Buya Hamka, Ketua MUI Pertama yang Memilih Mundur dari Jabatannya

Sabtu, 13 April 2019 - 05:00 WIB
Buya Hamka, Ketua MUI...
Buya Hamka, Ketua MUI Pertama yang Memilih Mundur dari Jabatannya
A A A
Siapa yang tak kenal Buya Hamka. Tokoh ulama kharismatik yang dipercaya sebagai ketua umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) pertama di Indonesia pada tahun 1975. Buya Hamka juga dikenal sebagai sastrawan, budayawan, cendekiawan, dan penulis yang produktif.

Hamka memiliki nama asli Prof DR Haji Abdul Malik Karim Amrullah gelar Datuk Indomo. Lahir di Nagari Sungai Batang, Tanjung Raya, Kabupaten Agam, Sumatera Barat, 17 Februari 1908. Beliau wafat di Jakarta 24 Juli 1981 pada usia 73 tahun.

Sebagai seorang ulama dan sastrawan, Buya Hamka melewatkan waktunya sebagai wartawan, penulis, dan pengajar. Ia juga terjun dalam dunia politik melalui Masyumi sampai partai tersebut dibubarkan. Beliau juga aktif dalam organisasi Muhammadiyah sampai akhir hayatnya.Universitas al-Azhar dan Universitas Nasional Malaysia menganugerahkannya gelar doktor kehormatan, sementara Universitas Moestopo, Jakarta mengukuhkan Hamka sebagai guru besar. Namanya disematkan untuk Universitas Hamka milik Muhammadiyah dan masuk dalam daftar Pahlawan Nasional Indonesia.

Masa Kecil Buya Hamka
Hamka merupakan anak pertama dari empat bersaudara. Ayahnya bernama Abdul Karim Amrullah (Haji Rasul) dan ibunya bernama Safiyah. Haji Rasul menikahi Safiyah setelah istri pertamanya, Raihana yang merupakan kakak Safiyah meninggal di Mekkah.

Di Maninjau, Hamka kecil tinggal bersama neneknya, mendengarkan pantun-pantun yang menceritakan keindahan alam Minangkabau. Ayahnya sering bepergian berdakwah. Saat berusia empat tahun, Hamka mengikuti orangtuanya ke Padangpanjang, belajar membaca Quran dan bacaan salat di bawah bimbingan Fatimah, kakak tirinya.

Memasuki usia tujuh tahun, Hamka masuk ke sekolah desa dan sorenya belajar di Diniyah School. Kesukaannya di bidang bahasa membuatnya cepat sekali menguasai bahasa Arab.

Pada tahun 1918, Hamka berhenti SD setelah tiga tahun belajar. Ayahnya Haji Rasul memasukkan Hamka ke Thawalib, sekolah yang mewajibkan murid-muridnya menghafal kitab-kitab klasik, kaidah mengenai nahwu, dan ilmu saraf.

Pada usia 16 tahun, Hamka merantau ke pulau Jawa untuk menimba ilmu tentang gerakan Islam modern kepada HOS Tjokroaminoto, Ki Bagus Hadikusumo, RM Soerjopranoto, dan KH Fakhrudin. Saat itu, hamka mengikuti berbagai diskusi dan training pergerakan Islam di Abdi Dharmo Pakualaman, Yogyakarta.

Hamka juga pernah menjadi guru agama di perkebunan Tebing Tinggi, Medan pada 1927. Pada tahun 1929 di Padang Panjang, Hamka dilantik sebagai dosen di Universitas Islam, Jakarta dan Universitas Muhammadiyah, Padang Panjang dari tahun 1957-1958. Setelah itu, beliau diangkat menjadi rektor Perguruan Tinggi Islam, Jakarta dan Profesor Universitas Mustopo, Jakarta.

Sejak perjanjian Roem-Royen 1949, ia pindah ke Jakarta dan memulai kariernya sebagai pegawai Departemen Agama pada masa KH Abdul Wahid Hasyim. Waktu itu Hamka sering memberikan kuliah di berbagai perguruan tinggi Islam di Tanah Air.

Dari tahun 1951 hingga tahun 1960, beliau menjabat sebagai Pegawai Tinggi Agama oleh Menteri Agama Indonesia. Pada 26 Juli 1975 Buya Hamka dilantik sebagai Ketua Umum MUI. Tetapi kemudian Hamka meletakkan jabatan itu pada tahun 1981.

Hamidulloh Ibda, Dosen STAINU Temanggung dalam paparannya di https://alif.id menceritakan, Buya Hamka dikenal sebagai tokoh plural yang tegas dan kokoh pendirian. Hamka sangat menghargai pendapat. Suatu hari pernah menjadi imam salat subuh di masjid NU. Buya Hamka yang biasanya tidak Qunut, dengan pluralitasnya ia pun membaca doa qunut. Kebesaran hati seperti itulah yang mengantarkannya menjadi Ketua MUI pertama kali di tanah Air.

