Ini Sejarah Panjang Keberadaan Etnis Sunda di Sumatera Utara

Sabtu, 28 September 2019 - 05:02 WIB
Ini Sejarah Panjang Keberadaan Etnis Sunda di Sumatera Utara
Ini Sejarah Panjang Keberadaan Etnis Sunda di Sumatera Utara
A A A
Jika Anda mengunjungi Kota Medan, Kota Pematangasiantar atau kawasan di Kabupaten Simalungun (dua daerah ini berdekatan) jangan heran banyak dijumpai warga di sana beretnis Suku Sunda.

Bahkan salah seorang anggota DPRD Simalungun yakni Dadang Pramono adalah pria berdarah Sunda. Jangan heran juga banyak PNS beretnis Sunda.

Etnis Sunda di Sumatera Utara juga banyak berwirausaha dengan berjualan tahu Sumedang, salah satu kota di Jawa Barat.

Warga beretnis Sunda seperti etnis lainnya mampu beradaptasi, bergaul dan bersilahturahmi dengan penduduk asli.Selama ini tidak ada persoalan di anatara mereka. Sebaliknya saling membantu dan bekerja sama dalam hal yang baik, saling menghormati dan menghargai.

Tapi bagaimana sebenarnya etnis Sunda bisa sampai ke Sumatera Utara? Menurut
Dr.Yohny Anwar, M.M., M.H, selaku Ketua Pengurus Wilayah Paguyuban Pasundan Sumatera Utara dan Dosen Pascasarjana Universitas Pembangunan Panca Budi, Medan menjelaskan, penyebaran masyarakat Sunda ke Sumatera Utara pertama kali datang pada masa pemerintahan Belanda sekitar awal tahun 1900-an sebagai koeli contract (baca: kuli kontrak) yang dipekerjakan di perusahan perkebunan Deli Matschapi yang didatangkan dari Pulau Jawa yang pada waktu itu dilanda kemiskinan dan banyaknya pengangguran (Irfas dalam Buiskool 2005:274-5).

Koeli contract adalah struktur perburuhan yang mengharuskan pekerjanya terikat perjanjian untuk bekerja pada pemerintah Kolonial maupun perusahaan swasta milik asing dengan syarat dan aturan tertentu. Para pekerja kemudian disebut kuli. Sebagian kecil para kuli dari Jawa itu adalah orang Sunda. Setelah kontraknya habis, para kuli itu tidak kembali ke Jawa, namun tetap tinggal dan menetap di Sumatera Utara (Irfas dalam Hartono 2005:433.

Kebanyakan kuli orang Sunda diambil dari daerah Banten dan Pandeglang. Pada gelombang berikutnya, semakin banyak kuli orang Sunda didatangkan ke Deli untuk dipekerjakan di perkebunan Buluh Cina dan Sampali. Setelah kontrak berakhir, mereka tidak kembali ke Pulau Jawa dan kemudian membentuk komunitas terbatas di dekat perkebunan tempat mereka dulu bekerja (Hartono, 2005: 433).

Setelah masa Kemerdekaan, motif migrasi orang Sunda ke Sumatera Timur (belakangan diganti namanya menjadi Sumatera Utara) menurut pengamatan dapat dibedakan menjadi tiga motif; pertama, migrasi karena tugas negara. Dalam kategori ini termasuk orang-orang yang yang bekerja sebagai aparat keamanan (TNI/POLRI), Pegawai Negeri Sipil, karyawan BUMN, serta dokter dan perawat yang ditugaskan oleh Pemerintah Indonesia pada masa Orde Lama dan Orde Baru.

Kedua, migrasi karena kehendak sendiri untuk mengadu nasib, di mana yang termasuk kategori ini adalah orang-orang Sunda yang bekerja sebagai karyawan swasta, wiraswasta, para pedagang dan sejenisnya.

Ketiga, migrasi karena tuntutan pendidikan. Sejak akhir 1980-an, mahasiswa-mahasiswa dari Jawa Barat datang untuk belajar di perguruan-perguruan tinggi, baik perguruan tinggi milik pemerintah atau milik swasta di Kota Medan.

Dari ketiga pola migrasi tersebut merupakan migrasi yang bersifat sementara. Orang Sunda yang bekerja sebagai Aparat Negara, karyawan swasta maupun Mahasiswa yang belajar di kota Medan biasanya akan kembali ke Jawa Barat setelah tugas ataupun pendidikannya selesai di Medan.

