Aceh, Satu-satunya Daerah yang Tak Bisa Dikuasai Belanda
A
A
A
Aceh merupakan daerah yang menyimpan banyak keistimewaan. Selain pemberlakuan Syariat Islam, Aceh menjadi satu-satunya daerah yang tak dapat dikuasai Belanda.Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh ini telah dijelaskan dalam UU Nomor 44 Tahun 1999 yang disahkan oleh Presiden RI ketiga Bacharuddin Jusuf Habibie, 4 Oktober 1999. Kemudian, keistimewaan Aceh diperkuat lagi dengan lahirnya UU Nomor 18 Tahun 2001.
Aceh pertama kali bernama Aceh Darussalam (1511-1959). Kemudian Daerah Istimewa Aceh (1959-2001), Nanggroe Aceh Darussalam (2001-2009), dan terakhir Aceh (2009-sekarang). Ada baberapa pertimbangan yang menjadikan Aceh begitu istimewa dari daerah lain di Indonesia.
Pertama, sejarah panjang perjuangan rakyat Aceh membuktikan adanya ketahanan dan daya juang yang tinggi, yang bersumber dari kehidupan religius, adat yang kukuh, dan budaya Islam yang kuat dalam menghadapi kaum penjajah.
Kedua, kehidupan religius rakyat Aceh yang telah membentuk sikap pantang menyerah dan semangat nasionalisme dalam menentang penjajah dan mempertahankan kemerdekaan merupakan kontribusi yang besar dalam menegakkan NKRI meskipun rakyat Aceh kurang mendapat peluang untuk menata diri.
Ketiga, kehidupan masyarakat Aceh yang religius, menjunjung tinggi adat, dan telah menempatkan ulama pada peran yang terhormat dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara perlu dilestarikan dan dikembangkan bersamaan dengan pengembangan pendidikan.
Pada awal abad ke-17, Kesultanan Aceh dikenal sebagai negara terkaya, terkuat, dan termakmur di kawasan Selat Malaka. Dalam sejarahnya Aceh dikenal sebagai pusat perdagangan di Asia Tenggara, yang disinggahi pedagang Timur Tengah menuju ke negeri Cina. Ketika Islam lahir pada abad 6 Masehi, Aceh menjadi wilayah pertama di Nusantara yang menerima Islam.
Setelah melalui proses panjang, Aceh menjadi sebuah kerajaan Islam pada abad 7 Masehi. Kemudian berkembang menjadi sebuah kerajaan yang maju pada abad 14 Masehi. Dari sinilah Islam berkembang ke seluruh Asia Tenggara. Pada sekitar abad 15, ketika orang-orang Barat memulai petualangannya di Timur, banyak wilayah di Nusantara yang dikuasainya, tetapi Aceh tetap bebas sebagai sebuah kerajaan yang berdaulat.
Dalam percaturan politik internasional, hubungan Kerajaan Aceh Darussalam dengan Belanda yang semula cukup baik, pada abad 19 mengalami krisis. Meskipun demikian, dalam Traktat London 17 Maret 1824, Pemerintah Belanda berjanji kepada Pemerintah Inggris untuk tetap menghormati kedaulatan Kerajaan Aceh.
47 tahun kemudian, dengan berbagai kelicikan, Belanda meyakinkan Inggris untuk tidak menghalanginya menguasai Aceh melalui Traktat Sumatera 1 November 1871. Dua tahun kemudian (1873) Belanda menyerang Aceh, yang berlangsung puluhan tahun dengan korban yang tidak terkira banyaknya pada kedua belah pihak.
Sejak masa itu hingga Perang Dunia II Belanda kehilangan enam orang jenderal dan ribuan perwira serta prajurit. Demikian juga Aceh tidak hanya kehilangan harta dan jiwa, bahkan yang lebih penting, Aceh telah kehilangan kedaulatannya.
Dari latar belakang sejarah yang cukup panjang inilah masyarakat Aceh menjadikan Islam sebagai pedoman hidupnya. Islam telah menjadi bagian dari mereka, dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Masyarakat Aceh amat tunduk kepada ajaran Islam dan mereka taat serta memperhatikan fatwa ulama karena ulamalah yang menjadi ahli waris Nabi.
Penghayatan terhadap ajaran agama Islam dalam jangka yang panjang itu melahirkan budaya Aceh yang tercermin dalam kehidupan adat. Adat itu lahir dari renungan para ulama, kemudian dipraktekkan, dikembangkan, dan dilestarikan, lalu disimpulkan menjadi "adat bak Poteumeureuhom, hukum bak Syiah Kuala, Qanun bank Putro Phang, Reusam bak Laksamana" yang artinya hukum adat di tangan pemerintah dan hukum syariat ada di tangan ulama.
