Orang Tua Harus Lebih Bisa Kontrol Emosi

Kamis, 22 Februari 2018 - 11:16 WIB
Orang Tua Harus Lebih...
Orang Tua Harus Lebih Bisa Kontrol Emosi
A A A
Maraknya kasus kekerasan yang dilakukan oleh orang tua terhadap anak-anaknya lebih banyak dipengaruhi oleh faktor ketidakmampuan orang tua dalam mengontrol emosi ketika memiliki masalah.

Mengurus dan mengasuh anak memiliki tingkat stres tersendiri terlebih ditambah dengan berbagai masalah keluarga, mulai dari kondisi ekonomi dan lainnya. Karena itu, orang tua harus memiliki manajemen emosi yang baik dalam mengasuh anak.

Kasus kekerasan terbaru terjadi di Banjar Palak, Sukawati, Gianyar, Bali. Seorang ibu rumah tangga, Ni Luh Putu Septyan Parmadani, 33, diduga nekat meracuni tiga anaknya sampai tewas kemarin.

Pelaku yang sehari-hari bekerja sebagai guru pegawai negeri sipil (PNS) itu tega mencekoki racun pembasmi serangga kepada tiga anaknya yang masih belia, yaitu Ni Putu Diana Mas Pradnya Dewi, 6, Made Mas Laksamana Putra, 4, dan Nyoman Kresnandana Putra, 2.

Seusai mencekoki anaknya dengan racun, Parmadani kemudian berusaha bunuh diri dengan menyayat leher dan pergelangan tangan. Dalam keadaan sekarat, pelaku ditemukan oleh adik kandungnya.

Terkait kekerasan oleh orang tua ini, psikolog Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, Hastaning Sakti menjelaskan, ketika orang tua kesal dengan anak karena tidak mau menurut, bagi yang manajemen emosinya kurang baik yang terjadi adalah tindakan kekerasan yang dilampiaskan kepada anak.

”Orang tua merasa memiliki power untuk marah, untuk menyakiti anak, karena anak dianggap lebih lemah,” katanya. Karena itu, orang tua harus mampu mengatur emosi dan tetap berpikir secara rasional saat menghadapi masalah. ”Kalau orang tua bisa rasional, tentu bisa menyadari kondisi anak, menyadari kondisinya sendiri, sehingga bisa mengendalikan tindakannya,” ujarnya.

Orang tua juga perlu melatih diri salah satunya bisa dilakukan melalui kelas parenting yang akan mengajarkan bagaimana hidup berkeluarga, mengasuh anak, sampai melatih meredam emosi ketika sedang marah kepada sang buah hati.

”Harusnya program parenting sudah digalakkan sejak pranikah. Calon-calon pengantin ditatar dulu bagaimana memanajemen emosi, mengambil posisi saat bertengkar, dan lainnya,” katanya.

Peristiwa memilukan di Pulau Dewata tersebut pertama kali diketahui oleh I Nyoman Yoga, 31, adik kandung Parmadani, sekitar pukul 06.40 Wita. Yoga beberapa kali mengetuk pintu kamar yang ditempati kakaknya, tapi tidak mendapatkan jawaban dari dalam kamar. Dia lalu memutuskan mem buka paksa jendela dari luar.

Saat itulah Yoga kaget bukan main melihat kakaknya tidur sambil memegang sebilah pisau di tangannya. Yoga kemudian bergegas masuk dengan mendobrak pintu. Di dalam kamar dia mendapati ceceran darah yang berasal dari tangan dan leher kakaknya.

Dia juga mendapati tiga keponakannya sudah terbujur kaku di samping kanan dan kiri ibunya. Seketika itu juga Yoga berteriak meminta pertolongan keluarga dan para tetangga.

”Pelaku (Parmadani) masih dirawat di rumah sakit karena berusaha bunuh diri dengan melukai pergelangan tangan kiri dan leher bagian kanan memakai pisau,” kata Kapolsek Sukawati Kompol Pande Sugiharta. Pande mengatakan, saat pertama kali ditemukan, tiga bocah tidak berdosa itu sudah dalam keadaan tidak bernyawa.