Ketua MUI Pertama di Indonesia
Tanggal 26 Juli 1975 menjadi sejarah bagi Indonesia dan Hamka diangkat menjadi ketua umum MUI pertama kali secara aklamasi. Sebagai ulama sufi, Buya Hamka memiliki tanggung jawab besar atas jabatan tertinggi di MUI.

Pada hari itu pula, Hamka berpidato pertama kali sebagai Ketua MUI. Ketika ia menyampajkan pidato saat pelantikan dirinya, Hamka menyatakan bahwa dirinya bukanlah sebaik-baiknya ulama. Ia menyadari bahwa dirinya memang populer, "Tapi kepopuleran bukanlah menunjukkan bahwa saya yang lebih patut."

Sebagai Ketua MUI, ia meminta agar ia tidak digaji. Ia memilih menjadikan Masjid Agung Al-Azhar sebagai pusat kegiatan MUI alih-alih berkantor di Masjid Istiqlal. Selain itu, ia meminta agar diperbolehkan mundur, apabila nanti ternyata tidak ada kesesuaian dengan dirinya dalam hal kerja sama antara pemerintah dan ulama.

Pemerintah Indonesia di bawah pimpinan Presiden Soeharto sejak mulai berdirinya MUI menganjurkan agar menjaga kerukunan hidup beragama.
Pada 1978, Hamka berbeda pandangan dengan pemerintah. Pemicunya adalah keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Daoed Joesoef untuk mencabut ketentuan libur selama puasa Ramadan, yang sebelumnya sudah menjadi kebiasaan.

Hamka Mengundurkan Diri
Pada 7 Maret 1981, MUI mengeluarkan fatwa tentang keharaman perayaan Natal bagi umat Islam. Fatwa itu keluar menyusul banyaknya instansi pemerintah menyatukan perayaan Natal dan Lebaran lantaran kedua perayaan itu berdekatan. Hamka membantah perayaan Natal dan Lebaran bersama sebagai bentuk toleransi.

Dalam khutbahnya di Masjid Agung Al-Azhar, Hamka menyampaikan, "Haram hukumnya bila ada orang Islam menghadiri upacara Natal. Natal adalah kepercayaan orang Kristen yang memperingati hari lahir anak Tuhan. Itu adalah aqidah mereka. Kalau ada orang Islam yang turut menghadirinya, berarti ia melakukan perbuatan yang tergolong musyrik."

MUI memfatwakan mengikuti upacara Natal bagi umat Islam hukumnya haram, meskipun tujuannya merayakan dan menghormati Nabi Isa karena Natal tidak dapat dipisahkan dari soal keyakinan dan peribadatan. Namun, keluarnya fatwa MUI menuai kecaman dari pemerintah. Menteri Agama Alamsyah Ratu Perwiranegara meminta fatwa MUI dicabut karena dianggap mengusik kerukunan antara umat Islam dan Kristen.

Dalam buku Mengenang 100 Tahun Hamka, Shobahussurur (2008) dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta mencatat perkataan Hamka: “Masak iya saya harus mencabut fatwa,” kata Hamka sembari menyerahkan surat pengunduran dirinya sebagai ketua MUI kepada Departemen Agama.

Mundurnya Hamka dari MUI mengundang simpati masyarakat Muslim pada umumnya. Kepada seorang sahabatnya, M Yunan Nasution, Hamka mengungkapkan, "Waktu saya diangkat dulu tidak ada ucapan selamat, tapi setelah saya berhenti, saya menerima ratusan telegram dan surat-surat yang isinya mengucapkan selamat."

Bagi Hamka, menjadi Ketua MUI pertama memiliki banyak tantangan. Namun ia kuat dalam memegang prinsip dan tak takut mengeluarkan fatwa demi kebenaran. Sejak aktif di Muhammadiyah, Hamka pernah mengeluarkan fatwa haram menikah bagi Bung Karno yang menjadi presiden kala itu. Lantaran fatwa tersebut dan kritik pedas Hamka pada pemerintah karena dekat dengan PKI, akhirnya mengantarkannya dimasukkan ke dalam penjara.

Ketika terasing dalam penjara, pada 16 Juni 1970, ajudan Presiden Soeharto datang ke rumah Buya membawa secarik kertas. Kertas yang tak biasa bertuliskan kalimat pendek namun membawa kebahagian bagi Hamka. Pesan itu dating dari Soekarno, orang yang belakangan sangat ia rindukan.

Buya Hamka pun membaca pesan tersebut. “Bila aku mati kelak, minta kesediaan Hamka untuk menjadi imam salat jenazahku,” kata Soekarno seperti ditulis dalam artikel Soekarno dan Hamka, Kisah Penguasa Yang Mendzalimi Ulama yang ditulis Nur Indah Yusari (Sangpencerah.id, 6/2/2017).

Sumber:
Biografi Buya Hamka
Wikipedia
(rhs)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1217 seconds (0.1#10.140)