Lelah Hilang Usai Berjumpa Grace di Taman Nasional Gunung Leuser

Sabtu, 24 Agustus 2019 - 21:52 WIB
Lelah Hilang Usai Berjumpa Grace di Taman Nasional Gunung Leuser
Lelah Hilang Usai Berjumpa Grace di Taman Nasional Gunung Leuser
A A A
HARI masih pagi buta, cuaca dingin menyergap dan matahari belum keluar dari peraduannya. Puluhan orang bersiap di rumahnya masing-masing untuk menuju bandara Soekarno Hatta di Cengkareng, Tangerang Banten. “Kita berangkat jam setengah enam, tolong jangan terlambat,”begitu bunyi pengumuman yang dikirimkan lewat grup aplikasi pesan instan. Sontak kami, para anggota rombongan bergegas menuju bandara terbesar di Indonesia itu.

Tepat setengah enam, sesuai dengan jadwal, pesawat Garuda Indonesia Boeing 737-800 Next Generation dengan nomor penerbangan GA 180 perlahan bergerak menuju runway. “Cuaca diramalkan cerah, perjalanan akan kita tempuh dalam waktu sekitar dua jam,’’kata pilot Capt. Romelen dari pengeras suara kokpit. Dalam penerbangan itu, Capt. Romelen ditemana co pilot Romi Budiman.

Kusnadi Cahyono yang duduk di kursi 35 B tampak gusar. Bukan lantaran dia takut dengan ketinggian, tetapi hingga pesawat mengudara selama satu jam, belum ada pemberitahuan lokasi wisata yang hendak dituju. “Sebenarnya kita ini hendak kemana,”tanya pria berkacamata itu. Anggota rombongan yang lain pun hanya membalas dengan senyuman tipis. Maklum, tak ada satupun yang tahu lokasi wisata yang hendak dikunjungi kecuali Iwan Pranoto, sang kepala rombongan.

Untuk membunuh rasa penasaran, Kusnadi dan yang lainnya memilih untuk menikmati fitur entertainment di dalam pesawat. Ada yang memutar film, banyak juga yang mendengarkan musik atau membaca inflight magazine yang disediakan di kantong kursi.

Pukul delapan pagi, pesawat mendarat dengan mulus di bandara Kuala Namu Medan, Sumatera Utara. Capt. Romelen pun mengucapakan selamat jalan kepada seluruh penumpang. Termasuk awak kabin yang berdiri di pintu pesawat untuk mengucapkan terima kasih kepada para penumpang.

Hari itu, 19 Agustus 2019, cuaca di Medan cukup panas, udara kering menerpa wajah. Air dari botol mineral menjadi satu-satunya obat untuk menyeka wajah. “Kita nikmati Medan dulu, besok baru kita berangkat ke lokasi,”ujar Iwan Pranoto yang disambut gerutuan sebagian anggota rombongan.

Setelah menginap semalam di Medan, keesokan harinya perjalanan dilanjutkan ke tempat wisata. “Perjalanan sekitar lima jam,”kata Iwan. Delapan unit mobil jenis Multi Purpose Vehicle (MPV) berjalan beriringan meninggalkan kota Medan.
Lelah Hilang Usai Berjumpa Grace di Taman Nasional Gunung Leuser

Dari balik kemudi, Charles Siburian memacu kendaraannya dengan cepat agar tak tertinggal dengan iring-iringan mobil rombongan. “Jika kondisi lancar kita akan tiba di lokasi sekitar jam 12 siang,” kata pria yang sudah lima tahun bekerja di perusahaan rental mobil itu. Beragam kontur jalan dilibas, mulai aspal mulus, jalan tanah, hingga jalan dengan batu yang besar. Melintas perkebunan kelapa sawit hingga hutan.

Sinyal seluler pun timbul tenggelam, agak mengganggu bagi mereka yang gemar berselancar di dunia maya. Ternyata, prediksi Charles meleset, rombongan baru tiba pukul satu siang, lewat tengah hari.

