Kisah Soetardjo Kartohadikoesoemo Selama Menjadi Gubernur Pertama Jabar
A
A
A
Agustus 1945 atau setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia (RI), seorang pamong praja yang juga berperan dalam kemerdekaan RI, Soetardjo Kartohadikoesoemo, mendapat kepercayaan menjadi gubernur pertama Jawa Barat (Jabar). Dia menjabat posisi itu hingga Desember 1945.
Selama empat bulan menjadi gubernur Jabar, banyak peristiwa yang membekas di benak pria kelahiran Blora, Jawa Tengah, 22 Oktober 1890 itu. Berbagai peristiwa itu dia catat, lalu belakangan dijadikan buku oleh keluarganya. Judul bukunya, Soetardjo: Pembuat "Petisi Soetardjo" dan Perjuangannya.
Dalam buku itu dituliskan, pada awal menjabat gubernur Jabar, Soetardjo berkedudukan di Jakarta. Namun, suatu ketika, Residen Parahiangan Ardiwinangun melapor bahwa tentara Sekutu di Bandung setiap siang dan malam mengganggu. Merasa berat menangani hal itu, Ardiwinangun meminta pemerintah pusat supaya tempat kedudukan gubernur Jabar segera dipindahkan ke Bandung.
Permintaan tersebut dikabulkan pemerintah pusat. Putra pasangan Kiai Ngabehi Kartoredjo-Mas Ajoe Kartoredjo itu pun memboyong keluarganya ke Bandung. Di dekat tempat tinggalnya yang juga dijadikan kantor gubernur, terdapat garnisun tentara Belanda.
Untuk menjalankan tugasnya sebagai gubernur Jabar, Soetardjo menyusun staf dan personel kantor gubernur serta jawatan kepolisian. Semua berjalan normal. Kemajuan pun dicapai, apalagi setelah rumah kediaman dan kantor gubernur dipindah ke gedung yang tetap di Jalan Stasion.
Soetarjo mengisahkan, di samping kiri rumah gubernuran dijaga oleh satu peleton pemuda bersenjata. Sementara, di sebelah kanan dijaga empat gadis cantik bersenjatakan bren gun.
Setiap malam, pekarangan bagian belakang rumah gubernuran mendapat serangan serdadu Belanda dengan granat dari jauh. Untuk menghindari serangan-serangan tersebut, dengan mengucapkan banyak terima kasih Soetardjo meminta supaya penjagaan oleh pemuda dan pemudi itu ditiadakan saja. Menurut Soetardjo, jika suatu saat perlu bantuan, dia akan memintanya.
Tentara Belanda tak hanya menyerang dengan senjata. Suatu ketika, sehabis hujan lebat, Kali Cikapundung yang melintasi tengah Kota Bandung dibuka oleh serdadu Belanda. Terjadi banjir besar. Rumah dan penghuninya hanyut. Suara orang menjerit di tengah malam terdengar. Suasana begitu mengerikan.
Pagi harinya, begitu Soetardjo melakukan pemeriksaan, banyak orang hanyut. Dia juga melihat sisa-sisa rumah penduduk yang dirusak atau dibakar serdadu Belanda pada malam hari. Sebaliknya, gerilyawan kita pun membakar rumah yang ditempati Belanda.
Pemimpin gerilyawan dan pasukan bersenjata minta izin untuk melancarkan serangan umum. Tapi, Soetardjo tidak mengamininya. Menurutnya, banyak anak-anak muda di kabupaten yang belum siap. Mereka tengah dilatih angkatan bersenjata di kabupaten-kabupaten. Tapi, karena ada hasutan, akhirnya penyerangan itu terjadi. Bisa ditebak, serangan itu gagal total.
Beberapa hari kemudian, Soetardjo dipanggil panglima tentara pendudukan, seorang mayor jenderal berkebangsaan Inggris. Di dalam kamar, Soetardjo berhadapan dengan tiga perwira Inggris, dijaga empat serdadu bersenjata. Soetardjo dimintai pertanggungjawaban atas serangan bersenjata. Menanggapi hal itu, Soetardjo menjawab bahwa dia adalah seorang pegawai pemerintahan sipil yang tidak punya kekuasaan atas pasukan bersenjata.
Oleh mayjen Inggris itu, Soetardjo diminta agar seluruh warga Indonesia pindah dari sebelah utara jalan kereta api ke sebelah selatan. Soetardjo mengatakan hal itu tidak mungkin. Tapi, apa boleh buat. Keputusan dari pertemuan itu adalah seperti permintaan Sekutu. Namun, hal itu tidak dipenuhi rakyat. Bisa ditebak, setiap malam terjadilan pertempuran antara Sekutu dengan pasukan bersenjata Indonesia.
Karena serangan dari Sekutu semakin intensif, Soetardjo diberi batas waktu untuk berangkat ke luar kota oleh Kepala Angkatan Kepolisian Jawa Barat, RM Suparta. Dengan berat hati, berangkatlah Soetardjo dan keluarga dari Stasiun Bandung di bawah pengawalan, menuju ibu kota Tasikmalaya.
