Jejak Tjong Bersaudara di Medan, Candu, dan Kisah Kedermawanan

Sabtu, 02 September 2017 - 05:00 WIB
Jejak Tjong Bersaudara di Medan, Candu, dan Kisah Kedermawanan
Jejak Tjong Bersaudara di Medan, Candu, dan Kisah Kedermawanan
A A A
Sejarah perkembangan Kota Medan, tidak bisa dilepaskan dari peran dua bersaudara Tjong A Fie dan Tjong Yong Hian. Wajah ibu kota Provinsi Sumatera Utara (Sumut) sekarang akan berbeda jika keduanya tidak menginjakkan kaki ke Kota Medan.

Banyak peninggalan Tjong bersaudara yang hingga kini dapat dilihat. Salah satunya, Rumah Tjong A Fie yang masih berdiri megah di Kota Medan. Sejarah kehidupan kedua taipan yang dikenal dermawan semasa hidupnya ini pun masih selalu menarik untuk diulas.

Tjong bersaudara yang berbeda usia tujuh tahun, berasal dari Sungkow, Distrik Mei Xian, Guangdong, Tiongkok Selatan. Tjong Yong Hian lahir pada tahun 1850 sementara adiknya Tjong A Fie tahun 1857. Mereka sama-sama tidak melanjutkan sekolah dan membantu menjaga toko kelontong milik ayah mereka.

Saat berusia 17 tahun atau pada tahun 1867, Tjong Yong Hian memutuskan meninggalkan kampung halamannya untuk mengubah hidup menjadi lebih baik. Dia merantau ke Batavia. Dari Pelabuhan Shantou, dia berlayar mengarungi Laut China Selatan. Setelah 21 hari di laut, dia akhirnya tiba di Batavia.

Ia hanya tiga tahun di Batavia dan pindah ke Kota Medan yang saat itu masih disebut Deli Tua. Dia berniat memulai usaha sendiri dengan tabungannya. Niatnya itu terwujud pada tahun 1870. Benny G Setiono dalam Tionghoa dalam Pusaran Politik menyebutkan, Tjong Yong Hian memulai usahanya dengan membuka toko untuk memasok berbagai kebutuhan perkebunan tembakau dan kelapa sawit milik orang-orang Belanda. Dia juga memasok buruh perkebunan dari daratan Tiongkok. Dari sejumlah usahanya, dia paling banyak mendapat keuntungan dari perdagangan candu dan rumah judi. Sebab, saat itu, buruh perkebunan sangat bergantung pada candu. Jika tidak memperoleh candu, mereka kehilangan semangat bekerja.

Namun, kata Benny G Setiono, pemilik perkebunan lah yang sengaja membuat mereka bergantung pada candu dan perjudian. Dengan begitu buruh akan menghabiskan penghasilannya. Saat kontrak kerja mereka selama tiga tahun berakhir, alhasil buruh tidak bisa kembali ke daerah asalnya. Situasi ini dimanfaatkan para pemilik perkebunan untuk tetap mempekerjakan mereka. Tidak perlu lagi mengeluarkan biaya mendatangkan buruh baru.

Sepertinya kesuksesan Tjong Yong Hian di Medan menjadi inspirasi bagi adiknya. Lima tahun kemudian, Tjong A Fie yang saat itu berusia 18 tahun menyusulnya ke Sumatra. Ia hanya berbekal uang 10 perak Manchu yang dia ikatkan ke ikat pinggangnya. Berbulan-bulan dalam pelayaran, tibalah Tjong A Fie di Labuhan Deli, kota kecil di pantai timur Sumatera pada tahun 1880.

Meskipun kakaknya Tjong Yong Hian sudah berhasil dan dikenal sebagai pemuka masyarakat Tionghoa, Tjong A Fie Tidak mau tergantung padanya. Dia bekerja di toko kelontong milik Tjong Sui Fo. Mungkin karena terbiasa menjaga toko milik ayahnya, dia tidak menemukan kesulitan. Dia melayani pembeli, memegang bagian pembukuan, menagih utang, dan pekerjaan serabutan lain. Selama bekerja pada Tjong Sui Fo, dia juga ditugaskan mengantar barang ke penjara sehingga sering mengobrol dengan para narapidana.

