Kisah Karomah Kiai Muqoyyim Pendiri Pesantren Buntet Cirebon

Jum'at, 30 Maret 2018 - 05:00 WIB
Kisah Karomah Kiai Muqoyyim Pendiri Pesantren Buntet Cirebon
Kisah Karomah Kiai Muqoyyim Pendiri Pesantren Buntet Cirebon
A A A
Kiai Muqoyyim adalah salah satu ulama kharismatik yang merupakan pendiri Pesantren Buntet Cirebon, Jawa Barat. Kiai Muqoyyim merupakan putra Kiai Abdul Hadi yang merupakan keturunan bangsawan dari Kesultanan Cirebon. Dia dilahirkan di Desa Srengseng Krangkeng, Karang Ampel, Indramayu 1689 seiring dengan melemahnya Kesultanan Cirebon pascamangkatnya Pangeran Girilaya pada 1662 M. Sehingga Kesultanan Cirebon terpecah menjadi beberapa bagian.

Dikutip dari karomahparakiai, kala itu Cirebon sering mengadakan hubungan dengan Banten, yang berada dibawah pemerintahan Adipati Anom alias Amangkurat II, dimana perkembangan ilmu keagamaan cukup tinggi.

Lalu Muqoyyim sering mengunjungi tempat-tempat yang pernah disinggahi Syekh Yusuf Al Makasari, menantu Sultan Ageng Tirtayasa, yang memerintah Banten sebelum masa pemerintahan Amangkurat I. Di tempat-tempat itu dia bertemu dan berdiskusi dengan pengganti atau murid-murid Syekh Yusuf.

Dia menulis beberapa buku tentang fiqih, tauhid, dan tasawuf yang dikirim pada Sultan Kanoman agar dijadikan buku pegangan bagi para pembesar keraton dan rakyat Cirebon.
Maka tak mengherankan bila dia kemudian diangkat sebagai Mufti. Selain itu, dia juga dikenal sakti, tapi rendah hati kepada siapa pun. Dia sangat mengedepankan akhlakul karimah.

Konon salah satu karomahnya yaitu, bisa membuat bendungan dengan hanya seutas benang. Hal ini dilakukan Kiai Muqoyyim saat mengikuti sayembara yang dikeluarkan Kiai Entol Rujitnala. Dimana isi sayembara tersebut yaitu barang siapa sanggup membuat bendungan yang dapat menahan banjir Sungai Nanggela, akan dinikahkan dengan putrinya yang bernama Randu Lawang

Kiai Entol Rujitnala ketika itu adalah seorang pembesar yang dikenal sakti tapi gagal membuat bendungan penahan banjir yang selalu menggenangi Sungai Nanggela. Sehingga daerah Setu selalu kebanjiran bila musim hujan datang. Karena merasa tidak mampu membuat bendungan penahan banjir, Kiai Entol kemudian mengadakan sayembara dengan hadiah anak semata wayangnya bagi yang berhasil membuat bendungan penahan banjir.

Kiai Muqoyyim yang ketika itu menjadi Mufti Keraton Kanoman lalu mengikuti sayembara itu. Tapi dengan niat kemanusiaan, yaitu mengatasi banjir. Meski demikian, sesuai dengan sifatnya yang rendah hati, dia juga tidak ingin mempermalukan penyelenggara. Caranya, sementara dia melakukan tugasnya untuk membangun bendungan, dimintanya Kiai Entol berdoa.

Lalu seutas benang yang dikeluarkan dari jubahnya, dibentangkan di beberapa titik yang akan dibangun bendungan. Kemudian, dengan sekali hentakkan, terciptalah bendungan itu lengkap dengan dinding batu yang kokoh. Sejak itu penduduk Setu terhindar dari banjir.

Seiring dengan perkembangan Keraton Cirebon mulai tunduk dalam pengaruh dominasi Belanda. Sehingga pengambilan keputusan dan kebijakan keraton harus melalui pembesar Belanda hal ini membuat Kiai Muqoyyim yang merupakan mufti kerajaan menjadi marah. Lalu karena nasihatnya kurang diperhatikan pihak keraton, akhirnya Kiai Muqoyyim mengundurkan diri dan meninggalkan Keraton Kanoman.