Setelah istirahat dua hari, Soetardjo kembali ke Bandung. Sebulan sekali dia menengok keluarganya di Tasikmalaya. Ada kejadian menarik saat dia dalam perjalanan di pedalaman. Mobilnya diberhentikan oleh seorang pemuda bersenjata. Dia dipersilakan turun dari mobil, lalu diminta masuk ke salah satu rumah yang ada di situ, kemudian masuk kamar.
Soetardjo diminta untuk membuka peci. Pemuda itu lalu minta izin melihat bagian atas kepalanya. Sambil tertawa, Soetardjo berkata,"Apakah kamu tahu, siapa saya ini?"
Pemuda itu menjawab,"Barangkali tahu. Kalau tidak keliru, Bapak adalah gubernur kita."
Soetardjo kembali bertanya."Apakah maksudnya kepala saya kamu periksa tadi?"
Pemuda itu menjawab,"Saya mendapat perintah dari atasan saya, supaya kita mengadakan pemeriksaan seperti itu pada setiap orang yang lewat di sini, tidak ada terkecuali. Waktu ini dikabarkan ada beberapa mata-mata NICA (Belanda) berkeliaran di pedalaman. Tanda pengenalnya mata-mata itu adalah bahwa di atas kepala ada satu tempat kecil yang rambutnya dicukur dan di atas kulit kepala itu ditulis letter N."
Soetardjo pun mengucapkan pujian atas tindakan yang dilakukan pemuda bersenjata itu, lalu meneruskan perjalanan.
Singkat cerita, setelah beragam peristiwa dialaminya, Soetardjo kedatangan tamu yakni Menteri Dalam Negeri Raden Aria Adipati Wiranatakoesoema V atau sering ditulis Aria Wiranatakusuma. Sang tamu memberitahu bahwa ada kemungkinan Soetardjo diajak Bung Karno ke Yogyakarta. Kala itu, pusat pemerintahan telah dipindah ke Yogyakarta. Soetardjo diminta Bung Karno menjadi penasihat pemerintah pusat.
Bung Hatta menenteramkan hati Soetardjo dengan mengatakan bahwa pekerjaan di pusat jauh lebih penting daripada di daerah. Sebagai pamong praja, Soetardjo akhirnya bersedia. Pada Desember 1945, posisinya sebagai gubernur Jabar digantikan oleh Datuk Djamin. (Baca Juga: Soetardjo Kartohadikoesoemo, Gubernur Pertama Jawa Barat
Sumber:
* Setiadi Kartohadikusumo, Soetardjo: Pembuat "Petisi Soetardjo" dan Perjuangannya. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1990.
Selama empat bulan menjadi gubernur Jabar, banyak peristiwa yang membekas di benak pria kelahiran Blora, Jawa Tengah, 22 Oktober 1890 itu. Berbagai peristiwa itu dia catat, lalu belakangan dijadikan buku oleh keluarganya. Judul bukunya, Soetardjo: Pembuat "Petisi Soetardjo" dan Perjuangannya.
Dalam buku itu dituliskan, pada awal menjabat gubernur Jabar, Soetardjo berkedudukan di Jakarta. Namun, suatu ketika, Residen Parahiangan Ardiwinangun melapor bahwa tentara Sekutu di Bandung setiap siang dan malam mengganggu. Merasa berat menangani hal itu, Ardiwinangun meminta pemerintah pusat supaya tempat kedudukan gubernur Jabar segera dipindahkan ke Bandung.
Permintaan tersebut dikabulkan pemerintah pusat. Putra pasangan Kiai Ngabehi Kartoredjo-Mas Ajoe Kartoredjo itu pun memboyong keluarganya ke Bandung. Di dekat tempat tinggalnya yang juga dijadikan kantor gubernur, terdapat garnisun tentara Belanda.
Untuk menjalankan tugasnya sebagai gubernur Jabar, Soetardjo menyusun staf dan personel kantor gubernur serta jawatan kepolisian. Semua berjalan normal. Kemajuan pun dicapai, apalagi setelah rumah kediaman dan kantor gubernur dipindah ke gedung yang tetap di Jalan Stasion.
Soetarjo mengisahkan, di samping kiri rumah gubernuran dijaga oleh satu peleton pemuda bersenjata. Sementara, di sebelah kanan dijaga empat gadis cantik bersenjatakan bren gun.
Setiap malam, pekarangan bagian belakang rumah gubernuran mendapat serangan serdadu Belanda dengan granat dari jauh. Untuk menghindari serangan-serangan tersebut, dengan mengucapkan banyak terima kasih Soetardjo meminta supaya penjagaan oleh pemuda dan pemudi itu ditiadakan saja. Menurut Soetardjo, jika suatu saat perlu bantuan, dia akan memintanya.
