Fenomena Via Valen dan Nella Kharisma, Obat Pelipur Lara Warga Surabaya

Sabtu, 09 Desember 2017 - 17:55 WIB
Fenomena Via Valen dan Nella Kharisma, Obat Pelipur Lara Warga Surabaya
Fenomena Via Valen dan Nella Kharisma, Obat Pelipur Lara Warga Surabaya
A A A
SURABAYA - Getaran suara Via Vallen terus berdendang di sepanjang warung kopi yang ada di jalanan Surabaya. Di Kota Pahlawan, anak-anak yang masih duduk di bangku sekolah dasar (SD) dengan lantang melantunkan tembang Lungset dan Bojoku Galak. Salah satu lagu andalan penyanyi yang bernama asli Maulidia Octavia.

Fenomen Via Vallen maupun Nella Kharisma menjadi obat pelipur lara bagi warga kota. Mereka merindukan hiburan, sejenak melupakan utang maupun persoalan kerasnya kehidupan di kota besar.

Dengan lirik yang ringan, unik dan dekat dengan masyarakat menjadikan hits lagu yang dibawakan penyanyi kelahiran Surabaya, 1 Oktober 1990 ini enak untuk diperdengarkan.

Sosiolog Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Ampel Surabaya Andri Arianto menuturkan, fenomena Via Vallen maupun Nella Kharisma yang begitu hangat diterima oleh masyarakat disebabkan oleh banyak faktor. Salah satunya masyarakat hari ini butuh hiburan yang murah. Apalagi genre pop dangdut yang dibawakannya lebih variatif.

“Jadi jangan heran kalau anak-anak juga begitu gandrung terhadap lagu-lagu Via Vallen. Apalagi saat ini belum ada lagu anak-anak yang semasif lagu yang dicover oleh Via Vallen,” ujar Andri, Sabtu (9/12/2017).

Dia melanjutkan, dalam sehari saja semua orang dari berbagai tingkatan umur, baik itu anak-anak maupun orang dewasa sangat mudah mendengarkan lagu Via Vallen diputar. Baik itu di rumah, warung kopi, jalanan, tempat layanan publik sampai di sekolah.

“Ini menjadi keniscayaan, jadi semua orang dengan cepat menghafal lirik-liriknya dan larut dalam lagunya,” ungkapnya.

Andri sendiri masih yakin lirik-lirik yang ditampilkan oleh Via Vallen hanya dihafal oleh anak-anak. Mereka (anak-anak) belum tahu secara detail makna dari lirik-lirik itu. “Jadi tak perlu khawatir akan merusak anak-anak,” jelasnya.

Musik Dangdut selama ini memang piawai menikahi genre musik lain, kemudian menjadikannya dalam sebuah aransemen yang nikmat di telinga. Tapi lirik NDX AKA itu, via Vallen dan Nella Kharisma memang begitu usil dengan lokalitas yang karib dengan masyarakat Jawa. Di sela-sela kalimat-kalimat sederhana, itu ada diksi seperti jebakan yang tetap membuat asik didendangkan.

Sebut saja di lagu Move On, yang liriknya seperti ini; Hidup cuman sekali. Jangan kau pikir pikir lagi. Dia yang telah pergi. Hianati janji-janji. Lebih baik move on aja. Pasangan disekuat baja. Daripada kau tersiksa. OTW melupakanya.

Ada dua diksi yang mewakili modernitas, yaitu move on dan otw. Penempatan move on mungkin tidak terasa janggal karena diksi kekinian itu sudah bisa diucap untuk mengungkapkan kondisi bangkit dari keterpurukan. Tapi sungguh begitu usil memilih diksi otw (on the way) untuk mewakili proses upaya melupakan cinta lama. Penggunaan otw sudah jamak digunakan untuk menjelaskan sebuah perjalanan.

Ada juga diksi usil lainnya di lagu berjudul Lungset. Seprene ku ngenteni. Kadhong tresno neng njero ati. Semono ugo atimu ngeliyo. Lungset batin iki. Kenapa kau tega menduakanku cintaku. Yang tulus dan setia mencintai dirimu. Lungset batin iki.

Peneliti Balai Bahasa Jawa Timur Mashuri menuturkan, fenomena Via Vallen dan Nella Kharisma dalam setahun terakhir ini sangat menarik. Lirik lagu yang dibawakan seperti mewakili kondisi masyarakat saat ini. Makanya mudah sekali untuk diterima oleh semua kelompok umur. Sehingga banyak anak kecil yang dengan mudah menghafalnya.

“Apalagi Jaran Goyang Nella Kharisma. Dari segi puitika yang disasar bukan kalangan atas. Berbeda dengan dangdut mapan ala Rhoma Irama dan biduan lawas lainnya,” ucapnya.

Untuk lirik, katanya, memang ada pencampuran antara bahasa biasa dengan bahasa yang sedang hits di media sosial (medsos) saat ini. Dari percampuran itu, terjadilah penciptaan ungkapan anyar yang dengan mudah diterima oleh masyarakat.

“Kondisi beginian merupakan fenomena posmo. Jadi proses campur aduk yang bisa dinikmati. Semua batas-batas bahasa diterabas. Sehingga identitasnya seperti mutan,” ungkapnya.

Mashuri juga menjelaskan, untuk bahasa Jawa yang dipakai di lirik lagu menjadi preseden yang juga asyik. Apalagi sentuhannya banyak terjadi di wilayah Jatim. Kalau di Banyuwangi sudah biasa memakai bahasa Osing.

Di Jatim sendiri, katanya, bahasa Jawanya memiliki penekanan dialek yang berbeda dengan Jateng dan Yogyakarta.

“Di Jatim sendiri punya banyak struktur bahasa. Makanya bahasa Jawa Arekan agak berbeda dengan Jawa Mataraman. Demikian juga Jawa Pantura yang juga agak berbeda dengan jawa Pandalungan,” jelasnya.

Dalam bahasa Jawa lirik itu ada pencampuran antara bahasa Jawa campuran keseharian dengan bahasa Jawa yang biasa dipakai campursari. Memang ada kesan nakal dan jahil, meski bicara tentang luka hati. “Saya kira spirit dangdut di situ. Meski terluka tubuh dan kepala, semuanya tetap goyang,” tandasnya.
(sms)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7105 seconds (0.1#10.140)