Penjara Kalisosok, Sumur Ajaib, dan Tembok yang Tak Bisa Dipaku

Minggu, 28 Januari 2018 - 05:00 WIB
Penjara Kalisosok, Sumur...
Penjara Kalisosok, Sumur Ajaib, dan Tembok yang Tak Bisa Dipaku
A A A
Di ujung utara Surabaya, nama Penjara Kalisosok sulit untuk dihilangkan dari ingatan sejarah. Coretan dinding penjara mengisahkan banyak perjalanan panjang pergolakan dan terbentuknya negeri ini. Goresan pena WR Supratman hingga petuah HOS Tjokroaminoto menghiasi dinding penjara yang menjadi salah satu bangunan cagar budaya di Kota Pahlawan.

Meski terlihat tak terawat, bagian pintu masuk Penjara Kalisosok terlihat masih sangat kuat. Di atasnya terdapat ruang kantor para sipir penjara. Saat masuk di sisi kanan dan kiri dinding setinggi sekitar tiga meter itu juga terlihat masih sangat kuat, meski sudah berlumut dan terdapat tumbuhan merambat. Selain itu, dari dalam maupun luar dinding, terlihat ditumbuhi pohon-pohon liar yang sangat lebat.

Menjelang senja, dinding Penjara Kalisosok terus berbinar. Dinding yang kini dicat berbagai warna meninggalkan kesan angker yang sejak ratusan tahun lalu melekat pada penjara yang dibangun di era kepemimpinan Gubernur Jenderal Hindia Belanda ke-36, Herman Willem Daendels.

Mural panjang yang berisi cerita tentang kota, kehidupan, dan perlawanan saat ini menghiasi permukaan dinding penjara. Warna ceria dipilih untuk memberikan kesan segar pada dinding penjara. Di sepanjang jalan, ingatan membentang dan menerobos batas waktu ketika masa penjajahan yang menjadikan tempat ini begitu bersejarah.

Warsito (49), tukang becak yang setiap hari mangkal di depan penjara mengaku suka dengan warna penjara yang kini terus bercahaya. Warna hijau, merah, kuning, biru, dan orange yang mendominasi membuatnya lebih tenang daripada melihat tembok yang dulu.

"Kalau sebelumnya kesannya angker, seperti bangunan yang banyak penghuninya dan terasa menakutkan," ujarnya, Kamis (25/1/2018).

Bulunya pun terkadang merinding ketika cerita dari teman-temannya yang bertutur tentang para penghuni di Kalisosok. Bahkan, banyak cerita yang bermunculan dari balik dinding penjara yang memiliki ruang bawah tanah ini.

Penjara Kalisosok juga menyimpan cerita heroik. Oktober 1945, ketika berita kemerdekaan berhasil menyelinap masuk penjara, para tahanan pun membentuk 'Laskar Pendjara'. Pimpinan laskar ini adalah seorang tukang becak bernama Mayor Dollah. Sebagaimana ditulis Bung Tomo dalam bukunya, Kisah Perang 10 November, yang terbit tahun 1950, pemberontakan dalam penjara ini berhasil menjebol tembok penjara sisi utara.

Penjara Kalisosok dibangun 1 September 1808, menelan biaya sampai 8.000 Gulden. Nama Kalisosok diambil dari nama sebuah daerah di Surabaya Utara, tepatnya berada di sebelah utara Jalan Rajawali dan Kembang Jepun.

Tokoh Muhammadiyah Kiai Haji Mas Mansur, WR Supratman, serta tokoh-tokoh nasional lainnya, pernah merasakan pengapnya Penjara Kalisosok. Bahkan, banyak di antara mereka yang meninggal akibat penyiksaan orang-orang Belanda.

Pendiri Sarekat Islam HOS Tjokroaminoto tercatat pernah mendekam di Penjara Kalisosok. Bahkan, tokoh Marhaenis dan pejuang rakyat Surabaya Doel Arnowo pun pernah mendekam selama sembilan bulan.

Pada saat perjuangan anti-fasisme, Penjara Kalisosok juga menjadi saksi penangkapan para aktivis anti-fasis seperti Pamudji, Sukayat, Sudarta, dan Asmunanto. Bahkan, tokoh utama gerakan anti-fasis saat itu, Amir Syarifuddin juga ditangkap dan dipenjara di sini.

Ketika Sekutu mendarat di Surabaya, Kalisosok menjadi saksi sejarah keberanian rakyat Surabaya melawan pasukan Inggris. Pada 26 Oktober 1965, pasukan Inggris dibawah pimpinan Kapten Shaw menyerbu Penjara Kalisosok untuk membebaskan seorang perwira Belanda, Kolonel Huiyer.

Di zaman Orde Baru, Penjara Kalisosok juga menjadi tempat ditahannya para tapol Partai Komunis Indonesia (PKI) dan ormas-ormasnya. Banyak di antara mereka, sebelum dibuang ke Pulau Buru atau Nusakambangan, harus mendekam di Kalisosok.

