Rotasi Pejabat KPK Dikritik
A
A
A
YOGYAKARTA - Rencana Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk merotasi 14 pejabat setara eselon II dan eselon III mendapat banyak kritikan. Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Fakultas Hukum (FH) UGM menyoroti soal mekanisme perotasian tidak memiliki aturan yang jelas.
Peneliti PUKAT UGM, Hifdzil Alim menilai rencana rotasi itu sebenarnya sesuatu yang wajar pada tubuh suatu lembaga. Namun Hifdzil menyoroti mekanisme perotasian yang tidak jelas aturannya. Menurutnya sudah ada PP No 63/2005 yang mengatur mutasi dan promosi pegawai yang disesuaikan tuntutan, beban kerja, tujuan dan sasaran organisasi berdasarkan hasil penilaian kinerja masing-masing pegawai. Sayangnya aturan itu tidak menjelaskan teknis mengenai mutasi dan promosi dalam bentuk Peraturan Komisi.
“Sebenarnya dulu proses rotasi di KPK diserahkan pada biro sumber daya manusianya. Namun, untuk sekarang ini diambil alih langsung oleh pimpinan KPK. Ini yang memunculkan asumsi proses rotasi hanya didasarkan atas preferensi suka atau tidak suka belaka,” ujarnya dalam jumpa pers di kantor Pukat kompleks kampus UGM Selasa (21/8/2108).
Peneliti Pukat yag lain, Zaenur Rahman, menyebut KPK sering mengingatkan agar lembaga lain menerapkan sistem merit, yakni kebijakan dan manajemen SDM aparatur yang berdasarkan kualifikasi, kompetensi, dan kinerja secara adil dan wajar. “Seperti saat menegur Mahkamah Agung dan Pemperintah Provinsi Banten,” ujarnya.
Namun, justru KPK sendiri tidak menerapkan sistem merit ini dalam proses rotasi pejabat-pejabatnya. “Seharusnya KPK menjadi contoh atau panutan dari lembaga-lembaga lainnya,” tegasnya.
Pentingnya sistem merit ini, menurut Zaenur, adalah untuk menjaga objektivitas dari lembaga. ”Permasalahan ini membuat publik mempertanyakan independensi dari KPK.Tanpa dukungan publik KPK mungkin sudah lama dibubarkan,” ujarnya.
Pukat sendiri telah membuat kajian khusus tentang masalah ini. Pukat memberikan tiga solusi untuk mengatasi masalah ini. “Pertama, mendorong KPK untuk menaati aturan yang berlaku terkait rotasi dan mutasi dan kalau tidak ada wajib disusun dahulu. Selanjutnya, mendesak pimpinan KPK untuk menerapkan sistem merit. Terakhir, pimpinan dan pegawai wajib menjaga solidaritas, integritas, dan marwah KPK,” tambah Yuris Reza Setiawan, peneliti Pukat yang lain.
Peneliti PUKAT UGM, Hifdzil Alim menilai rencana rotasi itu sebenarnya sesuatu yang wajar pada tubuh suatu lembaga. Namun Hifdzil menyoroti mekanisme perotasian yang tidak jelas aturannya. Menurutnya sudah ada PP No 63/2005 yang mengatur mutasi dan promosi pegawai yang disesuaikan tuntutan, beban kerja, tujuan dan sasaran organisasi berdasarkan hasil penilaian kinerja masing-masing pegawai. Sayangnya aturan itu tidak menjelaskan teknis mengenai mutasi dan promosi dalam bentuk Peraturan Komisi.
“Sebenarnya dulu proses rotasi di KPK diserahkan pada biro sumber daya manusianya. Namun, untuk sekarang ini diambil alih langsung oleh pimpinan KPK. Ini yang memunculkan asumsi proses rotasi hanya didasarkan atas preferensi suka atau tidak suka belaka,” ujarnya dalam jumpa pers di kantor Pukat kompleks kampus UGM Selasa (21/8/2108).
Peneliti Pukat yag lain, Zaenur Rahman, menyebut KPK sering mengingatkan agar lembaga lain menerapkan sistem merit, yakni kebijakan dan manajemen SDM aparatur yang berdasarkan kualifikasi, kompetensi, dan kinerja secara adil dan wajar. “Seperti saat menegur Mahkamah Agung dan Pemperintah Provinsi Banten,” ujarnya.
Namun, justru KPK sendiri tidak menerapkan sistem merit ini dalam proses rotasi pejabat-pejabatnya. “Seharusnya KPK menjadi contoh atau panutan dari lembaga-lembaga lainnya,” tegasnya.
Pentingnya sistem merit ini, menurut Zaenur, adalah untuk menjaga objektivitas dari lembaga. ”Permasalahan ini membuat publik mempertanyakan independensi dari KPK.Tanpa dukungan publik KPK mungkin sudah lama dibubarkan,” ujarnya.
Pukat sendiri telah membuat kajian khusus tentang masalah ini. Pukat memberikan tiga solusi untuk mengatasi masalah ini. “Pertama, mendorong KPK untuk menaati aturan yang berlaku terkait rotasi dan mutasi dan kalau tidak ada wajib disusun dahulu. Selanjutnya, mendesak pimpinan KPK untuk menerapkan sistem merit. Terakhir, pimpinan dan pegawai wajib menjaga solidaritas, integritas, dan marwah KPK,” tambah Yuris Reza Setiawan, peneliti Pukat yang lain.
(wib)