Kata-kata ini merupakan pencerminan dari perwujundang syariat Islam dalam praktik hidup sehari-hari bagi masyarakat Aceh. Aceh kemudian dikenal sebagai Serambi Mekkah karena dari wilayah paling barat inilah, kaum Muslimin dari wilayah lain di Nusantara berangkat ke Tanah Suci untuk menunaikan rukun Islam kelima.
Pada saat Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya tanggal 17 Agustus 1945, Aceh memberikan dukungannya karena merasa senasib dan sepenanggungan dengan saudara-saudaranya yang lain. Dukungan ini dinyatakan dengan kerelaan menyerahkan harta dan nyawa untuk tegaknya NKRI.
Perjuangan untuk mengusir penjajah Belanda di Medan Area Sumatera Utara dan membeli dua pesawat terbang untuk perjuangan menegakkan kedaulatan negara ini merupakan bukti kesetiaan masyarakat Aceh kepada Republik Indonesia.
Selama revolusi fisik, Aceh merupakan satu-satunya wilayah yang tidak dapat diduduki oleh Belanda sehingga Aceh disebut sebagai Daerah Modal bagi perjuangan bangsa Indonesia. Dalam era mempertahankan kemerdekaan ini peran para ulama sangat menentukan karena melalui fatwa dan bimbingan para ulama ini rakyat rela berjuang dan berkorban mempertahankan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945.
Atas dasar perjuangan itu pula Aceh mendapat kedudukan tersendiri sehingga dengan Peraturan Perdana Menteri Pengganti Peraturan Pemerintah No. 8/Des/WKPM/49 tertanggal 17 Desember 1949, Aceh dinyatakan sebagai satu provinsi yang berdiri sendiri yang lepas dari Provinsi Sumatera Utara. Hingga sekarang Aceh menjadi daerah provinsi di Indonesia yang mempunyai status “otonomi khusus” pada tahun 2001 melalui UU No 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
UU Otonomi Khusus Aceh ini disempurnakan lagi dengan lahirnya UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang pemerintahan Aceh. Kini, Aceh yang dihuni 5,1 juta jiwa (2017) hidup bahagia dalam bingkai Syariat Islam. Badan Pusat Statistik (BPS) Aceh merilis, tingkat kebahagiaan penduduk di Aceh meningkat sebesar 3,31 poin hingga Maret 2017.
Aceh pertama kali bernama Aceh Darussalam (1511-1959). Kemudian Daerah Istimewa Aceh (1959-2001), Nanggroe Aceh Darussalam (2001-2009), dan terakhir Aceh (2009-sekarang). Ada baberapa pertimbangan yang menjadikan Aceh begitu istimewa dari daerah lain di Indonesia.
Pertama, sejarah panjang perjuangan rakyat Aceh membuktikan adanya ketahanan dan daya juang yang tinggi, yang bersumber dari kehidupan religius, adat yang kukuh, dan budaya Islam yang kuat dalam menghadapi kaum penjajah.
Kedua, kehidupan religius rakyat Aceh yang telah membentuk sikap pantang menyerah dan semangat nasionalisme dalam menentang penjajah dan mempertahankan kemerdekaan merupakan kontribusi yang besar dalam menegakkan NKRI meskipun rakyat Aceh kurang mendapat peluang untuk menata diri.
Ketiga, kehidupan masyarakat Aceh yang religius, menjunjung tinggi adat, dan telah menempatkan ulama pada peran yang terhormat dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara perlu dilestarikan dan dikembangkan bersamaan dengan pengembangan pendidikan.
Pada awal abad ke-17, Kesultanan Aceh dikenal sebagai negara terkaya, terkuat, dan termakmur di kawasan Selat Malaka. Dalam sejarahnya Aceh dikenal sebagai pusat perdagangan di Asia Tenggara, yang disinggahi pedagang Timur Tengah menuju ke negeri Cina. Ketika Islam lahir pada abad 6 Masehi, Aceh menjadi wilayah pertama di Nusantara yang menerima Islam.
Setelah melalui proses panjang, Aceh menjadi sebuah kerajaan Islam pada abad 7 Masehi. Kemudian berkembang menjadi sebuah kerajaan yang maju pada abad 14 Masehi. Dari sinilah Islam berkembang ke seluruh Asia Tenggara. Pada sekitar abad 15, ketika orang-orang Barat memulai petualangannya di Timur, banyak wilayah di Nusantara yang dikuasainya, tetapi Aceh tetap bebas sebagai sebuah kerajaan yang berdaulat.
