitung pada Januari 1856, dalam menulis buku itu menggunakan nama samara Multatuli. Setelah kemerdekaan pada 1945, seluruh perkebunan kopi milik Belanda dinasionalisasi dan membuat Belanda tak lagi menjadi pemasok kopi dunia.
Saat ini, salah satu perusahaan kopi yang ada di Indonesia adalah PT Santos Jaya Abadi dengan produknya Kapal Api. Pada awalnya, perusahaan ini merupakan industri rumahan, namun kini pabrik dari PT Santos Jaya Abadi tersebar di dua daerah, yakni Sidoarjo dan Karawang.(Baca juga; Kisah Unik Logo Kapal Api, Bikin Kopi Ini Mendunia )
Diolah dari berbagai sumber;
Wikipedia, kopidewa.com, tanameracoffee.com, jurnalbumi.com
Di Indonesia, kehadiran kopi memiliki sejarah yang panjang. Dalam perjalananya, kopi di Nusantara terkait erat dengan perdagangan kopi dunia serta isu kesejahteraan para petani kopi. Boleh jadi, seteguk kopi yang kita nikmati pagi ini, tersimpan kisah pahit dan manis sejarah bangsa ini. (Baca juga; Asal Mula Masuknya Kopi di Indonesia )
Dalam catatan arsip tua yang ditulis oleh kongsi dagang Belanda atau VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie), kopi masuk ke Indonesia pada 1696. Wali Kota Amsterdam, Nicholas Witsen, pada 1696 memberi mandat kepada Adrian Van Ommen komandan pasukan Belanda di Malabar, India, untuk membawa beberapa bibit kopi ke Indonesia.
Atas mandat dari Witsen inilah, bibit pertama kopi diboyong ke nusantara dan ditanam di tanah pribadi Gubernur Jendral VOC, Willem van Outhoorn, tepatnya di Kedawoeng, Batavia. Ada juga catatan yang menyebutkan kopi pertama ditanam dan dikembangkan di daerah timur Jatinegara yang kini lebih dikenal dengan nama Pondok Kopi.
Bibit kopi yang pertama kali ditanam adalah spesies kopi Arabika. Namun, usaha awal menanam bibit kopi Arabika itu gagal karena bencana alam, gempa bumi dan banjir. VOC terus melakukan percobaan dan pada upaya kedua tahun 1699 mendatangkan stek pohon kopi dari Malabar.
Penanaman berikutnya dilakukan di kawasan kampung Melayu, Bidaracina, Palmerah, dan beberapa wilayah lain. Pada 1706 sampel kopi yang ditanam di Batavia dikirim ke negeri Belanda untuk diteliti di Kebun Raya Amsterdam. Hasilnya sukses besar, kopi yang dihasilkan memiliki kualitas yang sangat baik.
Selanjutnya tanaman kopi ini dijadikan bibit bagi seluruh perkebunan yang dikembangkan di Indonesia. Pada 1707, Gubernur Hindia Belanda Van Hoorn, memasukan bibit-bibit kopi ke beberapa daerah di Priangan, Cirebon, dan Batavia. Pada 1711, VOC sudah bisa mengekspor langsung biji kopi dari Jawa ke Eropa.
Setelah berhasil dibudidayakan di Jawa pada 1714-1715, jumlah produksi kopi melimpah dan mendominasi pasar dunia. Bahkan pada saat itu jumlah ekspor kopi dari Jawa ke Eropa, melebihi jumlah ekspor kopi dari Mocha (Yaman) ke Eropa. Kopi Jawa pun mulai dinikmati sampai ke Eropa dan akhirnya muncul istilah populer “A Cup of Java” yang bermakna “satu cangkir (pulau) Jawa”.
Dalam dalam waktu sepuluh tahun, angka ekspor biji kopi meningkat pesat menjadi sekitar 60 ton setiap tahunnya. Menyadari potensi pasar kopi yang besar, VOC terus meningkatkan produksi kopi Arabika ini. Sejak saat inilah VOC tidak ingin melewatkan kesempatan untuk memonopoli perdagangan kopi dunia, terhitung dari tahun 1725-1780.
