Misteri Raibnya Patung KF Holle dan Pabrik Tenun Terbesar di Garut
A
A
A
JIKA berkunjung ke Alun-alun Garut, Jawa Barat saat ini, tak akan dijumpai lagi di antara Pendopo dan Masjid Agung pernah ada sebuah Patung penghormatan terhadap Karel Frederick Holle yang berjasa pada dunia perkebunan di Jawa Barat.
Begitu juga dengan Pabrik Tenun terbesar di Asia Tenggara pada masanya yang kini menjadi bangunan toserba di Jalan Guntur Kota Garut dan menjadi pusat perbelanjaan terbesar di Kabupaten Garut.
Adalah mantan Kepala Bidang Kebudayaan Dinas Pariwisata dan Budaya Kabupaten Garut, Warjita yang mengungkapkan bahwa patung Holle dihancurkan Tentara Jepang yang patungnya dikubur di bawah Alun-alun. Penghancuran Patung itu, kata Warjita, karena Jepang tidak ingin melihat sisa-sisa Kolonial Belanda.
KF Holle, menurut Warjita, seorang warga Belanda yang ditugaskan Pemerintah Hindia Belanda di Priangan Timur. Dia menetap di Garut setelah sebelumnya mengembangkan pertanian dan perkebunan di Bogor.
Holle juga ahli sastra Sunda yang fasih berbahasa Sunda, sehingga dia satu-satunya penerjemah naskah-naskah Sunda di Garut kala itu. Yang sangat menarik dari sikap Holle juga mengenai sikapnya terhadap warga pribumi.
Holle lebih senang mengabdi untuk pribumi yang salah satunya bersahabat dekat dengan Penghulu Garut, Muhammad Musa dan memilih jadi pengusaha perkebunan daripada jadi Birokrat Hindia Belanda.
Holle pun dikenal sebagai pembawa perubahan cara berpikir masyarakat Garut dari tradisional ke modernitas. Warga Garut yang dulunya tidak paham berkebun, menjadi pintar berkebun yang dibuktikan dengan adanya Kacang Hole atau kacang asli garut.
Patung Karel Frederick Holle, sempat akan dibangun kembali diera Bupati Dede Satibi pada 2002 oleh keturunan Keluarga Holle dari Belanda. Namun DPRD Garut menolak karena khawatir disangka membangkitkan kembali budaya Kolonialisme.
"Padahal tidak semua Kolonialisme itu buruk, jika ada baiknya tidak perlu alergi karena Holle berjasa dalam pertanian, perkebunan dan sastra Sunda," kata Warjita beberapa waktu lalu.
Datanglah sekitar 20 orang keturunan Holle ke Garut, tapi untuk menghormatinya pembangunan patung Holle tadi dipindah ke Perkebunan Teh Giri Awas Cikajang sebagai perkebunan Holle dulu kala.
Karel Frederik Holle lahir pada 1829 dan meninggal dunia pada 1896. Pemerintah Kolonial Belanda mengabadikan nama Holle menjadi sebuah jalan di Kota Garut, yakni jalan Holle atau sekrang JalanMandalagiri dengan membuatkan patung setengah dada di Alun-alun Garut.
Pabrik Tenun Terbesar Asia Tenggara Disulap Jadi Pusat Perbelanjaan
Jejak Pabrik Tenun Terbesar di Asia Tenggara pun sudah tidak ada lagi. Jangankan bekas pabrik, tempatnya sudah disulap menjadi pusat perbelanjaan.
Pabrik penghasil kain sarung itu dibangun sekitar 1930-an, dengan ribuan karyawan warga pribumi yang mengubah tata cara produksi tradisional menjadi modern. Luas pabrik mencapai satu hektare lebih dan pernah jadi ikon keberhasilan Industri lokal oleh Presiden Soekarno.
Pabrik Tenun Garut atau disingkat PTG ini, kata Warijita, merupakan pabrik tenun warisan Kolonial Belanda. Dalam perjalanannya selalu jadi rebutan penguasa. Ketika zaman Jepang, Jepanglah yang menguasainya, termasuk pasca-kemerdekaan diambil alih oleh Pemerintah Indonesia.
Ada beberapa alasan kenapa Garut dipilih sebagai tempat produksi tenun, karena mudahnya bahan baku serta memiliki perajin batik dan tenun handal. Selain itu, letak daerah yang berdekatan dengan Bandung sebagai pusat Kolonial di Jawa Barat, sehingga memudahkan pengangkutan barang.
Pabrik Tenun Garut ini memiliki struktur bangunan yang unik. Di bawah Pabrik terdapat bungker luas lengkap dengan listrik dan ventilasi serta lorong penghubung ke bekas Rumah Direktur Pabrik dan Stasiun Kereta Api.
Bahkan hasil penelitian Disparbud Garut, terdapat sisa-sisa perabot rumah tangga, kain dan lorong sepanjang 500 meter sebagai jalan ke bekas rumah Direktur (Kini jadi Bank Jabar) dan Stasiun Kereta Api Garut. Bungker tersebut diduga sebagai tempat persembunyian karena dulu masih berlangsung perang dunia ke satu dan kedua.
Pemerintah Kabupaten Garut di era Bupati Aceng Fikri pernah meminta Pemerintah Provinsi Jawa Barat untuk melestarikan artefak sejarah Pabrik terbesar Asia Tenggara itu. Terutama bungker pabrik karena sangat jarang di dalam Kota ada terowongan sehingga bisa menjadi objek wisata dikemudian hari. Namun, pengajuan pelestarian tidak dihiraukan yang akhirnya diratakan dan dibangun pusat perbelanjaan pada 2010.