Tentara Belanda tak hanya menyerang dengan senjata. Suatu ketika, sehabis hujan lebat, Kali Cikapundung yang melintasi tengah Kota Bandung dibuka oleh serdadu Belanda. Terjadi banjir besar. Rumah dan penghuninya hanyut. Suara orang menjerit di tengah malam terdengar. Suasana begitu mengerikan.
Pagi harinya, begitu Soetardjo melakukan pemeriksaan, banyak orang hanyut. Dia juga melihat sisa-sisa rumah penduduk yang dirusak atau dibakar serdadu Belanda pada malam hari. Sebaliknya, gerilyawan kita pun membakar rumah yang ditempati Belanda.
Pemimpin gerilyawan dan pasukan bersenjata minta izin untuk melancarkan serangan umum. Tapi, Soetardjo tidak mengamininya. Menurutnya, banyak anak-anak muda di kabupaten yang belum siap. Mereka tengah dilatih angkatan bersenjata di kabupaten-kabupaten. Tapi, karena ada hasutan, akhirnya penyerangan itu terjadi. Bisa ditebak, serangan itu gagal total.
Beberapa hari kemudian, Soetardjo dipanggil panglima tentara pendudukan, seorang mayor jenderal berkebangsaan Inggris. Di dalam kamar, Soetardjo berhadapan dengan tiga perwira Inggris, dijaga empat serdadu bersenjata. Soetardjo dimintai pertanggungjawaban atas serangan bersenjata. Menanggapi hal itu, Soetardjo menjawab bahwa dia adalah seorang pegawai pemerintahan sipil yang tidak punya kekuasaan atas pasukan bersenjata.
Oleh mayjen Inggris itu, Soetardjo diminta agar seluruh warga Indonesia pindah dari sebelah utara jalan kereta api ke sebelah selatan. Soetardjo mengatakan hal itu tidak mungkin. Tapi, apa boleh buat. Keputusan dari pertemuan itu adalah seperti permintaan Sekutu. Namun, hal itu tidak dipenuhi rakyat. Bisa ditebak, setiap malam terjadilan pertempuran antara Sekutu dengan pasukan bersenjata Indonesia.
Karena serangan dari Sekutu semakin intensif, Soetardjo diberi batas waktu untuk berangkat ke luar kota oleh Kepala Angkatan Kepolisian Jawa Barat, RM Suparta. Dengan berat hati, berangkatlah Soetardjo dan keluarga dari Stasiun Bandung di bawah pengawalan, menuju ibu kota Tasikmalaya.
Setelah istirahat dua hari, Soetardjo kembali ke Bandung. Sebulan sekali dia menengok keluarganya di Tasikmalaya. Ada kejadian menarik saat dia dalam perjalanan di pedalaman. Mobilnya diberhentikan oleh seorang pemuda bersenjata. Dia dipersilakan turun dari mobil, lalu diminta masuk ke salah satu rumah yang ada di situ, kemudian masuk kamar.
Soetardjo diminta untuk membuka peci. Pemuda itu lalu minta izin melihat bagian atas kepalanya. Sambil tertawa, Soetardjo berkata,"Apakah kamu tahu, siapa saya ini?"
Pemuda itu menjawab,"Barangkali tahu. Kalau tidak keliru, Bapak adalah gubernur kita."
Soetardjo kembali bertanya."Apakah maksudnya kepala saya kamu periksa tadi?"
Pemuda itu menjawab,"Saya mendapat perintah dari atasan saya, supaya kita mengadakan pemeriksaan seperti itu pada setiap orang yang lewat di sini, tidak ada terkecuali. Waktu ini dikabarkan ada beberapa mata-mata NICA (Belanda) berkeliaran di pedalaman. Tanda pengenalnya mata-mata itu adalah bahwa di atas kepala ada satu tempat kecil yang rambutnya dicukur dan di atas kulit kepala itu ditulis letter N."
Soetardjo pun mengucapkan pujian atas tindakan yang dilakukan pemuda bersenjata itu, lalu meneruskan perjalanan.
Singkat cerita, setelah beragam peristiwa dialaminya, Soetardjo kedatangan tamu yakni Menteri Dalam Negeri Raden Aria Adipati Wiranatakoesoema V atau sering ditulis Aria Wiranatakusuma. Sang tamu memberitahu bahwa ada kemungkinan Soetardjo diajak Bung Karno ke Yogyakarta. Kala itu, pusat pemerintahan telah dipindah ke Yogyakarta. Soetardjo diminta Bung Karno menjadi penasihat pemerintah pusat.
Bung Hatta menenteramkan hati Soetardjo dengan mengatakan bahwa pekerjaan di pusat jauh lebih penting daripada di daerah. Sebagai pamong praja, Soetardjo akhirnya bersedia. Pada Desember 1945, posisinya sebagai gubernur Jabar digantikan oleh Datuk Djamin. (Baca Juga: Soetardjo Kartohadikoesoemo, Gubernur Pertama Jawa Barat
Sumber:
* Setiadi Kartohadikusumo, Soetardjo: Pembuat "Petisi Soetardjo" dan Perjuangannya. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1990.
(zik)