Proyek PLTA Munculkan Kecemasan Baru di Kawasan
A
A
A
TAPANULI SELATAN - Ekosistem Batangtoru di Provinsi Sumatera Utara (Sumut) diprediksi banyak aktivis lingkungan dan para ahli baik dari dalam maupun luar negeri, ke depan bakal menghadapi ancaman kerusakan serius. Setelah diobrak-abrik perusahaan tambang dan aktivitas illegal logging, saat ini kawasan seluas 168.658 hektare (ha) tersebut dihadapkan dengan ancaman proyek pembangkit listrik tenaga air (PLTA), yang sumber baku utamanya menggunakan air Sungai Batangtoru, di Kabupaten Tapanuli Selatan.
Tak hanya itu, warga lokal yang menentang pembangunan PLTA dan bendungan senilai USD1,6 miliar tersebut, semakin meluas menurut laporan dari sebuah misi pencarian fakta. Banyak dari masyarakat yang awalnya mendukung, kini bergabung dengan penentang lama dari kelompok lingkungan lokal dan internasional. Mereka bersatu menyerukan agar proyek yang didanai oleh Tiongkok tersebut, dihentikan.
Meski ditentang keras, namun North Sumatera Hydro Energy (NHSE) selaku pengembang proyek masih kukuh untuk menyelesaikan proyek pada 2022 seperti yang direncanakan. Sikap tak acuh perusahaan menyusul penolakan yang baru-baru ini dikeluarkan pengadilan Sumut atas gugatan yang dilayangkan oleh Walhi terkait proyek ini. Di mana, dalam gugatannya LSM lingkungan terbesar di Indonesia ini menentang pemerintah daerah karena mengabaikan bahaya lingkungan ketika mengeluarkan izin untuk proyek, dan telah menimbulkan kecemasan serius bagi penduduk setempat.
Kecemasan makin mengkhawatirkan, menyusul terungkapnya pemalsuan tanda tangan seorang peneliti kehutanan pada pernyataan dampak lingkungan (Amdal), ketika perusahaan meminta persetujuan untuk proyek tersebut. Namun demikian, proyek sudah dibuka dan sedang berjalan. “Banyak orang yang merasa tidak berdaya dalam menghadapi kegagalan gugatan yang nantinya akan memihak mereka (perusahaan) dalam masalah ini,” kata seorang anggota tim pencari fakta.
Onrizal, akademisi Universitas Sumatera Utara (USU) yang tandatangannya dipalsukan, mengaku keberatan dengan masuknya namanya sebagai bagian dari tim ahli dalam penyusunan Amdal 2016 untuk mendapatkan izin pembangunan proyek PLTA Batangtoru. Menurut ahli di bidang lingkungan ini, dirinya tidak terlibat lagi dalam penyusunan Amdal yang menjadi dasar terbitnya SK Gubernur Sumut, bernomor 660/50/DPMPPTSP/5/IV.1/I/2017 tentang perubahan ijin lingkungan rencana kegiatan pembangunan PLTA Batangtoru, dari kapasitas 500 MW menjadi 510 MW, dan perubahan lokasi Quarry di Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatera Utara oleh PT North Sumatera Hydro Energy (NSHE) tertanggal 31 Januari 2017.
"Saya tidak ikut dalam addendum Amdal 2016," tegas Onrizal dalam diskusi sekaligus konferensi pers di hadapan sejumlah wartawan lokal dan dari Jakarta, yang digagas Yayasan Ekosistem Lestari (YEL) bersama Koalisi Penyelamatan Orangutan, di Hotel Wisata Indah Sibolga, Sumut, Selasa (30/4).
Selain Onrizal, hadir juga narasumber lainnya, yakni Hardi Baktiantoro (Founder & Principal Center for Orangutan Protection/COP), Panut Hadiswoyo (Founding Director - OIC), Puji Rianti (Peneliti dari Institut Pertanian Bogor/IPB), dan Burhanuddin (Manager Area Batangtoru Yayasan Ekosistem Lestari/YEL) serta tim dari YEL dan Sumatera Orangutan Conservation Program (SOCP).
Onrizal mengaku, dirinya memang pernah dilibatkan sebagai tim ahli untuk penyusunan Amdal mengenai izin PLTA Batangtoru. Namun keterlibatannya tersebut hanya untuk Amdal yang disahkan pada 2014. Setelah Amdal tersebut disahkan, Onrizal meyakinkan dirinya tidak pernah terlibat lagi. "Namun ternyata saya baru tau ada addendum Amdal 2016, dan nama saya dicatut di dalamnya termasuk tandatangan saya. Makanya saya keberatan," ujarnya.