Begitu juga dengan Pabrik Tenun terbesar di Asia Tenggara pada masanya yang kini menjadi bangunan toserba di Jalan Guntur Kota Garut dan menjadi pusat perbelanjaan terbesar di Kabupaten Garut.
Adalah mantan Kepala Bidang Kebudayaan Dinas Pariwisata dan Budaya Kabupaten Garut, Warjita yang mengungkapkan bahwa patung Holle dihancurkan Tentara Jepang yang patungnya dikubur di bawah Alun-alun. Penghancuran Patung itu, kata Warjita, karena Jepang tidak ingin melihat sisa-sisa Kolonial Belanda.
KF Holle, menurut Warjita, seorang warga Belanda yang ditugaskan Pemerintah Hindia Belanda di Priangan Timur. Dia menetap di Garut setelah sebelumnya mengembangkan pertanian dan perkebunan di Bogor.
Holle juga ahli sastra Sunda yang fasih berbahasa Sunda, sehingga dia satu-satunya penerjemah naskah-naskah Sunda di Garut kala itu. Yang sangat menarik dari sikap Holle juga mengenai sikapnya terhadap warga pribumi.
Holle lebih senang mengabdi untuk pribumi yang salah satunya bersahabat dekat dengan Penghulu Garut, Muhammad Musa dan memilih jadi pengusaha perkebunan daripada jadi Birokrat Hindia Belanda.
Holle pun dikenal sebagai pembawa perubahan cara berpikir masyarakat Garut dari tradisional ke modernitas. Warga Garut yang dulunya tidak paham berkebun, menjadi pintar berkebun yang dibuktikan dengan adanya Kacang Hole atau kacang asli garut.
Patung Karel Frederick Holle, sempat akan dibangun kembali diera Bupati Dede Satibi pada 2002 oleh keturunan Keluarga Holle dari Belanda. Namun DPRD Garut menolak karena khawatir disangka membangkitkan kembali budaya Kolonialisme.
"Padahal tidak semua Kolonialisme itu buruk, jika ada baiknya tidak perlu alergi karena Holle berjasa dalam pertanian, perkebunan dan sastra Sunda," kata Warjita beberapa waktu lalu.
Datanglah sekitar 20 orang keturunan Holle ke Garut, tapi untuk menghormatinya pembangunan patung Holle tadi dipindah ke Perkebunan Teh Giri Awas Cikajang sebagai perkebunan Holle dulu kala.
Karel Frederik Holle lahir pada 1829 dan meninggal dunia pada 1896. Pemerintah Kolonial Belanda mengabadikan nama Holle menjadi sebuah jalan di Kota Garut, yakni jalan Holle atau sekrang JalanMandalagiri dengan membuatkan patung setengah dada di Alun-alun Garut.
Pabrik Tenun Terbesar Asia Tenggara Disulap Jadi Pusat Perbelanjaan
Jejak Pabrik Tenun Terbesar di Asia Tenggara pun sudah tidak ada lagi. Jangankan bekas pabrik, tempatnya sudah disulap menjadi pusat perbelanjaan.
Pabrik penghasil kain sarung itu dibangun sekitar 1930-an, dengan ribuan karyawan warga pribumi yang mengubah tata cara produksi tradisional menjadi modern. Luas pabrik mencapai satu hektare lebih dan pernah jadi ikon keberhasilan Industri lokal oleh Presiden Soekarno.
Pabrik Tenun Garut atau disingkat PTG ini, kata Warijita, merupakan pabrik tenun warisan Kolonial Belanda. Dalam perjalanannya selalu jadi rebutan penguasa. Ketika zaman Jepang, Jepanglah yang menguasainya, termasuk pasca-kemerdekaan diambil alih oleh Pemerintah Indonesia.
Ada beberapa alasan kenapa Garut dipilih sebagai tempat produksi tenun, karena mudahnya bahan baku serta memiliki perajin batik dan tenun handal. Selain itu, letak daerah yang berdekatan dengan Bandung sebagai pusat Kolonial di Jawa Barat, sehingga memudahkan pengangkutan barang.
Pabrik Tenun Garut ini memiliki struktur bangunan yang unik. Di bawah Pabrik terdapat bungker luas lengkap dengan listrik dan ventilasi serta lorong penghubung ke bekas Rumah Direktur Pabrik dan Stasiun Kereta Api.
Bahkan hasil penelitian Disparbud Garut, terdapat sisa-sisa perabot rumah tangga, kain dan lorong sepanjang 500 meter sebagai jalan ke bekas rumah Direktur (Kini jadi Bank Jabar) dan Stasiun Kereta Api Garut. Bungker tersebut diduga sebagai tempat persembunyian karena dulu masih berlangsung perang dunia ke satu dan kedua.
Pemerintah Kabupaten Garut di era Bupati Aceng Fikri pernah meminta Pemerintah Provinsi Jawa Barat untuk melestarikan artefak sejarah Pabrik terbesar Asia Tenggara itu. Terutama bungker pabrik karena sangat jarang di dalam Kota ada terowongan sehingga bisa menjadi objek wisata dikemudian hari. Namun, pengajuan pelestarian tidak dihiraukan yang akhirnya diratakan dan dibangun pusat perbelanjaan pada 2010.
(wib)