Sedangkan ibunya dalam kondisi kritis dan dilarikan ke RS Ganesha Sukawati dan selan jutnya dirujuk ke RSUP Sanglah, Denpasar.

Di lokasi kejadian perkara, polisi mengamankan sejumlah barang bukti di antaranya cairan pembasmi serangga kemasan plastik yang isinya sudah habis dan sebilah pisau dapur dengan bercak darah yang masih menempel.

Menurut Pande, Parmadani sebenarnya telah menetap bersama suaminya di daerah Petang, Badung. Namun, sejak Selasa (20/2) siang dia pulang ke rumah orang tuanya dengan membawa tiga anaknya.

Sore harinya Putu Mohdiana, sang suami, datang untuk menjemput dan mengajak pulang ke Petang. Namun, Parmadani menolak dan pilih menginap di rumah orang tuanya. Mohdiana pun akhirnya memutuskan pulang sendirian.

Konflik Rumah Tangga
Pande menduga perselisihan rumah tangga menjadi motif dalam kasus ini. ”Apa bentuk per selisihannya itu yang belum tahu karena pelaku masih belum sadar dan masih dalam penanganan medis,” katanya.

Polisi juga belum bisa meminta keterangan Putu Mohdiana karena masih shock. Psikiater RSUP Sanglah, Lely Setyawati Kurniawan secara terpisah menyebut kasus bunuh diri di Bali cukup tinggi.

Kasus serupa pernah di lakukan satu keluarga (empat orang) dengan cara meminum cairan pestisida di Buleleng, 23 Februari 2017. Dua tahun sebelumnya, tepatnya 22 Januari 2015, satu keluarga (lima orang bunuh diri dengan cara membakar diri di sebuah kamar hotel di Klungkung.

Menurut Lely, upaya bunuh diri bersama anggota keluarga di pilih karena pelaku memiliki pemikiran suami, istri, ataupun anaknya tidak akan bahagia. ”Pelaku lalu memutuskan lebih baik misalnya jika anaknya diajak bunuh diri bersama,” ungkapnya.

Dalam catatan, Lely menyebutkan dalam seminggu rata-rata terdapat tiga kasus percobaan bunuh diri yang ditanganinya di rumah sakit.

Sedangkan psikolog Universitas Pancasila (UP) Jakarta, Aully Grashinta menuturkan, melakukan tindakan pembunuhan biasanya dilandasi oleh motif yang sangat kuat. Saat diindikasikan tidak ada keterlibatan orang di luar rumah, bisa diduga pada kasus ini lebih pada permasalahan internal keluarga.

”Artinya memang ada persoalan internal dalam keluarga,” katanya. Dalam pembunuhan sadis bia sanya ada dua yang utama, ya itu masalah psikologis dan ekonomi. Masalah psikologis misalnya soal harga diri, cemburu, benda, dan lainnya. Masalah ekonomi misalnya ingin menguasai harta korban atau sebab lain seperti gangguan jiwa, halusinasi, dan kepercayaan (ritual). ”Pada masalah ini tampaknya faktor psikologis lebih berperan,” urainya.

Namun, kata Shinta, perlu di dalami lebih lanjut apakah seluruh korban adalah target atau sebenarnya hanya sang ibu saja yang menjadi target. Sedangkan anak-anaknya menjadi terlibat karena ada di tempat yang sama. ”Yang pasti dorongan untuk melakukan agresi muncul kuat karena ada dorongan atau pemicu yang kuat,” paparnya.

Kejadian sadis ini sekarang memang banyak terjadi. Karena kondisi masyarakat kita sekarang lebih berorientasi pada penyelesaian masalah secara kekerasan, bahkan hingga menyebabkan kematian. ”Padahal, seharusnya banyak permasalahan yang bisa diselesaikan dengan cara yang lebih baik dan solutif,” katanya. (Miftachul Chusna/ R Ratna Purnama/ Andik Sismanto)
(nfl)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0693 seconds (0.1#10.140)