Disebut Melanggar Etika, Ganjar: Bawaslu Offside
A
A
A
SEMARANG - Putusan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Jateng yang menyatakan 31 kepala daerah melanggar etika berdasar UU Pemda terkait dukungan pada capres nomor 01 dibantah Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo. Karena putusan pelanggaran etika bukan kewenangan Bawaslu, namun Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).
Putusan Bawaslu tersebut diambil setelah melakukan pemeriksaan terhadap 31 bupati wali kota beserta Ganjar Pranowo usai mendeklarasikan dukungan pada Capres nomor 01 di Solo beberapa waktu lalu. Jika menilik UU Pemilu, Bawaslu tidak menemukan pelanggaran yang dilakukan kepala daerah tersebut. Namun kemudian Bawaslu menengok UU Pemda yang tidak jadi kewenangannya.
Menyikapi itu, Ganjar menegaskan Bawaslu telah offside. "Karena logikanya simpel saja. Kalau saya melanggar etika siapa yang berhak menentukan saya melanggar? Apakah Bawaslu, wong itu bukan kewenangannya. Oh bukan, yang berhak menentukan itu Mendagri. Lho kok sampeyan (Bawaslu) sudah menghukum saya. Wong nyidang saya belum kok. Ya terpaksa saya menganalisis sendiri karena semua orang bertanya, seolah-olah hari ini saya ini melanggar. Hari ini Bawaslu offside," kata Ganjar di Puri Gedeh, Semarang, Minggu (24/2/2019) malam.
Terkait kewenangan itu, dia juga telah memberi penjelasan dan diamini oleh Bawaslu Jateng. Menurutnya, mestinya jika Bawaslu menemukan hal lain yang tidak jadi kewenangannya, tidak patut disampaikan, apalagi sampai memutuskan sebuah pelanggaran.
"Padahal kemarin Rofiudin (anggota Bawaslu Jateng) menyampaikan tidak ditemukan pelanggaran. Tapi dia memberi catatan bahwa ini melanggar etika berdasarkan UU Pemda. Lalu saya tanya, kewenangan Bawaslu itu apa? Kalau wewenang Bawaslu itu mengklarifikasi atau menguji pelanggaran Pemilu ya berhenti di situ. Ganjar dan para bupati walikota, yang sebenarnya mereka perannya tidak bupati walikota namun kader, melanggar atau tidak, titik. Kalau dia tidak melanggar mestinya tidak ditemukan pelanggaran, titik," katanya.
Meski putusan itu sudah terlanjur jadi konsumsi publik, Ganjar mengatakan sama sekali belum menerima draft hasil pleno Bawaslu. Bahkan beberapa kali sudah berupaya untuk mendapatkan salinan draft itu, namun belum mendapat kepastian. Dia pun merasa sangat dirugikan dengan putusan Bawaslu tersebut.
"Maka tadi saya kontak-kontakan sama Rofiudin, apakah saya bisa mendapatkan hasil pleno Anda? Jawabannya bisa. Bagaimana caranya. Sampai saat ini belum dijawab. Apakah saya mendapatkan itu otomatis? Kalau pengadilan, begitu diputus pihaknya dikasih. Lha ini kan saya belum tahu sampai saya harus aktif untuk menghubungi. Karena ini menjadi diskursus di tingkat publik dan merugikan saya. Bawaslu profesional sedikit dong," tegasnya.
Selain itu, politisi PDI Perjuangan ini juga mempersoalkan bukti pemeriksaan Bawaslu, yaitu sebuah potongan video dari vlog pribadinya saat deklarasi. Menurut Ganjar, pemotongan video tersebut tidak tepat yang akhirnya melahirkan multi tafsir.
"Tapi ketika diksi pada satu bagian video mengatakan para bupati mendukung presiden dan dipenggal di situ, maka saya kira penggalannya keliru. Tapi sah saja mereka menafsirkan begitu. Tapi saya ingatkan Anda tidak punya kewenangan lho soal etika, karena soal etika kewenangannya ada di Kemendagri. Saya yakin saya tidak melanggar. Kita sudah memilih hari Sabtu, undangan tidak ada pada bupati tapi pribadi," pungkasnya.
