Gunung Singkup, Saksi Perjuangan Kiai Abdul Hamid yang Tewas oleh PKI
A
A
A
PANGANDARAN - Gunung Singkup yang berada di Desa Bojongkondang, Kecamatan Langkaplancar, Kabupaten Pangandaran menyimpan sejarah perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia.
Berdasarkan informasi yang berhasil dihimpun, Gunung Singkup menjadi tempat bermunajat dan mengatur sertategi para tokoh agama Islam dan Tentara Hizbullah dibawah kepemimpinan Kiai Abdul Hamid.
Kiai Abdul Hamid akrab disebut Pa Ageung atau Ajengan Pangkalan sebagai pendiri Pondok Pesantren Al-Hamidiyah di Blok Cicau, Dusun Cigangsa, Desa Pangkalan, Kecamatan Langkaplancar.
Berdasarkan keterangan, Kiai Abdul Hamid terlahir tahun 1908 di Dusun Majeti dari pasangan suami istri KH Abdul Ghani dengan Iti dan merupakan anak pertama dari 13 bersaudara.
Salah satu Cucu Kiai Abdul Hamid bernama Ajengan Ucu Saeful Aziz mengatakan, pada usia 6 tahun Kiyai Abdul Hamid dirawat oleh Tarsijem yang merupakan kerabat Iti.
"Sekitar tahun 1916 saat Kiai Abdul Hamid berusia 8 tahun mengenyam pendidikan formal di Sekolah Rakyat (SR) selama 3 tahun di Kecamatan Langkaplancar," kata Ajengan Ucu.
Ajengan Ucu menambahkan, pada usia 12 tahun kisaran tahun 1920 Kiai Abdul Hamid menjadi santri di salah satu Pondok Pesantren di Kabupaten Cianjur selama 10 tahun .
"Selepas jadi santri di Cianjur pada usia 22 tahun sekitar tahun 1930 mesantren lagi di Pesantren Sumelap Tasikmalaya di bawah asuhan Kiyai Udin," tambahnya.
Sekitar tahun 1931 saat usianya 25 tahun, Kiai Abdul Hamid bermukim di Cicau hingga akhirnya pada tahun 1933 menikah yang ke satu dengan Nyai Raden Enok Umi Salamah putri salah satu Na'ib Raden Abdullah Gaos Cijulang.
Hasil pernikahan dengan Nyai Raden Enok Umi Salamah dikaruniai 4 orang putra diantaranya Endang Abdul Hanan, KH. Mukhtar Ghozali, KH. Abdullah Yusuf, Kiyai Asep Saefulloh Mujahid.
Sedangkan dari istri ke dua bernama Ibu Erat Cigugur dikaruniai 2 putri diantaranya Siti Maemunah atau Ai dan Euis dan dari istri ke tiga bernama Ibu Upah atau Ipah tidak dikaruniai keturunan.
"Selama bermukim di Cicau, Kiai Abdul Hamid terus menegakkan dakwah Islamiyyah dan memberantas berbagai bentuk kemusyrikan yang saat itu masih sangat kental di masyarakat," paparnya.
Salah satu bentuk dakwah yang dilakukan Kiai Abdul Hamid berhasil menghilangkan keyakinan masyarakat menyembah berhala yang terkenal dengan nama Panyembahan Karantenan hingga berhasil dihacurkan dengan berkah karomah Kiyai Abdul Hamid.
"Pada tahun 1944 Kiai Abdul Hamid bergabung dengan Partai Masyumi, tahun 1946 pasca Proklamasi Kemerdekaan RI membentuk laskar perjuangan yaitu Hizbullah dan Sabilillah," jelasnya.
Hizbullah dan Sabilillah berlatih selama kurang lebih 5 bulan di Pesantren Cicau sebelum berangkat ke Bandung untuk berjuang mempertahankan Kemerdekaan NKRI.
Kembali dari Bandung, pasukan Hizbullah dan Sabilillah memutuskan untuk kembali ke Langkaplancar.
Namun karena kondisi masyarakat sudah berubah dengan masuknya faham baru yaitu Darul Islam (DI) yang tidak sejalan dengan pemikiran dan pemahaman Kiai Abdul Hamid maka Kiyai Abdul Hamid bersama laskarnya memutuskan untuk tinggal di Gunung Singkup sebagai tempat riyadhoh dan mengatur berbagai strategi.
"Karena Kiai Abdul Hamid menolak bergabung dengan DI maka dituduh berpihak pada Belanda dan dimusuhi, sementara pasukan Belanda sendiri terus berupaya mencari keberadaan Kyai Abdul Hamid untuk di bunuh," kata Ajengan Ucu.
Bahkan, waktu itu Belanda menargetkan pembunuhan kepada para Kiai dengan harapan salah satunya adalah Kai Abdul Hamid.
Melihat gelombang fitnah semakin menjadi-jadi, para sahabat Kiai Abdul Hamid menyarankan agar ia pindah ke Daerah Karang Gedang Ciamis.
Atas usulan tersebut Kiyai Abdul Hamid hijrah ke Karang Gedang, Kabupaten Ciamis dan bermukim di sana selama sekira 7 bulan sampai akhirnya meninggal dibunuh gerombolan PKI bersama 3 santrinya.
Ketiga santri yang dibunuh oleh PKI waktu itu diantaranya Ajengan Sa'aduddin, Kiyai Zaenal Arifin dan Kiyai Zaenal Mutaqin, mereka difitnah bergabung dengan Belanda lalu diculik dan dibawa ke daerah Cigembor Ciamis, di sana mereka dibunuh dengan kejam.