Dia kemudian mendirikan Pesantren di Buntet yang berjarak 12 kilometer dari keraton. Alasannya, karena disitu Kuwu Cirebon atau Syarif Hidayatullah, pernah mendirikan Padepokan.

Pesantren ini kemudian dijadikan sebagai pusat penyebaran agama Islam dan basis perlawanan kultural terhadap Belanda.

Kiai Muqoyyim ingin bergerak di bidang pendidikan mental dan spiritual agar dapat melaksanakan ajaran agama Islam dengan tenang dan menyikapi situasi dengan jernih.

Pendidikan mental akan memberikan motivasi yang kuat bagi para santri untuk tidak tunduk pada penjajah Belanda.

Dalam perjalanannya, Belanda yang melihat Mbah Muqoyyim sebagai ancaman serius, segera menyerang dan mau mengosongkan Pesantren Buntet. Namun perlawanan sengit pun dilakukan oleh pihak pesantren. Disini diuji bekal mental dan komitmen pesantren untuk tidak berkompromi dengan penjajah Belanda. Panji-panji jihad berkibar, aroma surga tercium dan mati syahid pun menjadi tujuan. Banyak korban berjatuhan dari kedua belah pihak.

Dalam pertempuran yang timpang itu, Kiai Muqoyyim berhasil menyelamatkan diri di Pesawahan Sindanglaut tempat adiknya bermukim. Disana dia kemudian mendirikan masjid.

Konon ceritanya, ketika membangun masjid tersebut, dengan karomah Allah SWT, Kiai Muqoyyim hanya menggunakan sebatang pohon jati yang banyak tumbuh disitu. Sehingga tempat asal pohon tersebut dikenal hingga sekarang dengan nama Jatisawit (Jati Sa Wit bahasa jawa – Jati satu pohon).

Usai membangun masjid, dia membangun pesantren yang kemudian dikenal dengan Pesantren Pesawahan. Salah seorang santrinya adalah Chaeruddin, ditengarai sebagai cucu Adipati Anom, sehingga masih ada hubungan keluarga dengan Kiai Muqoyyim.

Dibawah bimbingan Kiai Muqoyyim, Pangeran Chaeruddin dididik dan dipersiapkan menjadi pemimpin pemberani dan siap bertarung dengan kompeni. Lantaran dia adalah pewaris tahta Kesultanan Kanoman yang tidak setuju dengan sikap keraton yang tunduk kepada Belanda.

Keberadaan pangeran Chaeruddin disamping Kiai Muqoyyim membuat Belanda semakin marah. Maka, dalam suatu penyerbuan ke pesantren tersebut Belanda menangkap pangeran Chaeruddin dan kemudian membuangnya ke Ambon. Sedangkan Kiai Muqoyyim dapat meloloskan diri kari kepungan Belanda dan menyingkir ke Beji, Pemalang.

Disana, dia juga mendirikan masjid dan pesantren setelah membabat hutan angker. Dia masuk hutan tanpa mendapat gangguan, sementara orang lain selalu raib tanpa diketahui rimbanya.

Suatu saat ketika Cirebon diserang wabah penyakit kolera, Kiai Muqoyyim mendapat kesempatan untuk mengembalikan Pengeran Chaeruddin dari pembuangannya.

Kiai Muqoyyim dianggap sebagai satu-satunya orang yang bisa melawan wabah kolera tersebut. Maka dipanggillah dia untuk melaksanakan tugas tersebut, saat itulah Kiai Muqoyyim mengajukan syarat agar Pangeran Chaeruddin dipulangkan. Syarat itu disetujui. Pangeran Chaeruddin tiba di Cirebon, dan wabah kolera pun hilang.

Selama di Cirebon, Kiai Muqoyyim memanfaatkan waktunya untuk membangun kembali Pesantren Buntet, yang berantakan. Tapi Tuhan berkehendak lain. Tidak lama kemudian, ditengah usahanya untuk menata kembali pesantren Buntet, Kiai Muqoyyim wafat. Perjuangannya dilanjutkan oleh kiai-kiai sepuh lainnya diantaranya Kiai Abbas Buntet yang juga dikenal memiliki karomah dari Allah SWT.

Sumber:
- wikipedia
- karomahparakiai.blogspot
- nu.or.id
(sms)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5857 seconds (0.1#10.140)