Putusan Bawaslu tersebut diambil setelah melakukan pemeriksaan terhadap 31 bupati wali kota beserta Ganjar Pranowo usai mendeklarasikan dukungan pada Capres nomor 01 di Solo beberapa waktu lalu. Jika menilik UU Pemilu, Bawaslu tidak menemukan pelanggaran yang dilakukan kepala daerah tersebut. Namun kemudian Bawaslu menengok UU Pemda yang tidak jadi kewenangannya.
Menyikapi itu, Ganjar menegaskan Bawaslu telah offside. "Karena logikanya simpel saja. Kalau saya melanggar etika siapa yang berhak menentukan saya melanggar? Apakah Bawaslu, wong itu bukan kewenangannya. Oh bukan, yang berhak menentukan itu Mendagri. Lho kok sampeyan (Bawaslu) sudah menghukum saya. Wong nyidang saya belum kok. Ya terpaksa saya menganalisis sendiri karena semua orang bertanya, seolah-olah hari ini saya ini melanggar. Hari ini Bawaslu offside," kata Ganjar di Puri Gedeh, Semarang, Minggu (24/2/2019) malam.
Terkait kewenangan itu, dia juga telah memberi penjelasan dan diamini oleh Bawaslu Jateng. Menurutnya, mestinya jika Bawaslu menemukan hal lain yang tidak jadi kewenangannya, tidak patut disampaikan, apalagi sampai memutuskan sebuah pelanggaran.
"Padahal kemarin Rofiudin (anggota Bawaslu Jateng) menyampaikan tidak ditemukan pelanggaran. Tapi dia memberi catatan bahwa ini melanggar etika berdasarkan UU Pemda. Lalu saya tanya, kewenangan Bawaslu itu apa? Kalau wewenang Bawaslu itu mengklarifikasi atau menguji pelanggaran Pemilu ya berhenti di situ. Ganjar dan para bupati walikota, yang sebenarnya mereka perannya tidak bupati walikota namun kader, melanggar atau tidak, titik. Kalau dia tidak melanggar mestinya tidak ditemukan pelanggaran, titik," katanya.
Meski putusan itu sudah terlanjur jadi konsumsi publik, Ganjar mengatakan sama sekali belum menerima draft hasil pleno Bawaslu. Bahkan beberapa kali sudah berupaya untuk mendapatkan salinan draft itu, namun belum mendapat kepastian. Dia pun merasa sangat dirugikan dengan putusan Bawaslu tersebut.
"Maka tadi saya kontak-kontakan sama Rofiudin, apakah saya bisa mendapatkan hasil pleno Anda? Jawabannya bisa. Bagaimana caranya. Sampai saat ini belum dijawab. Apakah saya mendapatkan itu otomatis? Kalau pengadilan, begitu diputus pihaknya dikasih. Lha ini kan saya belum tahu sampai saya harus aktif untuk menghubungi. Karena ini menjadi diskursus di tingkat publik dan merugikan saya. Bawaslu profesional sedikit dong," tegasnya.
Selain itu, politisi PDI Perjuangan ini juga mempersoalkan bukti pemeriksaan Bawaslu, yaitu sebuah potongan video dari vlog pribadinya saat deklarasi. Menurut Ganjar, pemotongan video tersebut tidak tepat yang akhirnya melahirkan multi tafsir.
"Tapi ketika diksi pada satu bagian video mengatakan para bupati mendukung presiden dan dipenggal di situ, maka saya kira penggalannya keliru. Tapi sah saja mereka menafsirkan begitu. Tapi saya ingatkan Anda tidak punya kewenangan lho soal etika, karena soal etika kewenangannya ada di Kemendagri. Saya yakin saya tidak melanggar. Kita sudah memilih hari Sabtu, undangan tidak ada pada bupati tapi pribadi," pungkasnya.
(nag)