Jika pada produksi awal sekitar tahun 1830-1834 total produksi mencapai sebesar 26.600 ton per tahun. Secara signifikan angka tersebut naik bertahap menjadi 79.600 ton. Puncaknya pada 1880-1884 menjadi 94.400 ton per tahun.
Memasuki pertengahan tahun 1870-an, VOC mulai memperluas penanaman biji kopi di beberapa pulau nusantara di luar Jawa yang memiliki tanah subur, seperti Pulau Sumatera, Bali, Sulawesi, dan Timor. Hasil produksi dari pulau-pulau ini sangat berkualitas dan diakui dunia, salah satunya adalah kopi Sidikalang, Mandheling, Lintong, Gayo, Kintamani, Toraja, dan Flores.
Sampai pada 1878 ketika terjadi tragedi memilukan. Perkebunan kopi di Hindia Belanda, terutama di dataran rendah, rusak terserang penyakit karat daun atau Hemileia vastatrix (HV). Kala itu semua tanaman kopi merupakan jenis Arabika (Coffea arabica). Untuk menanggulanginya, VOC mendatangkan spesies kopi Liberika (Coffea liberica) yang diperkirakan lebih tahan penyakit karat daun.
Sampai beberapa tahun lamanya, kopi Liberika menggantikan kopi Arabika di perkebunan dataran rendah. Di pasar Eropa kopi Liberika saat itu dihargai sama dengan arabika. Namun, kopi Liberika mengalami hal yang sama, rusak terserang karat daun. Akhirnya pada 1907 Belanda mendatangkan spesies lain, yakni kopi Robusta (Coffea canephora). Usaha kali ini berhasil, hingga saat ini perkebunan-perkebunan kopi Robusta yang ada di dataran rendah bisa bertahan.
Di antara kisah manis kesuksesan VOC menjual kopi dari Jawa ke Eropa, tersimpan juga cerita pahit para petani kopi di nusantara. Memasuki tahun 1830, ketika VOC bangkrut akibat perang Diponegoro, Gubernur Jendral Van Den Bosch mengeluarkan peraturan kultivasi besar-besaran yang bernama sistem tanam paksa. Sistem ini berhasil mengembalikan kas VOC dengan memeras habis para petani lokal menanam komoditas ekspor, seperti kopi.
Ironisnya, para petani juga dilarang untuk menikmati hasil dari kebun kopi yang dikerjakan mereka. Akhirnya muncul istilah minuman bernama Aia Kawa atau minuman hasil rebusan daun kopi untuk mengobati kerinduan dan kenikmatan terhadap kopi. Padahal melalui kopi yang ditanam petani di Jawa, Amsterdam menjadi pusat lelang kopi terbesar di dunia. Bahkan kopi dari Jawa terkenal memiliki kualitas terbaik di masa itu.
Situasi tersebut direkam baik oleh Eduard Douwes Dekker, seorang Asisten Residen Lebak, yang ditulis dalam buku berjudul Max Havelaar. Eduard Douwes Dekker yang bertugas di Rangkasbitung pada Januari 1856, dalam menulis buku itu menggunakan nama samara Multatuli. Setelah kemerdekaan pada 1945, seluruh perkebunan kopi milik Belanda dinasionalisasi dan membuat Belanda tak lagi menjadi pemasok kopi dunia.
Saat ini, salah satu perusahaan kopi yang ada di Indonesia adalah PT Santos Jaya Abadi dengan produknya Kapal Api. Pada awalnya, perusahaan ini merupakan industri rumahan, namun kini pabrik dari PT Santos Jaya Abadi tersebar di dua daerah, yakni Sidoarjo dan Karawang.(Baca juga; Kisah Unik Logo Kapal Api, Bikin Kopi Ini Mendunia )
Diolah dari berbagai sumber;
Wikipedia, kopidewa.com, tanameracoffee.com, jurnalbumi.com
(cip)