DPRD Sumsel Soroti Program Sekolah Gratis yang masih Banyak Pungli
A
A
A
PALEMBANG - Banyaknya keluhan masyarakat, khususnya wali siswa terhadap masih adanya pungutan yang dilakukan pihak sekolah membuat Program Sekolah Gratis (PSG) di Sumatera Selatan (Sumsel) masih dipertanyakan. Anggota Komisi V DPRD Sumsel, Rizal Kenedi mengatakan, persoalan seperti ini harus menjadi perhatian serius dari pemerintah daerah. Pemahaman yang berbeda dalam menerapkan pungutan harus diperjelas, baik oleh pemerintah daerah, kemudian turun ke sekolah.
Berdasarkan peraturan daerah, kata Rizal, memang memperbolehkan sumbangan yang didasari dengan Permendikbud nomor 44 tahun 2012 mengenai pembiayaan yang sifatnya sukarela.
"PSG ini ada, namun Pemprov Sumsel mengajukan Perda baru tapi verifikasi dari Kemendagri belum turun. Pada Perda itu merujuk pada Peraturan Nomor 75 tahun 2016 bahwa sekolah boleh menggalang dana," ujarnya saat dibincangi SINDOnews, Rabu (07/08/2019).
Sementara itu, Staf Ahli Gubernur Sumsel Bidang Kemasyarakatan dan SDM, Riza Fahlevi menjelaskan, pihah sekolah hendaknya memiliki penganggaran yang transparan, termasuk pendataan siswa-siswa yang berhak mendapatkan subsidi.
"Sekolah harus paham agar tidak salah menerapkan, dan pemerintah juga mengetahui bagaimana kebutuhan dana sekolah," terangnya.
Terkait PSG, Kepala Ombudsman Perwakilan Sumsel, M Adrian menyebutkan pungutan resmi merupakan total pembayaran Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP) yang diwajibkan setiap bulan.
Permasalahannya, lanjut Adrian, sekolah terutama SMA memiliki potensi melakukan pungli yang melanggar aturan.
"Sekolah cendrung salah paham, antara sumbangan dan pungutan. Jika sumbangan itu sifatnya sukarela, tetapi pungutan ialah sumbangan yang telah disepakati bersama dan ditentukan jumlahnya," ungkap Adrian.
Menurutnya, pemahaman demikian hendaknya diketahui dan dijalankan baik oleh komite sekolah atau lembaga pendidikannya. Namun, prakteknya sekolah masih mengambil sumbangan yang nilainya sama untuk kepeluan di luar sekolah.
"Peraturan Menteri menjelaskan pendanaan pendidikan itu menjadi tanggung jawab antara pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat," tandasnya.
Berdasarkan peraturan daerah, kata Rizal, memang memperbolehkan sumbangan yang didasari dengan Permendikbud nomor 44 tahun 2012 mengenai pembiayaan yang sifatnya sukarela.
"PSG ini ada, namun Pemprov Sumsel mengajukan Perda baru tapi verifikasi dari Kemendagri belum turun. Pada Perda itu merujuk pada Peraturan Nomor 75 tahun 2016 bahwa sekolah boleh menggalang dana," ujarnya saat dibincangi SINDOnews, Rabu (07/08/2019).
Sementara itu, Staf Ahli Gubernur Sumsel Bidang Kemasyarakatan dan SDM, Riza Fahlevi menjelaskan, pihah sekolah hendaknya memiliki penganggaran yang transparan, termasuk pendataan siswa-siswa yang berhak mendapatkan subsidi.
"Sekolah harus paham agar tidak salah menerapkan, dan pemerintah juga mengetahui bagaimana kebutuhan dana sekolah," terangnya.
Terkait PSG, Kepala Ombudsman Perwakilan Sumsel, M Adrian menyebutkan pungutan resmi merupakan total pembayaran Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP) yang diwajibkan setiap bulan.
Permasalahannya, lanjut Adrian, sekolah terutama SMA memiliki potensi melakukan pungli yang melanggar aturan.
"Sekolah cendrung salah paham, antara sumbangan dan pungutan. Jika sumbangan itu sifatnya sukarela, tetapi pungutan ialah sumbangan yang telah disepakati bersama dan ditentukan jumlahnya," ungkap Adrian.
Menurutnya, pemahaman demikian hendaknya diketahui dan dijalankan baik oleh komite sekolah atau lembaga pendidikannya. Namun, prakteknya sekolah masih mengambil sumbangan yang nilainya sama untuk kepeluan di luar sekolah.
"Peraturan Menteri menjelaskan pendanaan pendidikan itu menjadi tanggung jawab antara pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat," tandasnya.
(sms)