Belakangan, Tjong A Fie semakin dikenal karena pintar bergaul. Di Labuhan Deli, dia dipercaya menjadi pengawas kuli kontrak dari Tionghoa. Ia juga sering diminta menjadi penengah ketika ada perselisihan antara orang-orang Tionghoa maupun dengan pemerintah Hindia Belanda. Saat itu, sering terjadi kerusuhan di kalangan buruh perkebunan Belanda karena latar belakang suku dan etnis. Hal ini membuat Belanda kerepotan.

Pemerintah Hindia Belanda lalu mengangkatnya menjadi letnan Tionghoa. Dia diminta pindah ke Kota Medan sehingga harus berhenti bekerja dari toko Tjong Sui Fo. Dalam waktu singkat, Tjong A Fie diangkat menjadi kapten pada tahun 1895. Di Medan, Tjong A Fie bergaul sangat luas. Ia dikenal pedagang yang luwes dan sangat dermawan. Dia membina hubungan baik dengan Sultan Deli, Makmoen Al Rasyid Perkasa Alamsyah dan Tuanku Raja Moeda. Tjong A Fie bahkan menjadi orang kepercayaan Sultan Deli untuk mewakilinya dalam berbagai urusan bisnis.

Reputasinya yang baik membuat namanya kian tersohor. Selain menjadi kepercayaan Sultan, Tjong A Fie menjalin hubungan dengan pedagang lain, termasuk dari Eropa dan pejabat pemerintahan setempat. Hubungan baik dengan Sultan Deli menjadi awal kesuksesan Tjong A Fie dalam bisnis. Dia mendapat konsesi penyediaan atap nipah dari sang Sultan untuk pembuatan bangsal-bangsal di perkebunan tembakau.

Dalam perjalanannya, Tjong A Fie juga berhasil memonopoli perdagangan candu untuk kawasan Deli. Keuntungannya digunakan untuk pengembangan usaha. Ia lalu membeli perkebunan karet yang akhirnya memberi banyak keuntungan. Tjong A Fie menjadi orang Tionghoa pertama yang mempunyai perkebunan tembakau. Di samping perkebunan karetnya, dia membuka perkebunan teh. Dia juga berinvestasi pada perkebunan kelapa sawit yang sangat luas. Bahkan, bisnisnya berkembang hingga ke sektor pertambangan di Sumatra Barat.

Bisnis kakaknya Tjong Yong Hian pun semakin berkembang. Mereka lalu bekerja sama dengan konsul Tiongkok di Singapura saat itu, Tio Tiauw, mendirikan perusahaan kereta api di Tiongkok Selatan. Pada 1907, Tjong A Fie berkongsi dengan pengusaha asal Penang mendirikan Bank Deli. Sementara di Batavia pada 1916, Tjong A Fie bersama sejumlah temannya mendirikan Bank Batavia. Saat itu, ia menguasai sepertiga sahamnya. Setelah kakaknya meninggal pada tahun 1911, Tjong A Fie menggantikan posisi kakaknya sebagai mayor.

Benny G Setiono dalam Tionghoa dalam Pusaran Politik juga menyebutkan, Tjong A Fie sepanjang hidupnya banyak berbuat sosial dan senang menolong orang susah serta miskin. Mungkin itu karena keyakinannya, harta kekayaan yang berasal dari “uang panas”, yaitu dari keuntungan monopoli penjualan candu, maka sebagian harus dikembalikan ke masyarakat. Ia membangun sarana-sarana untuk kepentingan umum dan menolong orang miskin tanpa membedakan warna kulit, suku, dan agamanya.

Tjong A Fie membangun sarana ibadah kelenteng, tempat pemakaman di Pulo Brayan, dan mendirikan perkumpulan kematian untuk merawat kuburan. Ia juga membangun rumah sakit Tjie On Tjie Jan dan rumah sakit khusus untuk merawat pasien berpenyakit lepra di Pulau Sicanang. Dia membangun Masjid Raya Medan dengan menyumbang sepertiga dari seluruh biaya pembangunan. Tjong A Fie juga membiayai seluruh biaya pembangunan Masjid Gang Bengkok di dekat kediamannya di Jalan Kesawan, yang kini menjadi Jalan Jenderal A Yani.

