Pemprov Masih Cari Formulasi Pemberian TKD PNS DKI

Pemprov Masih Cari Formulasi Pemberian TKD PNS DKI
A
A
A
JAKARTA - Pemprov Masih Cari Formulasi Pemberian TKD PNS DKI
Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI masih mencari formula untuk menghitung besaran Tunjangan Kinerja Daerah (TKD) PNS DKI. 20% pemberian TKD terhadap kegiatan anggaran membuat kinerja PNS tidak maksimal serap anggaran.
Kepala Badan Kepeawaian Daerah (BKD), Agus Suradika mengatakan, kinerja PNS di masing-masing Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) sebenarnya sangat tinggi pasca-adanya TKD. Bahkan, kata dia, para PNS hampir sudah tidak ada lagi yang menyelernkan proyek kegiatan.
Namun, lanjut Agus, besaran TKD terhadap penyerapan angaran yang hanya sebesar 20% membuat PNS DKI tidak mengejar-ngejar kegiatan yang direncanakan melalui anggaran. Mereka memilih mengunakan pihak ketiga dalam menjalankan kegiatan.
"Kami masih mencari sistem terkait TKD dengan kegiatan anngaran masing-masing perangkat daerah. Apakah pakai randing serapan anggaran yang misalnya kegiatan A Rp20 miliar terserap seratus persen, dan keiatan B Rp20 triliun hanya terserap 10% tapi hasilnya sama Rp20 miliar, pendapatan TKD sama, atau menaikan persentasi penilaian TKD," kata Agus Suradika di Balai Kota DKI Jakarta, Rabu 5 Oktober 2017.
Agus menjelaskan, sebenarnya PNS di setiap SKPD memiliki kegiatan dan telah menjalankannya, namun outputnya jarang membuahkan hasil. Artinya, dalam menjalankan kegiatan, PNS membutuhkan dana dari Angaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Untuk output, kata Agus, banyak bermasalah dalam lelang. Misalnya saja harga pasaran kopiah Rp20.000, SKPD memasukan Rp20.000. Ternyata, ada perusahaan yang membandrol harga Rp18.000. Dalam Peraturan Presiden (Perpres), lelang harus mengedepankan harga terendah. Akibatnya, lelan batal dan tidak menghasilkan output.
"Kami evaluasi terus Badan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (BPBD). Kalau kami naikian persentasi penilaian TKD dari 20% menjadi 40%, efeknya bisa membuat PNS tambah takut mengerjakan keiatan yang berdampak terhambatnya pembangunan fisik," pungkasnya.
Ketua DPRD DKI Jakarta, Muhamad Taufik mengusulkan pemotongan TKD dilakukan lewat skema memasukkan beberapa variabel baru dan menaikkan variabel penghitungan baru. Antara lain berupa daftar urutan kepangkatan (DUK), eselon, golongan, masa kerja, tantangan kerja, dan serapan anggaran.
"Serapan anggaran merupakan variabel lama tapi dinilai terlalu kecil dan perlu dinaikkan agar PNS makin terlecut," ungkapnya.
Politikus Partai Gerindra ini menilai PNS DKI tidak punya nyali untuk mengantarkan kegiatan tertentu yang bersumber dari APBD. Padahal efek serapan anggaran langsung ke masyarakat. Apabila serapan tinggi, warga Jakarta yang merasakan dampaknya lantaran anggaran itu sumbernya dari pajak warga.
Hampir lima tahun berakhir kepemimpinan Gubernur Joko Widodo (Jokowi)- Basuki Tjahaja Purnama (ahok) yang diteruskan Djarot Saiful Hidayat, serapan anggaran selalu tidak maksimal. Namun, TKD yan besaranya sekitar 29% dari APBD dan bukan belanja langsung selalu terserap habis.
"Para PNS hanya mau membawa pulang TKD dalam jumlah yang banyak tanpa peduli serapan anggaran lantaran penilaiannya hanya 20 persen. Jadi tidak ada alasan untuk menaikan persentasi penilaian TKD," tegasnya.
Pengamat Perkotaan Universitas Trisakti, Nirwono Joga sudah memprediksi penyerapan anggaran DKI pada 2017 di bawah 80%. Menurutnya, hal ini akibat banyaknya kebijakan yang tidak dibarengi dengan kinerja kondusif para SKPD. Besaran TKD yang hanya 20% dari serapan anggaran menjadikan celah SKPD enggan melaksanakan kegiatan.