Keberatan Onrizal tentu bukan tanpa alasan, terlebih dalam dokumen amdal 2016 tak menyebutkan apapun tentang Orangutan atau harimau. Sementara dalam dokumen amdal 2014, yang dia tahu menyebutkan kedua spesies itu. “Sudah jelas orangutan bukan satu-satunya spesies terancam punah, ada juga harimau Sumatera di sana. Dokumen amdal yang baru tak mencantumkan orangutan atau harimau. Ada juga spesies yang dilindungi lain hilang [dari dokumen baru],” tegas Onrizal.
Onrizal sendiri bersama Walhi telah mengajukan laporan kepada Kepolisian Sumut sebanyak tiga kali atas tuduhan pemalsuan tanda tangan, tetapi polisi menolak. Alasan pertama penolakan, karena polisi memerlukan surat kuasa untuk memproses laporan. Kedua kali, polisi mengatakan, Onrizal perlu mengajukan laporan langsung, sebagai pihak pengadu. Ketiga kali, Onrizal mengajukan laporan langsung, tetapi polisi mengatakan mereka perlu amdal asli dan bukan salinan, serta bukti tanda tangan palsu untuk mendapatkan izin lingkungan. “Itu tidak mungkin karena bukan saya yang membuat dokumen amdal terbaru. Tugas polisi mencari bukti. Alih-alih, kami disuruh mencari bukti dan dokumen asli sendiri,” kata Onrizal.
Perkembangan hukum atas kasus pemalsuan tandatangan dokumen Amdal untuk syarat pembangunan PLTA Batangtoru telah membawa dorongan baru yang kontroversial, dengan banyaknya penduduk setempat sekarang yang bergabung dengan koalisi penentang proyek. Mereka mengintensifkan upaya untuk membujuk pemerintah Indonesia dan mitranya dari Tiongkok, maupun mitranya dari Indonesia untuk menghentikan proyek.
Masuk ke dalam kontroversi, awal bulan ini The InternationalUnion for Conservation of Nature (IUCN), pemerintah dan badan ahli masyarakat sipil terkemuka dalam konservasi spesies, secara terbuka menyerukan moratorium pada semua proyek yang berdampak pada “Orangutan Tapanuli yang terancam punah.” Pesan tersebut secara khusus ditujukan untuk mendesak penghentian proyek NSHE.
Tak hanya itu, warga lokal yang menentang pembangunan PLTA dan bendungan senilai USD1,6 miliar tersebut, semakin meluas menurut laporan dari sebuah misi pencarian fakta. Banyak dari masyarakat yang awalnya mendukung, kini bergabung dengan penentang lama dari kelompok lingkungan lokal dan internasional. Mereka bersatu menyerukan agar proyek yang didanai oleh Tiongkok tersebut, dihentikan.
Meski ditentang keras, namun North Sumatera Hydro Energy (NHSE) selaku pengembang proyek masih kukuh untuk menyelesaikan proyek pada 2022 seperti yang direncanakan. Sikap tak acuh perusahaan menyusul penolakan yang baru-baru ini dikeluarkan pengadilan Sumut atas gugatan yang dilayangkan oleh Walhi terkait proyek ini. Di mana, dalam gugatannya LSM lingkungan terbesar di Indonesia ini menentang pemerintah daerah karena mengabaikan bahaya lingkungan ketika mengeluarkan izin untuk proyek, dan telah menimbulkan kecemasan serius bagi penduduk setempat.
Kecemasan makin mengkhawatirkan, menyusul terungkapnya pemalsuan tanda tangan seorang peneliti kehutanan pada pernyataan dampak lingkungan (Amdal), ketika perusahaan meminta persetujuan untuk proyek tersebut. Namun demikian, proyek sudah dibuka dan sedang berjalan. “Banyak orang yang merasa tidak berdaya dalam menghadapi kegagalan gugatan yang nantinya akan memihak mereka (perusahaan) dalam masalah ini,” kata seorang anggota tim pencari fakta.
