Sindiran PKI yang Membuat Brigjen Soemitro Marah Besar
A
A
A
Jenderal kanan yang tak mengerti revolusi. Kalimat tersebut membuat marah Brigadir Jenderal (Brigjen) Soemitro, yang kala itu menjabat Pangdam IX/Mulawarman.
Cerita berawal saat Brigjen Soemitro yang kala itu menjabat Ketua Dewan Perencana Angkatan Darat diminta oleh Menteri/Panglima Angkatan Darat Jenderal Ahmad Yani untuk menjadi Panglima Kodam IX/Mulawarman, menggantikan Brigjen Suharjo Kecik.
Pada Februari 1965, karena keputusan Jenderal Ahmad Yani tak bisa ditawar lagi, berangkatlah Soemitro ke Balikpapan. Sejak tiba di Balikpapan, Soemitro merasa ada yang aneh. Dia melihat ada spanduk bertuliskan 'Selamat Jalan Bapak Brigadir Jenderal Suharyo'. Lalu, di belakangnya ada spanduk lain bertuliskan 'Selamat Datang Saudara Brigadir Jenderal Soemitro'. Baginya, aneh ada dua kata berbeda, Suharjo disebut 'Bapak', sementara dirinya disebut 'Saudara'.
Saat awal menjabat panglima di Kalimantan Timur, Soemitro semakin merasakan ada suasana PKI di daerah itu. Menurut Soemitro, ketua PKI di Balikpapan menyebutnya sebagai seorang jenderal yang tak tahu revolusi dan jenderal kanan.
Dan, pada Peringatan Hari Kartini, dia kembali mendengar kalimat "Ada jenderal kanan yang tidak mengerti revolusi" yang terlontar dari seorang wanita yang membacakan sajak. Kala itu, Soemitro menahan amarahnya. Keesokan harinya, dia memanggil Panitia Peringatan Hari Kartini itu dan menanyakan identitas wanita pembaca sajak tersebut.
Setelah ditegur dan dimarahi Brigjen Soemitro, wanita yang belakangan diketahui sebagai anggota Gerwani itu pun meminta maaf. Soemitro pun memberi maaf. "Jangan terjadi untuk kedua kalinya," kata Soemitro dalam buku Soemitro (Mantan Pangkopkamtib): Dari Pangdam Mulawarman Sampai Pangkopkamtib.
Pada 1 Mei, saat Peringatan Hari Buruh, kata-kata yang tak berkenan di hati Soemitro itu kembali terdengar. Kali ini diucapkan oleh seorang pemuda yang juga ketua SOBSI (Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia) saat berpidato. "Jenderal kanan. Jenderal enggak ngerti revolusi," kalimat itu keluar dari ketua SOBSI yang menurut Soemitro berasal dari Jawa Timur.
Menurut Soemitro, meski ketua SOBSI itu tak menyebut nama, dia tahu kalimat itu ditujukan ke dirinya. Kemarahannya kian memuncak tatkala melihat sekelilingnya, ada tiga perwira yang tertawa-tawa melihat pemuda itu berpidato. Tapi, Soemitro lagi-lagi harus menahan emosinya.
Saat diberi kesempatan berpidato, pria kelahiran Probolinggo, 13 Januari 1927 ini tidak mengarahkan pandangan ke massa di depannya, tetapi ke pemuda yang tadi menyindir dirinya, yang saat itu duduk di belakangnya. Tongkat komando pun diarahkan ke pemuda itu. Ketika mengalihkan pandangannya ke arah massa, Soemitro menyaksikan massa tengah melongo. Rupanya, massa kaget dengan sikap keras Soemitro.
Selesai acara itu, Soemitro meminta kepala staf untuk mengumpulkan seluruh perwira di markas Kodam. Soemitro memerintahkan dua bawahannya yakni Kapten Mu'in dan Letkol Murtiono untuk menangkap semua pengurus PKI dan onderbouw-nya, dari tingkat provinsi hingga kabupaten.
Selanjutnya, Brigjen Soemitro bicara kepada para perwira. Soemitro menumpahkan kekesalannya kepada tiga perwira yang tertawa-tawa saat pemuda SOBSI mengolok-olok dirinya. Ketiganya lalu diberhentikan. Salah seorang di antara perwira itu, Letkol Sudjono, bahkan gemetaran hingga kencing di celana saat Soemitro menantangnya untuk mengeluarkan pistol.
Akhir cerita, seluruh pengurus PKI, Perbum, SOBSI, Gerwani, Pemuda Rakyat, dan eksponen lainnya ditangkap. Saat pergi ke Banjarmasin, Soemitro melaporkan perihal penangkapan pengurus PKI dan onderbouw-nya itu kepada Mayjen Panggabean. Mayjen Panggabean meminta Soemitro melapor ke Jenderal Ahmad Yani.
"Ya, saya dipaksa jadi panglima. Tapi, saya ndak mau dihina PKI. Kalau mau tarik saya, silakan," kata Soemitro kepada Jenderal Yani.
Meski Jenderal Yani menyarankan Soemitro melaporkan tindakannya menangkap para pengurus PKI di Kaltim kepada Bung Karno, akhirnya laporan itu tidak terlaksana. Soemitro merasa Bung Karno telah mengetahui apa yang terjadi di Balikpapan.