Jika dibandingkan dengan migrasi kuli kontrak orang Sunda tetap tinggal secara turun temurun di Medan dan mereka tidak kembali ke Jawa Barat lagi dikarenakan tidak mengetahui atau tidak mempunyai saudara di Jawa Barat sehingga membuat beberapa diantaranya sudah tidak tahu lagi berasal dari daerah mana mereka di Jawa Barat.

Dengan banyaknya Orang Sunda di Sumatera Utara khususnya di Medan, sehingga membuat pemerintahan Propinsi Sumatera Utara memberikan apresiasi kepada Orang Sunda. Apresiasi yang diberikan berupa nama Jalan PWS dan Jalan Pasundan. Seperti dijelaskan sejarah Jalan PWS dan Jalan Pasundan terletak di Kelurahan Sei Putih Timur II Kecamatan Medan Petisah, berdasarkan Peta Blad awal pada Dinas Perumahan Kawasan Pemukiman dan Penataan Ruang Kota Medan Tahun 1949 Jalan PWS berupa gang dan Jalan Pasundan berupa jalan dan tidak memiliki nama.

Selanjutnya berdasarkan informasi dari Agus Susanto (Kepala Lingkungan II Kelurahan Sein Putih Timur II Kecamatan Petisah), menyampaikan bahwa tahun 1945-1950 warga Sunda asal Provinsi Jawa Barat bermigrasi dari Tanah Sunda ke Tanah Deli Provinsi Sumatera Utara, yang bermula bermukim di Kampung Madras/Kampung Keling Kelurahan Madras Kecamatan Medan Polonia untuk mencari nafkah akibat sulitnya mata pencarian di tanah Sunda Pasca Kemerdekaan.

Karena kondisi Kampung Madras yang pemukimannya sangat padat, maka pada tahun 1950-1960 warga Sunda mencari pemukiman baru dan pindah ke wilayah saat ini yang dikenal dengan Jalan PWS dan Jalan Pasundan yang wilayahnya umumnya hanya hutan jati, dimana Jalan PWS dan Jalan Pasundan tersebut masih hanya berupa jalan setapak atau gang yang hanya bisa dilalui oleh pejalan kaki dan sepeda.

Karena gang tersebut tidak memiliki nama dan karena sebagian besar penduduknya yang bermukim diwilayah itu adalah Suku Sunda, maka pada tahun 1950-1960 oleh tokoh-tokoh masyarakat Sunda di wilayah itu lalu menamai gang tersebut menjadi Gang PWS dan Jalan Pasundan.

Pada tahun 1977 terjadi perbaikan infrastruktur melakukan pengaspalan oleh Pemerintah Provinsi Sumatera Utara dimana pada waktu itu ditetapkan jalan tersebut menjadi Jalan PWS dan Jalan Pasundan.

Saat ini masyarakat Sunda yang menetap di Sumatera Utara membuat sejumlah perkumpulan ataupun organisasi, Misalnya saja Paguyuban Pasunda berdiri sejak tanggal 20 Juli 1913, sehingga menjadi salah satu organisasi tertua yang sedang eksis sampai kala ini.

Selama keberadaannya, organisasi ini telah mengadakan aksi dalam bagian edukasi, sosial-adat istiadat, politik, ekonomi, kepemudaan, dan pemberdayaan perempuan. Paguyuban ini berupaya untuk melestarikan adat istiadat Sunda dengan melibatkan bukan hanya orang Sunda tapi semua yang mempunyai kepedulian terhadap adat istiadat Sunda.

Ada juga Paguyuban Wargi Sunda (PWS) merupakan suatu institusi adat yang dibangun beradasarkan kesadaran atas integritas ke-Sunda-an. Selain itu, PWS dibentuk berdasarkan nostalgia terhadap suasana Sunda. Acara-acara yang digelar PWS direkonstruksi sedemikian rupa guna menghadirkan suasana kesundaan sehingga orang Sunda kembali teringat akan kampung halamannya.

Ada juga Angkatan Muda Siliwangi – lebih dikenal dengan sebutan AMS adalah Organisasi Kemasyarakatan . Dengan demikian AMS adalah Organisasi yang anggota-anggotanya baik muda maupun tua yang secara sukarela bergabung dan bersedia dengan tidak terpaksa untuk mengikuti aturan-aturan yang berlaku dalam organisasi. AMS berdiri pada 10 November 1966 yaitu sejak penandatanganan “ Piagam AMS”
(vhs)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.4388 seconds (0.1#10.140)