Nirwono menyebutkan sedikitnya ada tiga yang harus dibenahi DKI agar penyerapan anggaran semakin baik ditahun berikutnya. Pertama, Gubernur melalui sekertaris Daerah harus menjembatani ketidaksiapan SKPD menghadapi e-budgeting. Kebutuhan SKPD, dan yang tercantum dalam e-Budgeting tidak sama. Artinya tidak ada kordinasi yang matang.
Kedua, Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) sengaja menunda dan hingga akhirnya batal. Menurutnya, PPKmerasa dengan kondisi sekrang dia tidak dapat dukungan dari pimpinan. Banyak dari mereka yang mengeluhkan apabila dilakukan, mereka akan terkena ketentuan hukum. Ketiga, tidak adanya upanay memperbaiki komunikasi antara Gubernur dengan DPRD.
"Ini harus menjadi intropeksi. Pembangunan lebih banyak CSR. Ini bukan prestasi. Pembanunan publik harus menggunakan belanja langsung agar berkelanjutan," ungkapnya.
Seperti diketahui, gaji PNS DKI Jakarta naik cukup signifikan pada 2015 dengan alokasi angaran sekitar Rp19 Triliun. PNS DKI Jakarta mendapatkan kenaikan gaji antara Rp5-40 juta. Berdasarkan data BKD, besaran take home pay pejabat struktural seperti lurah yakni Rp33.730.000, naik Rp20 juta dari tahun sebelumnya yang hanya Rp13 juta.
Kemudian camat Rp44 juta, naik sekitar Rp20 juta dari tahun lalu, dan wali kota mendapat gaji Rp75,6 juta. Untuk kepala dinas Rp75,6 juta, kepala badan Rp78,7 juta, dan kepala biro Rp70,4 juta. Gaji kepala biro, kepala dinas, dan kepala badan ini naik Rp30-40 juta dari tahun lalu. Sementara gaji pejabat eselon I setingkat sekretaris daerah dan deputi gubernur maksimal Rp96 juta atau meningkat Rp5 juta dari tahun sebelumnya. Jabatan operasional Rp13,6 juta meningkat sekitar Rp8 juta.
Jabatan administrasi Rp17,8 juta meningkat Rp10 juta dan jabatan teknis Rp22,6 juta atau meningkat Rp15 juta dari tahun lalu. Pendapatan PNS DKI dibagi dalam lima komponen yakni gaji pokok, tunjangan jabatan, tunjangan statis yang diambil dari kehadiran, tunjangan kinerja dinamis (TKD), dan biaya transportasi.
Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI masih mencari formula untuk menghitung besaran Tunjangan Kinerja Daerah (TKD) PNS DKI. 20% pemberian TKD terhadap kegiatan anggaran membuat kinerja PNS tidak maksimal serap anggaran.
Kepala Badan Kepeawaian Daerah (BKD), Agus Suradika mengatakan, kinerja PNS di masing-masing Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) sebenarnya sangat tinggi pasca-adanya TKD. Bahkan, kata dia, para PNS hampir sudah tidak ada lagi yang menyelernkan proyek kegiatan.
Namun, lanjut Agus, besaran TKD terhadap penyerapan angaran yang hanya sebesar 20% membuat PNS DKI tidak mengejar-ngejar kegiatan yang direncanakan melalui anggaran. Mereka memilih mengunakan pihak ketiga dalam menjalankan kegiatan.
"Kami masih mencari sistem terkait TKD dengan kegiatan anngaran masing-masing perangkat daerah. Apakah pakai randing serapan anggaran yang misalnya kegiatan A Rp20 miliar terserap seratus persen, dan keiatan B Rp20 triliun hanya terserap 10% tapi hasilnya sama Rp20 miliar, pendapatan TKD sama, atau menaikan persentasi penilaian TKD," kata Agus Suradika di Balai Kota DKI Jakarta, Rabu 5 Oktober 2017.
Agus menjelaskan, sebenarnya PNS di setiap SKPD memiliki kegiatan dan telah menjalankannya, namun outputnya jarang membuahkan hasil. Artinya, dalam menjalankan kegiatan, PNS membutuhkan dana dari Angaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Untuk output, kata Agus, banyak bermasalah dalam lelang. Misalnya saja harga pasaran kopiah Rp20.000, SKPD memasukan Rp20.000. Ternyata, ada perusahaan yang membandrol harga Rp18.000. Dalam Peraturan Presiden (Perpres), lelang harus mengedepankan harga terendah. Akibatnya, lelan batal dan tidak menghasilkan output.
"Kami evaluasi terus Badan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (BPBD). Kalau kami naikian persentasi penilaian TKD dari 20% menjadi 40%, efeknya bisa membuat PNS tambah takut mengerjakan keiatan yang berdampak terhambatnya pembangunan fisik," pungkasnya.
