May Day, Buruh Desak Gubernur Jabar Terbitkan Pergub UMSK

Selasa, 01 Mei 2018 - 18:32 WIB
May Day, Buruh Desak...
May Day, Buruh Desak Gubernur Jabar Terbitkan Pergub UMSK
A A A
BANDUNG - Ribuan buruh se-Jawa Barat memanfaatkan momentum Hari Buruh (May Day) dengan menggelar aksi unjuk rasa di depan Gedung Sate, Jalan Diponegoro, Kota Bandung, Selasa (1/5/2018).

Dalam aksinya, mereka mendesak Gubernur Jabar Ahmad Heryawan segera menerbitkan peraturan daerah (perda)/peraturan gubernur (pergub) yang mengatur tentang proses penetapan Upah Minimum Sektoral Pekerja (UMSK) yang hingga kini masih menjadi polemik sejak penetapan UMSK 2015 lalu.

Ketua DPD Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) Jabar Muhammad Sidarta mengatakan, polemik tersebut terus terjadi akibat belum adanya pedoman standar berbentuk regulasi bagi kabupaten/kota. Sidarta mencontohkan, hal yang sangat memprihatinkan akibat belum adanya regulasi tersebut, UMSK 2018 Kota Bandung tak bisa diterapkan, termasuk UMSK Kabupaten Bandung Barat (KBB)

"Proses UMSK 2018 baru sampai kajian sudah gugur sebelum berkembang. Hal seperti ini tidak boleh terjadi lagi untuk melindungi kaum buruh yang posisi tawarnya semakin lemah," tegas Sidarta seusai aksi unjuk rasa.

Dalam aksi tersebut, para buruh juga mengkritisi isu perburuhan skala nasional, seperti penerapan Peraturan Presiden No 20/2018 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing (TKA). Menurut dia, Perpres tersebut telah memberi ruang yang luas serta kemudahan bagi TKA untuk bekerja di semua sektor usaha, mulai tenaga kasar hingga bekerja di lembaga pemerintahan.

"Kondisi tersebut bertentangan dengan UU (Undang-Undang) No 13/2003 yang jelas-jelas telah membatasi TKA bekerja hanya untuk jabatan tertentu," katanya.

Sidarta melanjutkan, pihaknya juga meminta pencabutan Peraturan Pemerintah (PP) No 78/2015 tentang Pengupahan yang dianggapnya pro-upah murah dan mengeksploitasi tenaga buruh.

Di tempat yang sama, perwakilan Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI) Jabar Siti Eni meminta pemerintah menghapus sistem kontrak kerja terhadap buruh. Menurutnya, cara tersebut merugikan pekerja karena pekerja tidak memiliki kepastian status. "Dengan cara seperti itu, buruh juga dimungkinkan untuk diberhentikan tanpa kompensasi yang sebanding," ujarnya.

Dia juga menyebut, kenaikkan upah yang selama ini diberikan perusahaan tidak dirasakan manfaatnya. Sebab, besaran kenaikkan upah hanya berdasarkan inflasi dan laju pertumbuhan ekonomi. "Akibatnya, perempuan dalam hal ini istri harus ikut bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari," tandasnya.
(wib)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.0568 seconds (0.1#10.140)