Di sambut papan dengan tulisan Selamat Datang di Kawasan Ekowisata Tangkahan, kawasan Taman Nasional (TN) Gunung Leuser, para anggota rombongan tampak kegirangan. “Ini tempat Hamish Daud dan Nicholas Saputra mandiin gajah,” kata Wulandari setengah berteriak. Perempuan yang tinggal di Depok, Jawa Barat ini tampak girang bukan kepalang. Maklum saja, meskipun sering plesiran, namun baru kali ini dirinya menginjakkan kaki di pulau Sumatera.

Ya, dilokasi yang sama dua public figure Hamish Daud dan Nicholas Saputra pada akhir Juli 2019 pernah berkunjung dan menikmati keindahan Tangkahan. Bahkan, keduanya memamerkan “kemesraan” dengan gajah Sumatera di Tangkahan dan mengunggahnya di platform media sosial instagram.

Wisata Alam Khas Milenial

Kegembiraan rombongan dari Jakarta itu tentu saja tak berlebihan karena lokasi wisata yang dijuluki surga tersembunyi di Sumatera itu memang begitu memesona. Tak ayal, Wulandari dan anggota rombongan lainnya pun langsung aktif bersosial media memamerkan keindahan alam di kawasan itu. Jaringan seluler yang mantap membuat berselancar di dunia maya menjadi sangat bermakna. “Di sini sinyal seluler kuat karena sudah ada BTS yang dibangun sejak tiga tahun silam. Karena itu sosial media kini juga dipenuhi dengan foto-foto dan video dari kawasan ini,” ungkap Darwin Sembiring, tour guide yang menemani perjalanan wisata ke kawasan itu.

Selain wisata sungai dan hutan, di kawasan itu juga ada spot-spot indah lainnya seperti air terjun dan sumber air panas. “Tapi kebanyakan wisatawan milenial lebih suka berfoto saat memandikan gajah,”kata Darwin dengn tawa yang lebar. Tak hanya wisatawan domestik saja yang berkunjung ke kawasan ekowisata itu, tapi juga wisatawan mancanegara. “Kebanyakan dari Australia dan Eropa,”tuturnya.

Mendung sudah bergelayut, tak mau menyia-nyiakan kesempatan, Wulandari, Kusnadi dan lainnya langsung lari berhamburan menuju sungai untuk menikmati river tubing. Suasana alam dan hutannya yang perawan menghadirkan rasa nyaman dan damai. Menyusuri sungai berarus sedang sepanjang dua kilometer benar-benar memacu adrenalin. Tak puas sekadar river tubing, mereka juga mencoba berenang di sungai yang airnya terasa dingin dan menyegarkan itu.

Aktivitas bermain air sontak terhenti saat rombongan gajah melintas. Gajah kecil berusia empat tahun berhasil mencuri perhatian para wisatawan. Grace, begitulah dia dipanggil, seolah ingin bercengkerama dengan para manusia yang sedang menikmati alam yang eksotis. Gajah kecil itu mencoba mendekat dan terpisah dari rombongannya. Sang pawang pun buru-buru memanggilnya dengan teriakan. Tingkah laku Grace berhasil membuat gemas para wisatawan. Kusnadi dan Wulandari pun memutuskan untuk ber-swa foto.

“Grace tak bisa lepas dari Olive induknya karena masih menyusu,” ujar sang pawang. Selain Olive, masih ada dua gajah lainnya yang saat itu berada di lokasi yakni Sari dan Theo. Kesempatan untuk bercengkerama dengan gajah tak disia-siakan. Selain ber-swa foto, Wulandari dan Kusnadi juga berkesempatan untuk ikut memandikan gajah-gajah itu. “Ini baru pertama kali seumur hidup mandiin gajah,”ujar keduanya.

Apa yang dilakukan Wulandari dan Kusnadi berhasil memancing Margareth dan John, pasangan wisatawan asal Australia untuk ikut bercengkerama dengan gajah-gajah itu. “It’s so amazing,”kata John.

