Perilaku Kekerasan di Sekolah akibat Minimnya Budaya Literasi

Senin, 12 Februari 2018 - 13:55 WIB
Perilaku Kekerasan di...
Perilaku Kekerasan di Sekolah akibat Minimnya Budaya Literasi
A A A
SUMEDANG - Meninggalnya Ahmad Budi Cahyono, seorang guru seni rupa SMAN 1 Torjun Sampang, Madura, akibat dianiaya muridnya menghentak kita semua. Antara percaya dan tidak, tetapi itulah realita dunia pendidikan di tengah transformasi kehidupan sosial kemasyarakatan.

Mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan, Paguyuban Motekar bersama Yayasan Al Barokah Een Sukaesih menggelar diskusi publik bertajuk Implementasi Pendidikan Berbasis Kasih Sayang di Rumah Pintar Al Barokah, Cibeureum Wetan, Cimalaka, Sumedang, Jawa Barat, Sabtu 10 Februari 2018. Hadir sebagai pembicara, kriminolog Maman Suherman, budayawan Acil Bimbo, dan peraih Een Sukaesih Award (ESA) 2017, Yuli Badawi.

Audiens diskusi sekitar 75 orang datang dari berbagai kabupaten/kota di Jawa Barat. Selain dari Sumedang juga hadir perwakilan guru dari Cianjur, Bandung, Cirebon, Kuningan, Majalengka dan Ciamis.

"Ini pertemuan berharga. Kita meluangkan waktu untuk membicarakan nilai-nilai. Hari ini kita mulai meninggalkan nilai-nilai budaya. Kejadian di Sampang, mengingatkan kita semua akan pentingnya nilai-nilai budaya dalam pendidikan," kata Acil Darmawan Hardjahusumah atau lebih dikenal dengan Acil Bimbo.

Menurutnya, di zaman yang penuh dengan tantangan ini perlu ketahanan budaya. "Di Sunda ada nilai silih asah, silih asih dan silih asuh. Dalam budaya, saya kembangkan kegiatan Jaga Lembur. Di pendidikan ada Ibu Een Sukaesih dengan pendidikan berbasis kasih sayangnya. Tinggal kita konsisten melaksanakannya," ujarnya.

Maman Suherman, yang akrab disapa Kang Maman juga menyampaikan keprihatinannya. Kejadian kekerasan di sekolah maupun di rumah tidak lepas dari pengaruh masih rendahnya budaya literasi. Padahal budaya literasi mempengaruhi kebahagiaan serta cara pandang dan pola sikap masyarakat. Indonesia dengan mayoritas umat Islam belum mampu melaksanakan ajaran Islam yang menekankan pentingnya literasi.

"Kita 85-90 % umat Islam. Jelas, perintah pertamanya Iqro. Jelas surat kedua yang diturunkan Al Qolam, pena, tulislah. Dua ilmu yang akan membuat kita selamat dunia dan akhirat. Banyak baca, Iqro dan tulislah. Tapi apa betul kita sudah umat Islam yang literat?" ungkap Maman.

Data UNESCO menyebutkan, minat baca orang Indonesia itu cuma 0,001. Artinya dari 1.000 orang Indonesia, yang suka baca cuma 1 orang. "Jadi dari 280 juta orang Indonesia, yang suka baca hanya 280.000. Sementara yang menyalahgunakan narkoba 5,9 juta orang," ujarnya.

Menurut UNESCO, 5 negara paling tinggi minat bacanya adalah paling bahagia di dunia, yakni Islandia, Finlandia, Swiss, Norwegia, dan Denmark. "Orang Indonesia rata-rata baca buku setahun 1 sampai 2 buku. Di Finlandia rata-rata 30 buku per orang. Mereka negara paling bahagia. Allah sudah kasih firman, kalau mau bahagia itu Iqro dan Al Qolam. Yang mempelajari itu negara lain," ucapnya.

Selain kajian budaya, kriminologi dan literasi, diskusi juga diperkaya pandangan Yuli Badawi yang membagi pengalaman praktis dalam membesarkan anak-anak asuhnya. Selain 4 anak kandungnya, Yuli membesarkan puluhan anak asuh. Sebagian besar ia rawat dari bayi nol bulan. Ada yang orang tuanya pemulung. Ada anak yang tak diharapkan karena ibunya diperkosa. Ada juga yang ditinggalkan begitu saja.

"Semua anak saya terima dengan kegembiraan yang sama seperti ketika saya melahirkan. Saya mendidik dan membesarkannya dengan penuh kasih sayang. Sebagaimana dicontohkan Ibu Een Sukaesih. Memang kunci utama pendidikan, baik di lingkungan keluarga maupun sekolah adalah kasih sayang," kata Yuli.
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.2047 seconds (0.1#10.140)