1.300 Warga Papua Disandera

Jum'at, 10 November 2017 - 08:02 WIB
1.300 Warga Papua Disandera
1.300 Warga Papua Disandera
A A A
MIMIKA - Sebanyak 1.300 warga dari Desa Kimbely dan Desa Banti, Kecamatan Tembagapura, Kabupaten Mimika, Papua, kini tak bisa bergerak leluasa karena di bawah ancaman kelompok kriminal bersenjata (KKB). Mereka tengah menyandera warga sejak empat hari lalu.

Kepolisian dan TNI kini tengah melakukan upaya negosiasi dengan pimpinan penyandera dan meminta bantuan sejumlah tokoh masyarakat untuk membebaskan warga. Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian menyebut, para penyandera ini merupakan kelompok yang lama ada di Papua. Bahkan saat dirinya menjabat kapolda Papua pada 2012 silam, kelompok ini sudah terdeteksi.

Anggota kelompok ini antara 20 hingga 25 orang. Adapun senjata yang mereka milik 5-10 pucuk saja. Untuk menghindari penangkapan, mereka menggunakan metode hit and run (beraksi dan berlari). Kelompok ini terbentuk karena sama-sama memiliki tingkat perekonomian yang rendah dan merasakan ketidakpuasan terhadap pemerintah. "Motifnya masalah ekonomi, ketidakpuasan. Kadang dibawa ke isu separatisme," kata Tito di Jakarta, kemarin.

Upaya negosiasi sudah mulai dilakukan dengan melibatkan tokoh gereja dan tokoh adat dan tokoh masyarakat. Dia berharap upaya dengan cara soft dan damai ini bisa berhasil. Namun bila cara ini tak mempan, maka, aparat terpaksa melakukan upaya penegakan hukum. Jarak antara Kampung Kimberly dengan Kampung Banti hanya sekitar 250 meter, sedangkan dengan Polsek Tembagapura sekitar 400 meter.

Menurut Tito, ‎kelompok bersenjata itu memanfaatkan para pendulang liar limbah Freeport untuk mencari keuntungan. Modus yang paling sering dilakukan adalah menjadikan para pendulang ini sebagai tameng. "Jadi yang dikatakan penyanderaan itu adalah para pendulang yang dijadikan tameng," ungkapnya.

‎Tito menegaskan, pihaknya bersama TNI akan memperkuat pengamanan dan melakukan pengejaran terhadap kelompok tersebut. Selain itu, polisi juga akan melakukan langkah persuasif guna menanggulangi permasalahan tersebut. "Pak Kapolda, Pak Pangdam, berkoordinasi untuk melakukan langkah-langkah penegakan hukum dengan cara-cara yang soft, negosiasi, juga dengan mengedepankan tokoh agama dan adat termasuk langkah-langkah penegakan hukum," tegasnya.

Kepala Polda Papua Irjen Boy Rafli Amar mengungkapkan, saat ini di Kampung Kimbely terdapat sekitar 300 warga non-Papua yang sebelumnya bekerja sebagai pendulang emas dan pedagang. Kemudian oleh kelompok bersenjata dilarang bepergian keluar kampung tersebut.
‎Di Desa Banti yang lokasinya berdekatan dengan Kampung Kimbely, lanjut dia, informasinya ada sekitar 1.000 penduduk asli setempat juga dilarang bepergian oleh para penyandera. "Diperkirakan jumlah seluruhnya mencapai 1.300 orang yang dilarang keluar dari daerah itu. Semua barang mereka juga dirampas kelompok itu,” terangnya.

Mantan Kapolda Banten itu menegaskan, saat ini Polri bersama unsur TNI berupaya melakukan langkah-langkah persuasif dan preventif agar masyarakat bisa terbebas dari intimidasi dan ancaman kelompok bersenjata. “Kalau untuk informasi disekap belum ada, hanya dilarang keluar daerah itu. Informasi sementara, kondisi masyarakat masih cukup baik. Saat ini tim satgas terpadu TNI-Polri masih melakukan upaya di lapangan,” ucapnya.

Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo mengatakan untuk mengatasi konflik ini, pihaknya akan membentuk tim gabungan bersama Polri. ”Karena itu bersenjata, karena itu indikasi OPM (organisasi Papua Merdeka)," kata Gatot saat di Mabes TNI, kemarin.

Menurut Gatot, tim gabungan TNI-Polri akan dibentuk untuk mengatasi hal itu. Masing-masingnya membagi tugas dalam menangani kasus itu. Dari TNI, kata dia, akan dibentuk oleh Pangdam bersama Kapolda di Papua. “Saya katakan semua dilakukan dengan teliti dan kami bekerja dengan pasti. Saya katakan, semua dilakukan dengan dan pasti. Jumlah personel saya tidak kasih tahu, kalau mereka tahu bagaimana dong?" tambahnya.

Menko Polhukam Wiranto juga telah mengintruksikan Kapolda Papua Irjen Pol Boy Rafli Amar dan Pangdam Cendrawasih Mayor Jenderal TNI George Elnadus Supit untuk mengambil langkah-langkah secara persuasif setelah adanya penyanderaan kelompok bersenjata.

Wiranto menegaskan, penyanderaan atau melokalisir warga di satu daerah yang dilakukan kelompok kriminal bersenjata itu tidak dapat diperbolehkan. Tindakan tersebut, kata Wiranto, telah melanggar hukum di Indonesia. "Dan negara hukum tidak bisa, kita tidak mentolerir tindakan seperti itu. Tapi juga itu jangan sampai tindakan-tindakan yang memancing situasi.”

Pemerintah, ujar WIranto, ingin supaya keadaan bisa aman damai. Untuk itu semua masalah diselesaikan dengan musyawarah mufakat, tidak ada serang menyerang dan tidak ada tuduh menuduh.

Wiranto menerangkan, pemerintah tidak akan mentolerir atau membiarkan para pelaku tersebut bila mengancam hingga menyandera warga lainnya. Meski demikian, dia masih enggan membeberkan langkah-langkah apa saja yang akan dilakukan pemerintah guna menghentikan perbuatan para pelaku dari kelompok kriminal bersenjata tersebut.

Sementara kalangan DPR mendesak agar Kapolri dan Panglima TNI turun langsung ke tanah Papua guna memperoleh informasi valid tentang kasus penyanderaan ini. Anggota Komisi I DPR dari Fraksi Partai Golkar, Dave Akbarshah Fikarno Laksono yang mengutuk keras tindakan kelompok bersenjata yang tidak dapat dibenarkan. "Tindakan tersebut tidak dapat ditoleransi karena merupakan tindak kekerasan yang mengekang hak asasi manusi (HAM) dan melanggar primsip-prinsip kemanusiaan secara universal," ucapnya.

Penyanderaan oleh kelompok bersenjata di Papua, sambungnya, akan menimbulkan instabilitas dan mengganggu keamanan di Papua. "Maka dari itu, TNI maupun Polri harus segera mengambil langkah antisipatif untuk menghindari meluasnya dampak penyanderaan warga Papua oleh kelompok bersenjata," tegasnya.

Dia juga meminta pemerintah Pusat dan pemerintah daerah untuk segera melaksanakan program percepatan pembangunan di Papua dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat Papua.

Direktur Perhimpunan Advokasi Kebijakan dan Hak Asasi Manusia (PAK HAM) Papua, Matius Murib mengharapkan pemerintah membuka ruang dialog dengan kelompok bersenjata. Dialog itu sangat penting untuk dilakukan guna mendengar aspirasi mereka yang mengangkat senjata di Papua.

Menurut Matius, pemerintah pernah melakukan dialog dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada 2001 silam, sehingga dialog dengan penyandera yang menyebut dirinya OPM pun perlu dilakukan. Selain itu kemungkinan adanya pemulihan relasi dengan menata kembali sistem kekuasaan negara, yaitu dengan merekonstruksi ulang kebijakan khusus bagi tanah Papua. Ini sesuai dengan amanat UU No. 21/2001 tentang Otonomi khusus Papua. (M Yamin/Mula Akmal/Ant)
(nfl)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.2025 seconds (0.1#10.140)