Mohammad Sholeh, Aktivis Pro Demokrasi di pengujung kekuasaan Orde Baru, pernah merasakan dinginnya lantai Kalisosok. Ia menjadi penghuni di penjara legendaris yang terkenal dengan tahanan politiknya selama 1,5 tahun.

Di ruangan penjara berukuran 1,5x2,5 meter, nalar politik dan gerakan yang dibawanya tak luntur. Kebiasaannya membaca buku masih bisa disalurkan di dalam penjara.

Ia termasuk beruntung masih bisa menempati Blok E Penjara Kalisosok. Di blok tersebut, ia tak dijadikan satu dengan kumpulan penghuni penjara lainnya. Sebab, ia termasuk tahanan politik, sehingga pengajuannya untuk menempati Blok E diizinkan oleh sipir penjara.

"Di bagian paling belakang ada penjara khusus anak yang tak ada lampu penerangan. Ruang itu sengaja gelap untuk memberikan efek jera bagi anak yang terlibat kejahatan," jelasnya.
Penjara Kalisosok, Sumur Ajaib, dan Tembok yang Tak Bisa Dipaku

Saat menjadi musuh Orde Baru, Sholeh divonis Pengadilan Negeri (PN) Surabaya 4 tahun penjara pada 1996. Ia divonis bersama rekan satu organisasinya di Partai Rakyat Demokratik (PRD), Coen Husain Pontoh yang juga dijebloskan ke Kalisosok.

Setumpuk kenangan yang sulit dilupakannya dari Kalisosok. Momen yang paling sulit dihilangkan adalah ketika mandi di Kalisosok. Saat masih menjadi tahanan, ia mandi di sumur yang konon memiliki cerita panjang di masa silam. Air sumur itu dipercaya menyembuhkan jenis luka apa pun bagi orang yang mandi di sana.

"Jadi luka yang ada di tubuh cepat sembuh kalau mandi di sumur itu. Ini sudah menjadi kepercayaan di sana," jelasnya.

Pria yang saat ini berprofesi sebagai pengacara itu melanjutkan, tembok yang ada di Kalisosok tak bisa dipaku. Penjara warisan kolonial itu terkenal kuat meskipun dindingnya tak tebal. Ketebalan dinding penjara sebenarnya hanya 15 sentimeter. Namun, tembok itu tak bisa dipaku.

"Kalau mau membuat gantungan baju kulit tembok dilubangi dulu. Baru setelah itu kami memakai kayu dan lem untuk tempat baju. Paku yang ditancapkan tak akan bisa tembus, bisa langsung bengkong," tegasnya.

Baginya, menjadi penghuni penjara yang dikenal paling angker itu bukanlah cita-cita. Sejak awal ia selalu terbayang rasa ketakutan setelah pindah dari Rutan Medaeng. Selama 10 bulan, Sholeh sempat mendekam di Rutan Medaeng sebelum dipindah ke Kalisosok.

Di blok penjara yang sama, ia pernah satu blok dengan narapidana kasus pembunuhan dan penjahat kakap. Salah satunya dengan Sugik, narapidana yang divonis mati karena pembunuhan satu keluarga di Jojoran. Ada pula Prayit dan Sugeng, mertua dan menantu yang membunuh perwira TNI aktif. Mereka semua adalah terpidana mati.

"Kami berinteraksi seperti saudara dan saling peduli, awalnya sempat takut, tapi lama-lama Kalisosok menyenangkan. Apalagi waktu itu ada taman khusus yang indah di Blok E," ungkapnya.

Bagi Sholeh, Kalisosok dianggapnya sebagai sekolah ketimbang penjara. Di masa Orde Baru buku 'kiri' sempat dibatasi, namun di Kalisosok dia bebas memasukkan buku-buku bacaan beraliran 'kiri'. Bahkan, sarana hiburan seperti televisi juga bebas ditonton di lemari kamarnya.

Sholeh sendiri mengakui kalau banyak sumber ilmu yang bisa diserap otaknya ketika di Kalisosok. Dia bebas berdiskusi dengan semua orang yang lahir dari latar belakang beragam.

Kenangan kuat dari Kalisosok membuat Sholeh dengan para narapidana lain sering membuatnya kembali ke ke sana meskipun sudah bebas. Ia sendiri akhirnya bebas setelah mendapatkan amnesti dari Presiden BJ Habibie pada 1998.

"Saya tetap berharap penjara Kalisosok jangan dijual ke swasta. Banyak sejarah yang dibangun di sana. Jadi sangat disayangkan kalau sejarah itu dihilangkan. Kalisosok bisa menjadi wisata sejarah yang penuh dengan cerita di Surabaya," ucapnya.
(zik)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0916 seconds (0.1#10.140)