Sumber:
Soemitro, Ramadhan K.H.; Soemitro (Mantan Pangkopkamtib): Dari Pangdam Mulawarman Sampai Pangkopkamtib. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1994.
Cerita berawal saat Brigjen Soemitro yang kala itu menjabat Ketua Dewan Perencana Angkatan Darat diminta oleh Menteri/Panglima Angkatan Darat Jenderal Ahmad Yani untuk menjadi Panglima Kodam IX/Mulawarman, menggantikan Brigjen Suharjo Kecik.
Pada Februari 1965, karena keputusan Jenderal Ahmad Yani tak bisa ditawar lagi, berangkatlah Soemitro ke Balikpapan. Sejak tiba di Balikpapan, Soemitro merasa ada yang aneh. Dia melihat ada spanduk bertuliskan 'Selamat Jalan Bapak Brigadir Jenderal Suharyo'. Lalu, di belakangnya ada spanduk lain bertuliskan 'Selamat Datang Saudara Brigadir Jenderal Soemitro'. Baginya, aneh ada dua kata berbeda, Suharjo disebut 'Bapak', sementara dirinya disebut 'Saudara'.
Saat awal menjabat panglima di Kalimantan Timur, Soemitro semakin merasakan ada suasana PKI di daerah itu. Menurut Soemitro, ketua PKI di Balikpapan menyebutnya sebagai seorang jenderal yang tak tahu revolusi dan jenderal kanan.
Dan, pada Peringatan Hari Kartini, dia kembali mendengar kalimat "Ada jenderal kanan yang tidak mengerti revolusi" yang terlontar dari seorang wanita yang membacakan sajak. Kala itu, Soemitro menahan amarahnya. Keesokan harinya, dia memanggil Panitia Peringatan Hari Kartini itu dan menanyakan identitas wanita pembaca sajak tersebut.
Setelah ditegur dan dimarahi Brigjen Soemitro, wanita yang belakangan diketahui sebagai anggota Gerwani itu pun meminta maaf. Soemitro pun memberi maaf. "Jangan terjadi untuk kedua kalinya," kata Soemitro dalam buku Soemitro (Mantan Pangkopkamtib): Dari Pangdam Mulawarman Sampai Pangkopkamtib.
Pada 1 Mei, saat Peringatan Hari Buruh, kata-kata yang tak berkenan di hati Soemitro itu kembali terdengar. Kali ini diucapkan oleh seorang pemuda yang juga ketua SOBSI (Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia) saat berpidato. "Jenderal kanan. Jenderal enggak ngerti revolusi," kalimat itu keluar dari ketua SOBSI yang menurut Soemitro berasal dari Jawa Timur.
Menurut Soemitro, meski ketua SOBSI itu tak menyebut nama, dia tahu kalimat itu ditujukan ke dirinya. Kemarahannya kian memuncak tatkala melihat sekelilingnya, ada tiga perwira yang tertawa-tawa melihat pemuda itu berpidato. Tapi, Soemitro lagi-lagi harus menahan emosinya.
Saat diberi kesempatan berpidato, pria kelahiran Probolinggo, 13 Januari 1927 ini tidak mengarahkan pandangan ke massa di depannya, tetapi ke pemuda yang tadi menyindir dirinya, yang saat itu duduk di belakangnya. Tongkat komando pun diarahkan ke pemuda itu. Ketika mengalihkan pandangannya ke arah massa, Soemitro menyaksikan massa tengah melongo. Rupanya, massa kaget dengan sikap keras Soemitro.
Selesai acara itu, Soemitro meminta kepala staf untuk mengumpulkan seluruh perwira di markas Kodam. Soemitro memerintahkan dua bawahannya yakni Kapten Mu'in dan Letkol Murtiono untuk menangkap semua pengurus PKI dan onderbouw-nya, dari tingkat provinsi hingga kabupaten.
Selanjutnya, Brigjen Soemitro bicara kepada para perwira. Soemitro menumpahkan kekesalannya kepada tiga perwira yang tertawa-tawa saat pemuda SOBSI mengolok-olok dirinya. Ketiganya lalu diberhentikan. Salah seorang di antara perwira itu, Letkol Sudjono, bahkan gemetaran hingga kencing di celana saat Soemitro menantangnya untuk mengeluarkan pistol.
Akhir cerita, seluruh pengurus PKI, Perbum, SOBSI, Gerwani, Pemuda Rakyat, dan eksponen lainnya ditangkap. Saat pergi ke Banjarmasin, Soemitro melaporkan perihal penangkapan pengurus PKI dan onderbouw-nya itu kepada Mayjen Panggabean. Mayjen Panggabean meminta Soemitro melapor ke Jenderal Ahmad Yani.
"Ya, saya dipaksa jadi panglima. Tapi, saya ndak mau dihina PKI. Kalau mau tarik saya, silakan," kata Soemitro kepada Jenderal Yani.
Meski Jenderal Yani menyarankan Soemitro melaporkan tindakannya menangkap para pengurus PKI di Kaltim kepada Bung Karno, akhirnya laporan itu tidak terlaksana. Soemitro merasa Bung Karno telah mengetahui apa yang terjadi di Balikpapan.
Sumber:
Soemitro, Ramadhan K.H.; Soemitro (Mantan Pangkopkamtib): Dari Pangdam Mulawarman Sampai Pangkopkamtib. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1994.
(zik)