Ketua DPRD DKI Jakarta, Muhamad Taufik mengusulkan pemotongan TKD dilakukan lewat skema memasukkan beberapa variabel baru dan menaikkan variabel penghitungan baru. Antara lain berupa daftar urutan kepangkatan (DUK), eselon, golongan, masa kerja, tantangan kerja, dan serapan anggaran.
"Serapan anggaran merupakan variabel lama tapi dinilai terlalu kecil dan perlu dinaikkan agar PNS makin terlecut," ungkapnya.
Politikus Partai Gerindra ini menilai PNS DKI tidak punya nyali untuk mengantarkan kegiatan tertentu yang bersumber dari APBD. Padahal efek serapan anggaran langsung ke masyarakat. Apabila serapan tinggi, warga Jakarta yang merasakan dampaknya lantaran anggaran itu sumbernya dari pajak warga.
Hampir lima tahun berakhir kepemimpinan Gubernur Joko Widodo (Jokowi)- Basuki Tjahaja Purnama (ahok) yang diteruskan Djarot Saiful Hidayat, serapan anggaran selalu tidak maksimal. Namun, TKD yan besaranya sekitar 29% dari APBD dan bukan belanja langsung selalu terserap habis.
"Para PNS hanya mau membawa pulang TKD dalam jumlah yang banyak tanpa peduli serapan anggaran lantaran penilaiannya hanya 20 persen. Jadi tidak ada alasan untuk menaikan persentasi penilaian TKD," tegasnya.
Pengamat Perkotaan Universitas Trisakti, Nirwono Joga sudah memprediksi penyerapan anggaran DKI pada 2017 di bawah 80%. Menurutnya, hal ini akibat banyaknya kebijakan yang tidak dibarengi dengan kinerja kondusif para SKPD. Besaran TKD yang hanya 20% dari serapan anggaran menjadikan celah SKPD enggan melaksanakan kegiatan.
Nirwono menyebutkan sedikitnya ada tiga yang harus dibenahi DKI agar penyerapan anggaran semakin baik ditahun berikutnya. Pertama, Gubernur melalui sekertaris Daerah harus menjembatani ketidaksiapan SKPD menghadapi e-budgeting. Kebutuhan SKPD, dan yang tercantum dalam e-Budgeting tidak sama. Artinya tidak ada kordinasi yang matang.
Kedua, Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) sengaja menunda dan hingga akhirnya batal. Menurutnya, PPKmerasa dengan kondisi sekrang dia tidak dapat dukungan dari pimpinan. Banyak dari mereka yang mengeluhkan apabila dilakukan, mereka akan terkena ketentuan hukum. Ketiga, tidak adanya upanay memperbaiki komunikasi antara Gubernur dengan DPRD.
"Ini harus menjadi intropeksi. Pembangunan lebih banyak CSR. Ini bukan prestasi. Pembanunan publik harus menggunakan belanja langsung agar berkelanjutan," ungkapnya.
Seperti diketahui, gaji PNS DKI Jakarta naik cukup signifikan pada 2015 dengan alokasi angaran sekitar Rp19 Triliun. PNS DKI Jakarta mendapatkan kenaikan gaji antara Rp5-40 juta. Berdasarkan data BKD, besaran take home pay pejabat struktural seperti lurah yakni Rp33.730.000, naik Rp20 juta dari tahun sebelumnya yang hanya Rp13 juta.
Kemudian camat Rp44 juta, naik sekitar Rp20 juta dari tahun lalu, dan wali kota mendapat gaji Rp75,6 juta. Untuk kepala dinas Rp75,6 juta, kepala badan Rp78,7 juta, dan kepala biro Rp70,4 juta. Gaji kepala biro, kepala dinas, dan kepala badan ini naik Rp30-40 juta dari tahun lalu. Sementara gaji pejabat eselon I setingkat sekretaris daerah dan deputi gubernur maksimal Rp96 juta atau meningkat Rp5 juta dari tahun sebelumnya. Jabatan operasional Rp13,6 juta meningkat sekitar Rp8 juta.
Jabatan administrasi Rp17,8 juta meningkat Rp10 juta dan jabatan teknis Rp22,6 juta atau meningkat Rp15 juta dari tahun lalu. Pendapatan PNS DKI dibagi dalam lima komponen yakni gaji pokok, tunjangan jabatan, tunjangan statis yang diambil dari kehadiran, tunjangan kinerja dinamis (TKD), dan biaya transportasi.
(mhd)