Hampir satu jam lamanya mereka bercengkerama dengan Grace yang kerap berprilaku lucu dan menggemaskan. “Capek seharian terbayar sudah, ini pengalaman yang dahsyat bisa bersentuhan langsung dengan gajah,”kata Kusnadi.

Seolah tak mau hanya menghabiskan waktu di Tangkahan, rombongan pun memutuskan untuk bergeser ke tempat lainnya yang masih berada di kawasan TN Gunung Leuser. “Setelah ini, kita akan ke tempat yang juga eksotis dan bercengkerama dengan orang utan,” kata Iwan Pranoto.

Hari sudah mulai gelap, rombongan memutuskan bergerak ke arah Bukit Lawang. Kembali menyusuri jalan berbatu yang berada di tengah-tengah perkebunan kelapa sawit. Juga harus melewati dua jembatan yang lintasannya terbuat dari kayu. Sesekali rombongan harus berhenti untuk memantau tekanan ban. “Kita memotong jalan, jika lewat jalan nasional perjalanan lebih lama tiga jam,”kata Charles Siburian yang tampak masih segar meski telah mengemudikan mobil seharian.

Tepat tengah malam, rombongan tiba di Bukit Lawang. Setelah melewati jembatan gantung menuju penginapan, rombongan beristirahat selama lima jam, pagi harinya dilanjutkan dengan kegiatan jungle trekking. Namun, seluruh rombongan dibuat kaget saat pagi buta puluhan kera sudah menyambut di kawasan penginapan. Bahkan, seekor kera besar duduk di teras tempat Cahyo Prayogo menginap. “Serasa seperti di film Planet of The Apes,” ujarnya terkekeh.

Perjalanan jungle trekking dilakukan selama dua jam pergi pulang. Tetapi, sudah setengah jam perjalanan belum juga ditemukan orang utan. Rombongan pun hampir putus asa dan menyangka tak akan berjumpa dengan satwa langka itu. Namun, di tengah perjalanan kembali menuju penginapan, tiba-tiba terdengar teriakan dari Riris Fardani, anggota rombongan yang lain. “Itu, dia datang,” serunya.

Tak mau menyia-nyiakan kesempatan, anggota rombongan yang lain pun mengambil smartphone dari kantong masing-masing dan mengabadikan kedatangan satwa paling ditunggu itu. Orang utan yang terlihat masih berusia muda itu seolah menikmati dirinya menjadi pusat perhatian. Dia membiarkan para wisatwan mengarahkan smartphone maupun kamera ke arah dirinya. “Ini kesempatan langka kedua yang gak boleh dilewatkan,” kata Kusnadi. Seluruh anggota rombongan pun memenuhi laman sosial media mereka dengan foto-foto orang utan. Mereka juga mengaku puas dan takjub dengan keindahan Tangkahan dan Bukit Lawang.

Bukit Lawang kerap disebut sebagai gerbang utama untuk menikmati keindahan Leuser. Di Bukit Lawang juga bisa dijumpai beberapa jenis tumbuhan dan kantong semar, meranti, keruing, damar laut, anggrek hutan, rafflessia, bunga bangkai, dan cendawan harimau. Panorama alam yang indah dengan sungai yang jernih serta keberadaan orang utan menjadi daya tarik utama bagi para wisatawan. Di kawasan ini juga banyak para pemandu wisata lokal berpengalaman.

Tangkahan dan Bukit Lawang memang menjadi obyek wisata yang menjadi primadona di. Kunjungan wisatawan domestik dan mancanegara mengalir deras ke lokasi yag berada di di dalam kawasan Taman Nasional (TN) Gunung Leuser yang memang dikenal indah dan alami. Mengutip data dari TN Gunung Leuser, kawasan ini merupakan laboratorium alam yang kaya keanekaragaman hayati. Leuser merupakan habitat sebagian besar fauna, mulai dari burung, reptil, ampibia, mamalia, ikan, dan invertebrata.