Onrizal, akademisi Universitas Sumatera Utara (USU) yang tandatangannya dipalsukan, mengaku keberatan dengan masuknya namanya sebagai bagian dari tim ahli dalam penyusunan Amdal 2016 untuk mendapatkan izin pembangunan proyek PLTA Batangtoru. Menurut ahli di bidang lingkungan ini, dirinya tidak terlibat lagi dalam penyusunan Amdal yang menjadi dasar terbitnya SK Gubernur Sumut, bernomor 660/50/DPMPPTSP/5/IV.1/I/2017 tentang perubahan ijin lingkungan rencana kegiatan pembangunan PLTA Batangtoru, dari kapasitas 500 MW menjadi 510 MW, dan perubahan lokasi Quarry di Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatera Utara oleh PT North Sumatera Hydro Energy (NSHE) tertanggal 31 Januari 2017.
"Saya tidak ikut dalam addendum Amdal 2016," tegas Onrizal dalam diskusi sekaligus konferensi pers di hadapan sejumlah wartawan lokal dan dari Jakarta, yang digagas Yayasan Ekosistem Lestari (YEL) bersama Koalisi Penyelamatan Orangutan, di Hotel Wisata Indah Sibolga, Sumut, Selasa (30/4).
Selain Onrizal, hadir juga narasumber lainnya, yakni Hardi Baktiantoro (Founder & Principal Center for Orangutan Protection/COP), Panut Hadiswoyo (Founding Director - OIC), Puji Rianti (Peneliti dari Institut Pertanian Bogor/IPB), dan Burhanuddin (Manager Area Batangtoru Yayasan Ekosistem Lestari/YEL) serta tim dari YEL dan Sumatera Orangutan Conservation Program (SOCP).
Onrizal mengaku, dirinya memang pernah dilibatkan sebagai tim ahli untuk penyusunan Amdal mengenai izin PLTA Batangtoru. Namun keterlibatannya tersebut hanya untuk Amdal yang disahkan pada 2014. Setelah Amdal tersebut disahkan, Onrizal meyakinkan dirinya tidak pernah terlibat lagi. "Namun ternyata saya baru tau ada addendum Amdal 2016, dan nama saya dicatut di dalamnya termasuk tandatangan saya. Makanya saya keberatan," ujarnya.
Keberatan Onrizal tentu bukan tanpa alasan, terlebih dalam dokumen amdal 2016 tak menyebutkan apapun tentang Orangutan atau harimau. Sementara dalam dokumen amdal 2014, yang dia tahu menyebutkan kedua spesies itu. “Sudah jelas orangutan bukan satu-satunya spesies terancam punah, ada juga harimau Sumatera di sana. Dokumen amdal yang baru tak mencantumkan orangutan atau harimau. Ada juga spesies yang dilindungi lain hilang [dari dokumen baru],” tegas Onrizal.
Onrizal sendiri bersama Walhi telah mengajukan laporan kepada Kepolisian Sumut sebanyak tiga kali atas tuduhan pemalsuan tanda tangan, tetapi polisi menolak. Alasan pertama penolakan, karena polisi memerlukan surat kuasa untuk memproses laporan. Kedua kali, polisi mengatakan, Onrizal perlu mengajukan laporan langsung, sebagai pihak pengadu. Ketiga kali, Onrizal mengajukan laporan langsung, tetapi polisi mengatakan mereka perlu amdal asli dan bukan salinan, serta bukti tanda tangan palsu untuk mendapatkan izin lingkungan. “Itu tidak mungkin karena bukan saya yang membuat dokumen amdal terbaru. Tugas polisi mencari bukti. Alih-alih, kami disuruh mencari bukti dan dokumen asli sendiri,” kata Onrizal.
Perkembangan hukum atas kasus pemalsuan tandatangan dokumen Amdal untuk syarat pembangunan PLTA Batangtoru telah membawa dorongan baru yang kontroversial, dengan banyaknya penduduk setempat sekarang yang bergabung dengan koalisi penentang proyek. Mereka mengintensifkan upaya untuk membujuk pemerintah Indonesia dan mitranya dari Tiongkok, maupun mitranya dari Indonesia untuk menghentikan proyek.
Masuk ke dalam kontroversi, awal bulan ini The InternationalUnion for Conservation of Nature (IUCN), pemerintah dan badan ahli masyarakat sipil terkemuka dalam konservasi spesies, secara terbuka menyerukan moratorium pada semua proyek yang berdampak pada “Orangutan Tapanuli yang terancam punah.” Pesan tersebut secara khusus ditujukan untuk mendesak penghentian proyek NSHE.
(wib)