Kiai Abdul Hamid wafat pada tahun 1949 dan dimakamkan di Dusun Karang Gedang, Kabupaten Ciamis bersama ketiga santrinya.
Berdasarkan informasi yang berhasil dihimpun, Gunung Singkup menjadi tempat bermunajat dan mengatur sertategi para tokoh agama Islam dan Tentara Hizbullah dibawah kepemimpinan Kiai Abdul Hamid.
Kiai Abdul Hamid akrab disebut Pa Ageung atau Ajengan Pangkalan sebagai pendiri Pondok Pesantren Al-Hamidiyah di Blok Cicau, Dusun Cigangsa, Desa Pangkalan, Kecamatan Langkaplancar.
Berdasarkan keterangan, Kiai Abdul Hamid terlahir tahun 1908 di Dusun Majeti dari pasangan suami istri KH Abdul Ghani dengan Iti dan merupakan anak pertama dari 13 bersaudara.
Salah satu Cucu Kiai Abdul Hamid bernama Ajengan Ucu Saeful Aziz mengatakan, pada usia 6 tahun Kiyai Abdul Hamid dirawat oleh Tarsijem yang merupakan kerabat Iti.
"Sekitar tahun 1916 saat Kiai Abdul Hamid berusia 8 tahun mengenyam pendidikan formal di Sekolah Rakyat (SR) selama 3 tahun di Kecamatan Langkaplancar," kata Ajengan Ucu.
Ajengan Ucu menambahkan, pada usia 12 tahun kisaran tahun 1920 Kiai Abdul Hamid menjadi santri di salah satu Pondok Pesantren di Kabupaten Cianjur selama 10 tahun .
"Selepas jadi santri di Cianjur pada usia 22 tahun sekitar tahun 1930 mesantren lagi di Pesantren Sumelap Tasikmalaya di bawah asuhan Kiyai Udin," tambahnya.
Sekitar tahun 1931 saat usianya 25 tahun, Kiai Abdul Hamid bermukim di Cicau hingga akhirnya pada tahun 1933 menikah yang ke satu dengan Nyai Raden Enok Umi Salamah putri salah satu Na'ib Raden Abdullah Gaos Cijulang.
Hasil pernikahan dengan Nyai Raden Enok Umi Salamah dikaruniai 4 orang putra diantaranya Endang Abdul Hanan, KH. Mukhtar Ghozali, KH. Abdullah Yusuf, Kiyai Asep Saefulloh Mujahid.
Sedangkan dari istri ke dua bernama Ibu Erat Cigugur dikaruniai 2 putri diantaranya Siti Maemunah atau Ai dan Euis dan dari istri ke tiga bernama Ibu Upah atau Ipah tidak dikaruniai keturunan.
"Selama bermukim di Cicau, Kiai Abdul Hamid terus menegakkan dakwah Islamiyyah dan memberantas berbagai bentuk kemusyrikan yang saat itu masih sangat kental di masyarakat," paparnya.
Salah satu bentuk dakwah yang dilakukan Kiai Abdul Hamid berhasil menghilangkan keyakinan masyarakat menyembah berhala yang terkenal dengan nama Panyembahan Karantenan hingga berhasil dihacurkan dengan berkah karomah Kiyai Abdul Hamid.
"Pada tahun 1944 Kiai Abdul Hamid bergabung dengan Partai Masyumi, tahun 1946 pasca Proklamasi Kemerdekaan RI membentuk laskar perjuangan yaitu Hizbullah dan Sabilillah," jelasnya.
Hizbullah dan Sabilillah berlatih selama kurang lebih 5 bulan di Pesantren Cicau sebelum berangkat ke Bandung untuk berjuang mempertahankan Kemerdekaan NKRI.
Kembali dari Bandung, pasukan Hizbullah dan Sabilillah memutuskan untuk kembali ke Langkaplancar.
Namun karena kondisi masyarakat sudah berubah dengan masuknya faham baru yaitu Darul Islam (DI) yang tidak sejalan dengan pemikiran dan pemahaman Kiai Abdul Hamid maka Kiyai Abdul Hamid bersama laskarnya memutuskan untuk tinggal di Gunung Singkup sebagai tempat riyadhoh dan mengatur berbagai strategi.
"Karena Kiai Abdul Hamid menolak bergabung dengan DI maka dituduh berpihak pada Belanda dan dimusuhi, sementara pasukan Belanda sendiri terus berupaya mencari keberadaan Kyai Abdul Hamid untuk di bunuh," kata Ajengan Ucu.
Bahkan, waktu itu Belanda menargetkan pembunuhan kepada para Kiai dengan harapan salah satunya adalah Kai Abdul Hamid.
Melihat gelombang fitnah semakin menjadi-jadi, para sahabat Kiai Abdul Hamid menyarankan agar ia pindah ke Daerah Karang Gedang Ciamis.
Atas usulan tersebut Kiyai Abdul Hamid hijrah ke Karang Gedang, Kabupaten Ciamis dan bermukim di sana selama sekira 7 bulan sampai akhirnya meninggal dibunuh gerombolan PKI bersama 3 santrinya.
Ketiga santri yang dibunuh oleh PKI waktu itu diantaranya Ajengan Sa'aduddin, Kiyai Zaenal Arifin dan Kiyai Zaenal Mutaqin, mereka difitnah bergabung dengan Belanda lalu diculik dan dibawa ke daerah Cigembor Ciamis, di sana mereka dibunuh dengan kejam.
Kiai Abdul Hamid wafat pada tahun 1949 dan dimakamkan di Dusun Karang Gedang, Kabupaten Ciamis bersama ketiga santrinya.
(nag)