Gaji Tak Dibayar, Karyawan Polisikan Group Perusahaan Keuangan Asing

Gaji Tak Dibayar, Karyawan Polisikan Group Perusahaan Keuangan Asing
A
A
A
JAKARTA - Memperingati hari buruh, 1 Mei 2019. Perusahaan konsultan pajak, PT DTS dilaporkan oleh pekerjanya, Maya Atandhrya Kusmayanti ke Polda Metro Jaya. Perusahaan penasihat keuangan ini diduga tidak membayar gaji sang karyawan.
Kuasa hukum Maya, Rian Hidayat dari kantor Total Consulting mengatakan, pelaporan ini merujuk dari Pasal 186 ayat 1 Undang Undang RI Nomor 13/2003 tentang Ketenagakerjaan. Dalam pasal itu mengancam maksimal empat tahun penjara bagi pelaku usaha yang tidak membayar upah pegawainya.
"Ini yang kemudian menjadi catatan kami. Kami nilai perusahaan itu diduga keras telah melanggar pasal ini,” kata Rian sembari menunjukan laporan polisi Nomor TBL/2554/IV/2019/PMJ/Dit. Reskrimsus saat ditemui di Komnas HAM, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (30/4/2019).
Terhadap kasus ini, Rian telah memperingatkan perusahaan tersebut agar upah karyawan tetap lah harus dibayar sekalipun massa skorsing. Dia merujuk pasal 155 ayat 3 Undang Undang Tenaga Kerja. Namun hingga berita ditulis, lanjut Rian, perusahaan itu tak menunjukan itikad baik. Meskipun upaya tripartit atau perundingan telah dilakukan.
Kasus ini bermula ketika Maya dipindahkan ke Firma lain. Hal itu dinilai melanggar Pasal 61 ayat 3 Undang Undang Ketenagakerjaan. Meskipun kliennya telah menanyakan hak-haknya terkait dengan proses pengalihan, bukannya mendapat kejelasan namun perusahaan malah menawarkan turun gaji dan apabila tidak cocok dengan tawaran tersebut perusahaan malah menawarkan resign dan akan diberi uang pisah atau kompensasi.
Tidak menerima hal tersebut, kliennya malah diberikan skorsing oleh perusahaan."Saya akan menentang perlakuan perusahaan tersebut karena ketika perpindahan kerja terjadi, tandanya perjanjian kerja yang lama tidak berlaku, karena hubungan hukum menjadi berubah, disitulah pentingnya perjanjian pengalihan untuk menjaga hak hak pekerja sebagaimana Pasal 61 ayat 3 UU Tenaga Kerja,” jelas Rian.
Termasuk mengenai skorsing yang diberikan perusahaan merujuk Pasal 158 Undang Undang Ketenagakerjaan. Kata Rian, hal itu bertentangan dengan pasal 27 ayat 1 dan pasal 1 ayat 3 Undang Undang dasar 1945 sebagaimana diungkapkan oleh Mahkamah Konstitusi.
“Kemudian di Permennarker juga, skorsing harus memberikan pekerja kesempatan membela diri bukan hanya sekedar disuruh menanda tangani skorsing itu,” jelasnya.
Dia berharap dengan masalah ini, perusahaan yang terafiliasi dengan perusahaan global itu tunduk pada aturan ketenagakerjaan Indonesia dan menjunjung tinggi nilai nilai HAM. Karena itu, selain melaporkan ke kepolisian. Pihaknya juga melaporkan ke Komnas HAM.
“Karena ketika buruh tidak diupah, jelas ada hak dasar yang dicabut padahal hak tersebut dijamin oleh undang undang agar setiap orang dapat membayar biaya kehidupan sehari harinya sebagaimana Pasal 38 ayat 4 UU HAM,” ucapnya.
Kuasa hukum Maya, Rian Hidayat dari kantor Total Consulting mengatakan, pelaporan ini merujuk dari Pasal 186 ayat 1 Undang Undang RI Nomor 13/2003 tentang Ketenagakerjaan. Dalam pasal itu mengancam maksimal empat tahun penjara bagi pelaku usaha yang tidak membayar upah pegawainya.
"Ini yang kemudian menjadi catatan kami. Kami nilai perusahaan itu diduga keras telah melanggar pasal ini,” kata Rian sembari menunjukan laporan polisi Nomor TBL/2554/IV/2019/PMJ/Dit. Reskrimsus saat ditemui di Komnas HAM, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (30/4/2019).
Terhadap kasus ini, Rian telah memperingatkan perusahaan tersebut agar upah karyawan tetap lah harus dibayar sekalipun massa skorsing. Dia merujuk pasal 155 ayat 3 Undang Undang Tenaga Kerja. Namun hingga berita ditulis, lanjut Rian, perusahaan itu tak menunjukan itikad baik. Meskipun upaya tripartit atau perundingan telah dilakukan.
Kasus ini bermula ketika Maya dipindahkan ke Firma lain. Hal itu dinilai melanggar Pasal 61 ayat 3 Undang Undang Ketenagakerjaan. Meskipun kliennya telah menanyakan hak-haknya terkait dengan proses pengalihan, bukannya mendapat kejelasan namun perusahaan malah menawarkan turun gaji dan apabila tidak cocok dengan tawaran tersebut perusahaan malah menawarkan resign dan akan diberi uang pisah atau kompensasi.
Tidak menerima hal tersebut, kliennya malah diberikan skorsing oleh perusahaan."Saya akan menentang perlakuan perusahaan tersebut karena ketika perpindahan kerja terjadi, tandanya perjanjian kerja yang lama tidak berlaku, karena hubungan hukum menjadi berubah, disitulah pentingnya perjanjian pengalihan untuk menjaga hak hak pekerja sebagaimana Pasal 61 ayat 3 UU Tenaga Kerja,” jelas Rian.
Termasuk mengenai skorsing yang diberikan perusahaan merujuk Pasal 158 Undang Undang Ketenagakerjaan. Kata Rian, hal itu bertentangan dengan pasal 27 ayat 1 dan pasal 1 ayat 3 Undang Undang dasar 1945 sebagaimana diungkapkan oleh Mahkamah Konstitusi.
“Kemudian di Permennarker juga, skorsing harus memberikan pekerja kesempatan membela diri bukan hanya sekedar disuruh menanda tangani skorsing itu,” jelasnya.
Dia berharap dengan masalah ini, perusahaan yang terafiliasi dengan perusahaan global itu tunduk pada aturan ketenagakerjaan Indonesia dan menjunjung tinggi nilai nilai HAM. Karena itu, selain melaporkan ke kepolisian. Pihaknya juga melaporkan ke Komnas HAM.
“Karena ketika buruh tidak diupah, jelas ada hak dasar yang dicabut padahal hak tersebut dijamin oleh undang undang agar setiap orang dapat membayar biaya kehidupan sehari harinya sebagaimana Pasal 38 ayat 4 UU HAM,” ucapnya.
(whb)