Sosmed di Yogyakarta Masih untuk Kesenangan
A
A
A
YOGYAKARTA - DALAM menggunakan media sosial (medsos), para netizen di Yogyakarta masih fokus untuk spirit fun serta sebagai pemuas kebutuhan sekunder dan tersier.
Perilaku seperti ini yang disebut dengan homo ludens atau ma nusia bermain. Dalam bermedsos, pada umumnya masyarakat melakukannya untuk kepentingan positif, baik yang menyangkut diri sendiri maupun informasi dari orang lain. Memang kadang tidak mereka sadari, informasi yang diteruskan penyebaran yaitu hoax. Medsos yang sering diikuti atau menjadi perhatian para netizen biasanya yang menyangkut entertaiment.
Medsos yang banyak digunakan adalah Facebook (FB), WhatsApp (WA), Line, dan Instagram (IG). Kh usus untuk pelajar dan mahasiswa banyak menggunakan Line dan IG. Hanya saja tanpa disadari para netizen tersebut dalam menggunakan medsos banyak yang belum cukup sadar (aware) atas dam pak dari yang mereka lakukan dan hanya mengikut arus.
Baik itu manyangkut fakta maupun hoax. Karena itu, agar medsos membawa manfaat dan sisi negatifnya dapat dihilangkan, edukasi publik menjadi sangat penting. “Saya pikir hal ini tidak beda jauh dengan tempat lain di Indonesia,” kata Kepala Badan Sistem Informasi (BSI) Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta Fathul Wahid.
Hal serupa diungkapkan sosiolog media UGM M Sulhan. Menurutnya netizen masih tertarik pada hiburan atau entertainment. Memang saat situasi memanas juga sering terjadi perang opini dan ini natural, apalagi dalam menyampaikannya ke medsos bersifat etis. “Apa pun isu yang dilempar ke medsos pasti menuai pro-kontra,” paparnya.
Hal tersebut bukan hanya terjadi antar person, tetapi bisa juga person dengan institusi atau antarinstitusi. Khusus untuk an tarinstitusi biasanya akan muncul representasi sosok aktor. Meski begitu tetap dapat terkendali dan bisa saling memahami. “Pada dasarnya netizen sangat cair,” ungkapnya.
Dosen Program Magister Informatika, Program Pascasarjana Fakultas Teknologi Industri (FTI) UII, Ismail Fahmi, menambahkan, agar para netizen cerdas bermedsos dan tidak gampang mereduksi berita palsu serta menyikapi fenomena hoax dengan baik, selain dengan edukasi juga dengan mengembangkan literasi medsos.
Apalagi di titik tertentu medsos tersebut mempromosikan potensi konflik, sebab berkembang kecurigaan yang basisnya bukan kebenaran. Jika ini tidak diantisipasi, dikhawatirkan akan membentuk masyarakat yang penuh kepalsuan dan memengaruhi cara berpikir serta bertindak.
“Ada contoh Dirjen Pajak mengambil manfaat dari medsos dari Kepala Badan Siber justru di-bully,” terangnya. Untuk mengatasi ini, ada beberapa strategi yang bisa diterapkan, yaitu cair, tegas, dan tak acuh.
Strategi cair memungkinkan instansi mendapatkan manfaat, strategi tegas mem perbaiki atau mengendalikan kondisi medsos, strategi tak acuh mengombinasikan keduanya. Sebab keduanya sama-sama bermanfaat besar. (Priyo Setyawan)
Perilaku seperti ini yang disebut dengan homo ludens atau ma nusia bermain. Dalam bermedsos, pada umumnya masyarakat melakukannya untuk kepentingan positif, baik yang menyangkut diri sendiri maupun informasi dari orang lain. Memang kadang tidak mereka sadari, informasi yang diteruskan penyebaran yaitu hoax. Medsos yang sering diikuti atau menjadi perhatian para netizen biasanya yang menyangkut entertaiment.
Medsos yang banyak digunakan adalah Facebook (FB), WhatsApp (WA), Line, dan Instagram (IG). Kh usus untuk pelajar dan mahasiswa banyak menggunakan Line dan IG. Hanya saja tanpa disadari para netizen tersebut dalam menggunakan medsos banyak yang belum cukup sadar (aware) atas dam pak dari yang mereka lakukan dan hanya mengikut arus.
Baik itu manyangkut fakta maupun hoax. Karena itu, agar medsos membawa manfaat dan sisi negatifnya dapat dihilangkan, edukasi publik menjadi sangat penting. “Saya pikir hal ini tidak beda jauh dengan tempat lain di Indonesia,” kata Kepala Badan Sistem Informasi (BSI) Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta Fathul Wahid.
Hal serupa diungkapkan sosiolog media UGM M Sulhan. Menurutnya netizen masih tertarik pada hiburan atau entertainment. Memang saat situasi memanas juga sering terjadi perang opini dan ini natural, apalagi dalam menyampaikannya ke medsos bersifat etis. “Apa pun isu yang dilempar ke medsos pasti menuai pro-kontra,” paparnya.
Hal tersebut bukan hanya terjadi antar person, tetapi bisa juga person dengan institusi atau antarinstitusi. Khusus untuk an tarinstitusi biasanya akan muncul representasi sosok aktor. Meski begitu tetap dapat terkendali dan bisa saling memahami. “Pada dasarnya netizen sangat cair,” ungkapnya.
Dosen Program Magister Informatika, Program Pascasarjana Fakultas Teknologi Industri (FTI) UII, Ismail Fahmi, menambahkan, agar para netizen cerdas bermedsos dan tidak gampang mereduksi berita palsu serta menyikapi fenomena hoax dengan baik, selain dengan edukasi juga dengan mengembangkan literasi medsos.
Apalagi di titik tertentu medsos tersebut mempromosikan potensi konflik, sebab berkembang kecurigaan yang basisnya bukan kebenaran. Jika ini tidak diantisipasi, dikhawatirkan akan membentuk masyarakat yang penuh kepalsuan dan memengaruhi cara berpikir serta bertindak.
“Ada contoh Dirjen Pajak mengambil manfaat dari medsos dari Kepala Badan Siber justru di-bully,” terangnya. Untuk mengatasi ini, ada beberapa strategi yang bisa diterapkan, yaitu cair, tegas, dan tak acuh.
Strategi cair memungkinkan instansi mendapatkan manfaat, strategi tegas mem perbaiki atau mengendalikan kondisi medsos, strategi tak acuh mengombinasikan keduanya. Sebab keduanya sama-sama bermanfaat besar. (Priyo Setyawan)
(nfl)