Leuser adalah kawasan yang memiliki 380 spesies burung, dimana 350 diantaranya merupakan spesies yang tinggal dan menetap di kawasan Leuser. Leuser juga rumah bagi 36 dari 50 spesies burung Sundaland. Hampir 65% atau 129 spesies mamalia dari 205 spesies mamalia besar dan kecil di Sumatera ada di tempat ini.

Ekosistem Leuser merupakan habitat Orang Utan Sumatera, Harimau Sumatera, Badak Sumatera, Tapir, Gajah Sumatera, Owa, Kedih dan satwa lainnya. Disamping itu, kawasan ini juga rumah bagi berbagai fauna kunci, di TN Gunung Leuser juga ada lebih dari 4.000 spesies flora. Sebagai laboratorium alam, TNGL merupakan surga bagi para peneliti (internasional dan nasional).

Perkuat Kawasan Wisata Milenial

Tangkahan dan Bukit Lawang menyajikan suasana damai khas pedesaan yang indah dan damai. Pemerintah, melalu Kementerian Pariwisata (Kemenpar) menyarankan kawasan ini menerapkan konsep pariwisata berkelanjutan.

“Selain itu, prinsip pariwisata berkelanjutan di Indonesia adalah 3P+1M meliputi people, planet, prosperity, ditambah management. Pariwisata berkelanjutan konsepnya adalah semakin dilestarikan, semakin menyejahterakan,” jelas Ketua Tim Percepatan Pembangunan Pariwisata Berkelanjutan Kementerian Pariwisata (Kemenpar), Valerina Daniel beberapa waktu lalu.

Menurut dia, konsep wisata berkelanjutan meliputi beberapa hal, mulai dari pemberdayaan masyarakat, pelestarian alam, hingga peningkatan kesejahteraan yang ditambahkan aspek pengelolaan secara profesional.

Diharapkan, dengan adanya pemberdayaan masyarakat, kawasan-kawsan surga wisata yang tersembunyi bisa dikenalkan lebih luas kepada khalayak baik tingkat nasional maupun nasional. Terlebih saat ini era digital, dimana kalangan milenial bisa menjadi salah satu pihak yang ikut mempromosikan kawasan surga tersembunyi itu.

Menteri Pariwisata (Menpar) Arief Yahya sendiri mengajak kaum milenial memanfaatkan kemajuan teknologi berupa platform digital untuk mempromosikan destinasi wisata di daerahnya. Arief Yahya mengatakan pariwisata saat ini menjadi salah satu penghasil devisa terbesar di Indonesia dengan kontribusi pada 2018 mencapai USD19,2 miliar. “Untuk itu anak muda harus memanfaatkan pariwisata bukan hanya sebagai penikmat saja,” ujar Menpar dalam keterangan tertulis.

Dalam hal pariwisata, kalangan milenial harus bangga, karena pariwisata telah memberi dampak nyata bagi perkembangan Indonesia. “Dengan digital mari promosikan pariwisata,” kata Menpar. Arief Yahya juga mengajak kaum milenial untuk membantu program pemerintah, melakukan promosi secara masif melalui platform digital.

"Wisatawan milenial memiliki kekuatan karena mereka besar dan aktif di dunia maya. Tapi, kondisinya belum terlayani dengan baik. Inilah yang akan dilakukan Kemenpar yakni memfasilitasi kesediaan pariwisata terbaik bagi kaum milenial,” katanya.

Menurut dia, saat ini perilaku wisatawan sudah sangat digital. Sekitar 70% travellers melakukan search dan share melalui platform digital sehingga, lebih dari 50% inbound travellers yang datang ke Indonesia adalah kaum milenial.

“Milenial adalah masa depan pariwisata Indonesia. Who Wins the Future, Wins The Game. Ini adalah implementasi kebijakan Kementerian Pariwisata yang serba digital melalui Tourism 4.0,” katanya.
(shf)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4811 seconds (0.1#10.140)