ITS Rancang Medical Capture, Aplikasi Terapi Stroke dan Osteoporosis
A
A
A
SURABAYA - Tim peneliti dari Departemen Teknik Komputer Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya berhasil merancang sebuah aplikasi inovatif untuk membantu penyembuhan pasien stroke dan osteoporosis. Langkah maju yang diyakini mampu membantu dunia medis untuk penyembuhan serangan penyakit mematikan di Indonesia.
Aplikasi yang diberi nama Medical Capture (MedCap) ini memanfaatkan sistem capture berbasis tiga dimensi (3D). Makanya, alat ini mampu memberikan manipulasi gerakan terapis ke pasien sebagai bentuk representasi penyembuhan stroke dan osteoporosis.
Tiga dosen dan satu mahasiswa yang terdiri terdiri dari Supeno Mardi Susiki Nugroho, I Ketut Eddy Purnama, Christyowidiasmoro, dan Harista Agam melakukan kolaborasi untuk menciptakan alat penyembuhan stroke dan osteoporosis ini.
Supeno Mardi Susiki Nugroho menuturkan, pihaknya bermodalkan komputer dan kamera kinect (stereovision) untuk bisa membangun sistem yang diinginkan. Timnya pun merancang sebuah aplikasi fisioterapis berbentuk 3D yang bekerja dengan menangkap gambar atau citra menggunakan dua arah sudut pandang yang berbeda.
Kamera kinect memiliki dua buah kamera utama, yaitu kamera depth dan kamera RGB. Alat itu ditambah sebuah pemancar inframerah yang mampu memaksimalkan kerja.
"Kamera depth digunakan untuk mengetahui jarak kedalaman objek dari kamera, sedangkan kamera RGB digunakan untuk mengetahui bentuk tekstur atau permukaan objek," ujar Uki, panggilan akrabnya, Senin (29/1/2018).
Ia melanjutkan, cara kerja dari MedCap mencatat gerakan dari seorang pasien fisioterapi. Gerakan tersebut disimpan dalam memori dan dimanipulasikan oleh avatar 3D. Pasien akan menirukan gerakan avatar yang tampil di monitor dengan menitikberatkan posisi gerakan dalam tiga sumbu koordinat, yaitu sumbu x, y, dan z.
"Gerakan pasien akan dinilai secara otomatis berdasarkan tingkat kesamaan, kelincahan, dan keluwesan. Itu semua akan membantu proses terapi yang dijalani," ungkapnya.
Inovasi munculnya ide MedCap, katanya, berawal dari tujuan membantu para penderita stroke dan osteoporosis untuk melakukan rehabilitasi secara mandiri. Mereka juga sekaligus mempertemukan secara tidak langsung antara fisioterapis dan pasien khususnya di daerah pedesaan yang jarang ditemukannya layanan fisioterapi.
"Jika gerakan terapis ini dilakukan secara rutin dan benar, Insya Allah akan sembuh dari penyakitnya secara perlahan," ucap Uki.
Uki juga membeberkan, pada layar monitor terdapat tiga animasi yang mudah dipahami. Animasi pertama menunjukkan gerakan fisioterapi pada tulang dan titik sendi. Animasi kedua berbentuk avatar lengkap dengan postur tubuh, dan animasi ketiga menunjukkan gerakan pasien saat berlatih.
"Sejauh ini, kamera kinect hanya mampu menangkap gerakan seseorang yang memiliki ketinggian postur tubuh antara 1,5-2 meter serta jarak optimal 2 meter dari kamera, sehingga masih perlu pengembangan lagi," kata I Ketut Eddy Purnama, ketua Departemen Teknik Komputer yang juga menjadi salah satu tim peneliti.
Pihaknya pun yakin keberadaan alat ini bisa memberikan manfaat besar bagi layanan terapis para pasien stroke dan osteoporosis. Para penderita pun tak perlu antre di rumah sakit untuk melakukan terapi. Apalagi, bagi daerah yang selama ini tak terjangkau layanan terapi di rumah sakit besar.
Aplikasi yang diberi nama Medical Capture (MedCap) ini memanfaatkan sistem capture berbasis tiga dimensi (3D). Makanya, alat ini mampu memberikan manipulasi gerakan terapis ke pasien sebagai bentuk representasi penyembuhan stroke dan osteoporosis.
Tiga dosen dan satu mahasiswa yang terdiri terdiri dari Supeno Mardi Susiki Nugroho, I Ketut Eddy Purnama, Christyowidiasmoro, dan Harista Agam melakukan kolaborasi untuk menciptakan alat penyembuhan stroke dan osteoporosis ini.
Supeno Mardi Susiki Nugroho menuturkan, pihaknya bermodalkan komputer dan kamera kinect (stereovision) untuk bisa membangun sistem yang diinginkan. Timnya pun merancang sebuah aplikasi fisioterapis berbentuk 3D yang bekerja dengan menangkap gambar atau citra menggunakan dua arah sudut pandang yang berbeda.
Kamera kinect memiliki dua buah kamera utama, yaitu kamera depth dan kamera RGB. Alat itu ditambah sebuah pemancar inframerah yang mampu memaksimalkan kerja.
"Kamera depth digunakan untuk mengetahui jarak kedalaman objek dari kamera, sedangkan kamera RGB digunakan untuk mengetahui bentuk tekstur atau permukaan objek," ujar Uki, panggilan akrabnya, Senin (29/1/2018).
Ia melanjutkan, cara kerja dari MedCap mencatat gerakan dari seorang pasien fisioterapi. Gerakan tersebut disimpan dalam memori dan dimanipulasikan oleh avatar 3D. Pasien akan menirukan gerakan avatar yang tampil di monitor dengan menitikberatkan posisi gerakan dalam tiga sumbu koordinat, yaitu sumbu x, y, dan z.
"Gerakan pasien akan dinilai secara otomatis berdasarkan tingkat kesamaan, kelincahan, dan keluwesan. Itu semua akan membantu proses terapi yang dijalani," ungkapnya.
Inovasi munculnya ide MedCap, katanya, berawal dari tujuan membantu para penderita stroke dan osteoporosis untuk melakukan rehabilitasi secara mandiri. Mereka juga sekaligus mempertemukan secara tidak langsung antara fisioterapis dan pasien khususnya di daerah pedesaan yang jarang ditemukannya layanan fisioterapi.
"Jika gerakan terapis ini dilakukan secara rutin dan benar, Insya Allah akan sembuh dari penyakitnya secara perlahan," ucap Uki.
Uki juga membeberkan, pada layar monitor terdapat tiga animasi yang mudah dipahami. Animasi pertama menunjukkan gerakan fisioterapi pada tulang dan titik sendi. Animasi kedua berbentuk avatar lengkap dengan postur tubuh, dan animasi ketiga menunjukkan gerakan pasien saat berlatih.
"Sejauh ini, kamera kinect hanya mampu menangkap gerakan seseorang yang memiliki ketinggian postur tubuh antara 1,5-2 meter serta jarak optimal 2 meter dari kamera, sehingga masih perlu pengembangan lagi," kata I Ketut Eddy Purnama, ketua Departemen Teknik Komputer yang juga menjadi salah satu tim peneliti.
Pihaknya pun yakin keberadaan alat ini bisa memberikan manfaat besar bagi layanan terapis para pasien stroke dan osteoporosis. Para penderita pun tak perlu antre di rumah sakit untuk melakukan terapi. Apalagi, bagi daerah yang selama ini tak terjangkau layanan terapi di rumah sakit besar.
(zik)