Dalam percaturan politik internasional, hubungan Kerajaan Aceh Darussalam dengan Belanda yang semula cukup baik, pada abad 19 mengalami krisis. Meskipun demikian, dalam Traktat London 17 Maret 1824, Pemerintah Belanda berjanji kepada Pemerintah Inggris untuk tetap menghormati kedaulatan Kerajaan Aceh.
47 tahun kemudian, dengan berbagai kelicikan, Belanda meyakinkan Inggris untuk tidak menghalanginya menguasai Aceh melalui Traktat Sumatera 1 November 1871. Dua tahun kemudian (1873) Belanda menyerang Aceh, yang berlangsung puluhan tahun dengan korban yang tidak terkira banyaknya pada kedua belah pihak.
Sejak masa itu hingga Perang Dunia II Belanda kehilangan enam orang jenderal dan ribuan perwira serta prajurit. Demikian juga Aceh tidak hanya kehilangan harta dan jiwa, bahkan yang lebih penting, Aceh telah kehilangan kedaulatannya.
Dari latar belakang sejarah yang cukup panjang inilah masyarakat Aceh menjadikan Islam sebagai pedoman hidupnya. Islam telah menjadi bagian dari mereka, dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Masyarakat Aceh amat tunduk kepada ajaran Islam dan mereka taat serta memperhatikan fatwa ulama karena ulamalah yang menjadi ahli waris Nabi.
Penghayatan terhadap ajaran agama Islam dalam jangka yang panjang itu melahirkan budaya Aceh yang tercermin dalam kehidupan adat. Adat itu lahir dari renungan para ulama, kemudian dipraktekkan, dikembangkan, dan dilestarikan, lalu disimpulkan menjadi "adat bak Poteumeureuhom, hukum bak Syiah Kuala, Qanun bank Putro Phang, Reusam bak Laksamana" yang artinya hukum adat di tangan pemerintah dan hukum syariat ada di tangan ulama.
Kata-kata ini merupakan pencerminan dari perwujundang syariat Islam dalam praktik hidup sehari-hari bagi masyarakat Aceh. Aceh kemudian dikenal sebagai Serambi Mekkah karena dari wilayah paling barat inilah, kaum Muslimin dari wilayah lain di Nusantara berangkat ke Tanah Suci untuk menunaikan rukun Islam kelima.
Pada saat Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya tanggal 17 Agustus 1945, Aceh memberikan dukungannya karena merasa senasib dan sepenanggungan dengan saudara-saudaranya yang lain. Dukungan ini dinyatakan dengan kerelaan menyerahkan harta dan nyawa untuk tegaknya NKRI.
Perjuangan untuk mengusir penjajah Belanda di Medan Area Sumatera Utara dan membeli dua pesawat terbang untuk perjuangan menegakkan kedaulatan negara ini merupakan bukti kesetiaan masyarakat Aceh kepada Republik Indonesia.
Selama revolusi fisik, Aceh merupakan satu-satunya wilayah yang tidak dapat diduduki oleh Belanda sehingga Aceh disebut sebagai Daerah Modal bagi perjuangan bangsa Indonesia. Dalam era mempertahankan kemerdekaan ini peran para ulama sangat menentukan karena melalui fatwa dan bimbingan para ulama ini rakyat rela berjuang dan berkorban mempertahankan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945.
Atas dasar perjuangan itu pula Aceh mendapat kedudukan tersendiri sehingga dengan Peraturan Perdana Menteri Pengganti Peraturan Pemerintah No. 8/Des/WKPM/49 tertanggal 17 Desember 1949, Aceh dinyatakan sebagai satu provinsi yang berdiri sendiri yang lepas dari Provinsi Sumatera Utara. Hingga sekarang Aceh menjadi daerah provinsi di Indonesia yang mempunyai status “otonomi khusus” pada tahun 2001 melalui UU No 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
UU Otonomi Khusus Aceh ini disempurnakan lagi dengan lahirnya UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang pemerintahan Aceh. Kini, Aceh yang dihuni 5,1 juta jiwa (2017) hidup bahagia dalam bingkai Syariat Islam. Badan Pusat Statistik (BPS) Aceh merilis, tingkat kebahagiaan penduduk di Aceh meningkat sebesar 3,31 poin hingga Maret 2017.
(rhs)