Ujian Doktor, Pakar Komunikasi Ini Diuji Soekarwo dan Effendi Gazali
A
A
A
SURABAYA - Sidang terbuka doktor yang dijalani pakar komunikasi sekaligus Ketua Pusat Informasi dan Humas Universitas Airlanggar (Unair) Suko Widodo di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unair, Kamis 7 September 2017, diwarnai banyak canda meskipun tetap serius. Suko diuji oleh Gubernur Jawa Timur (Jatim) Soekarwo dan pakar politik Universitas Indonesia (UI) Effendi Gazali.
Suko yang awalnya tegang, perlahan rileks saat Soekarwo mendapat giliran bertanya. “Pak Suko ini ternyata bisa grogi juga saat seperti ini. Saya lihat dia ini manusia biasa, terlihat grogi dan tegang. Tidak seperti biasanya,” kata Soekarwo sebelum melontarkan pertanyaan di ruang Adi Sukadana tersebut.
Kehadiran Soekarwo tampaknya bisa mencairkan suasana. “Saya mau menanyakan sesuai Undang-Undang Nomor 32 tentang Pemerintah Daerah, TVRI tidak boleh komersil. Tapi mereka tidak bisa siaran kalau tidak ada iklan. Akhirnya mereka mengambil iklan secara diam-diam. Melanggar secara diam-diam. Lalu solusi apa yang sebaiknya diterapkan,” tanya Soekarwo.
Menanggapi pertanyaan tersebut, Suko Widodo mengusulkan perlunya perubahan undang-undang dengan menggunakan pendekatan partisipatoris. Sebab, undang-undang lama mengadopsi regulasi luar negeri. Selain itu, pemerintah harus hadir untuk penyiaran publik dengan mendonasikan dananya dalam jumlah besar, seperti yang dilakukan di negara Jepang dan Inggris. “Melalui langkah itu, televisi atau penyiaran publik akan eksis di era liberal ini,” ujarnya.
Suasana semakin mencair ketika Effendi Gazali diberi kesempatan menguji dan menyebut baru kali ini bisa serius dengan Suko. Sebelum bertanya, dia sempat menyinggung kenangannya bersama Suko Widodo. “Sebelas tahun lalu Pak Suko mendampingi saya ketika saya ujian doktor. Tapi kok lama sekali waktunya ya, 11 tahun,” ungkap Effendi.
Effendi menanyakan terkait disertasi Suko yang berjudul Kolonisasi Ruang Publik Dalam Penyiaran Publik di Indonesia, Studi Kasus Penyiaran Publik Lokal Jawa Timur (TVRI Jatim dan ATV Batu). “Ruang publik sudah digantikan media sosial yang tanpa batas ruang dan waktu. Apakah masih penting mempertahankan ruang publik itu?” tanya Effendi.
Suko pun menjawab diselingi candaan. “Memang saat ini peredaran telepon seluler (ponsel) di Indonesia sudah mencapai 112 persen. Kalau penduduk Indonesia 250 juta berarti ponsel yang beredar mencapai 310 juta. Satu dosen Unair apalagi dekan punya tiga ponsel, satu buat kantor, satu buat keluarga, dan satu lagi buat keluarga yang lain lagi,” jelas Suko, yang disambut tepuk tangan para undangan, penguji dan penyanggah.
Sidang terbuka ini juga dipenuhi rasa haru ketika Suko yang asli Madiun ini, teringat temannya seniman Prio Aljabbar. Almarhum sepertinya ikut mempengaruhi Suko untuk bisa meraih gelar yang tinggi di bidang akademik agar bisa pro pada rakyat. Bahkan saat menceritakan kisah tentang Prio, Suko tidak kuasa menahan air matanya.
Ujian terbuka tersebut berlangsung sekitar dua jam, mulai pukul 10.00 hingga 12.00 WIB. Semua pertanyaan berhasil dijawab dengan baik oleh Suko. Setelah dinyatakan lulus dengan predikat sangat memuaskan, ilmu Suko Widodo diharapkan bisa dikembangkan di kalangan akademisi dan dunia pendidikan di Tanah Air.
Suko yang awalnya tegang, perlahan rileks saat Soekarwo mendapat giliran bertanya. “Pak Suko ini ternyata bisa grogi juga saat seperti ini. Saya lihat dia ini manusia biasa, terlihat grogi dan tegang. Tidak seperti biasanya,” kata Soekarwo sebelum melontarkan pertanyaan di ruang Adi Sukadana tersebut.
Kehadiran Soekarwo tampaknya bisa mencairkan suasana. “Saya mau menanyakan sesuai Undang-Undang Nomor 32 tentang Pemerintah Daerah, TVRI tidak boleh komersil. Tapi mereka tidak bisa siaran kalau tidak ada iklan. Akhirnya mereka mengambil iklan secara diam-diam. Melanggar secara diam-diam. Lalu solusi apa yang sebaiknya diterapkan,” tanya Soekarwo.
Menanggapi pertanyaan tersebut, Suko Widodo mengusulkan perlunya perubahan undang-undang dengan menggunakan pendekatan partisipatoris. Sebab, undang-undang lama mengadopsi regulasi luar negeri. Selain itu, pemerintah harus hadir untuk penyiaran publik dengan mendonasikan dananya dalam jumlah besar, seperti yang dilakukan di negara Jepang dan Inggris. “Melalui langkah itu, televisi atau penyiaran publik akan eksis di era liberal ini,” ujarnya.
Suasana semakin mencair ketika Effendi Gazali diberi kesempatan menguji dan menyebut baru kali ini bisa serius dengan Suko. Sebelum bertanya, dia sempat menyinggung kenangannya bersama Suko Widodo. “Sebelas tahun lalu Pak Suko mendampingi saya ketika saya ujian doktor. Tapi kok lama sekali waktunya ya, 11 tahun,” ungkap Effendi.
Effendi menanyakan terkait disertasi Suko yang berjudul Kolonisasi Ruang Publik Dalam Penyiaran Publik di Indonesia, Studi Kasus Penyiaran Publik Lokal Jawa Timur (TVRI Jatim dan ATV Batu). “Ruang publik sudah digantikan media sosial yang tanpa batas ruang dan waktu. Apakah masih penting mempertahankan ruang publik itu?” tanya Effendi.
Suko pun menjawab diselingi candaan. “Memang saat ini peredaran telepon seluler (ponsel) di Indonesia sudah mencapai 112 persen. Kalau penduduk Indonesia 250 juta berarti ponsel yang beredar mencapai 310 juta. Satu dosen Unair apalagi dekan punya tiga ponsel, satu buat kantor, satu buat keluarga, dan satu lagi buat keluarga yang lain lagi,” jelas Suko, yang disambut tepuk tangan para undangan, penguji dan penyanggah.
Sidang terbuka ini juga dipenuhi rasa haru ketika Suko yang asli Madiun ini, teringat temannya seniman Prio Aljabbar. Almarhum sepertinya ikut mempengaruhi Suko untuk bisa meraih gelar yang tinggi di bidang akademik agar bisa pro pada rakyat. Bahkan saat menceritakan kisah tentang Prio, Suko tidak kuasa menahan air matanya.
Ujian terbuka tersebut berlangsung sekitar dua jam, mulai pukul 10.00 hingga 12.00 WIB. Semua pertanyaan berhasil dijawab dengan baik oleh Suko. Setelah dinyatakan lulus dengan predikat sangat memuaskan, ilmu Suko Widodo diharapkan bisa dikembangkan di kalangan akademisi dan dunia pendidikan di Tanah Air.
(mcm)