Di Kota Medan, bahkan hampir di seluruh Sumatra Timur saat itu, Tjong A Fie sangat terkenal karena kedermawanannya. Banyak sekolah mendapat bantuannya, baik sekolah Kristen, Islam, maupun Tionghoa. Ia menyediakan tanah untuk pembangunan sekolah Methodis di Medan. Memberi sumbangan pada berbagai kelenteng, masjid, gereja, dan kuil-kuil Hindu. Dia juga menyumbang jam besar di puncak gedung Balai Kota lama.

Sebagai pemimpin masyarakat Tionghoa, Tjong A Fie sangat disegani dan dihormati karena piawai memadukan kekuatan ekonomi dan politik. Kerajaan bisnisnya meliputi perkebunan, pabrik minyak kelapa sawit, pabrik gula, bank, dan perusahaan kereta api. Di masa itu, lebih dari 10.000 orang bekerja di berbagai perusahaannya. Atas rekomendasi Sultan Deli, Tjong A Fie diangkat menjadi anggota dewan kota atau saat itu disebut sebagai gemeenteraad dan dewan kebudayaan atau culturraad. Tak hanya itu, dia juga diangkat sebagai penasihat oleh pemerintah Hindia Belanda untuk urusan Tionghoa.

Hal yang luar biasa dari Tjong A Fie, meskipun memiliki banyak perkebunan, ia menentang poenale sanctie. Ini peraturan yang melindungi kepentingan para pemilik perkebunan. Jika buruh melarikan diri sebelum masa kontrak kerjanya habis, maka buruh akan dikejar dan ditangkap. Kemudian, dikembalikan atau dihukum penjara. Menurut Tjong A Fie, peraturan ini pada hakikatnya membuat nasib para buruh atau kuli kontrak tidak jauh berbeda dengan budak belian. Karena sikapnya itu, Tjong A Fie pernah dituduh para pemilik perkebunan lainnya sebagai pengkhianat.

Di Labuhan Deli, Tjong A Fie menikah dengan Nona Chew dari Penang dan mempunyai tiga anak. Setelah istri keduanya itu meninggal, dia menikah dengan Lim Kui Yap yang lahir pada tahun 1880 di Binjai. Mertuanya kepala mandor perkebunan tembakau di Sungai Mencirim yang mengepalai ratusan kuli kontrak. Dari istri ketiganya, dia memperoleh tujuh anak. Anak pertamanya Tjong Foek Yin atau Queeny Chang kelak menulis autobiografi berjudul Memories of a Nonya.

Saat Tjong A Fie meninggal pada 8 Februari 1921 karena pendarahan otak, seluruh Kota Medan pun gempar dan berkabung. Ribuan pelayat datang dari berbagai daerah di Sumatera Timur, Aceh, Padang, Jawa, Penang, dan Singapura. Hal yang sama juga terlihat saat kakaknya Tjong Yong Hian meninggal. Kedermawanan mereka tanpa membeda-bedakan bangsa, ras, agama, dan asal-usul, membuat Tjong bersaudara menjadi legenda, terutama bagi penduduk Kota Medan dan sekitarnya.

Bahkan empat bulan sebelum meninggal, Tjong A Fie sudah membuat surat wasiat. Isinya mewariskan seluruh kekayaannya kepada Yayasan Toen Moek Tong yang harus didirikan di Medan dan Sungkow, kampung halamannya, saat ia meninggal dunia. Yayasan di Medan diminta melakukan lima hal. Tiga hal di antaranya, memberikan bantuan keuangan pada kaum muda berbakat dan berkelakuan baik serta ingin menyelesaikan pendidikannya, tanpa membedakan ras, keturunan dan kebangsaannya. Kemudian, membantu yang tidak mampu bekerja dengan baik karena cacat tubuh, buta, atau menderita penyakit berat. Dia juga berpesan kepada yayasan membantu korban bencana alam tanpa membedakan kebangsaan atau etnisnya.

Sayangnya setelah Tjong A Fie meninggal, seiring berjalannya waktu, semua harta peninggalan baik perkebunan, bank, pertambangan, dan rumah, habis. Kini, salah satu jejak kekayaan Tjong A Fie bisa dilihat di Jalan Ahmad Yani atau Jalan Kesawan, Medan. Kediamannya yang didirikan pada tahun 1895 itu dikenal sebagai Tjong A Fie Mansion. Rumah ini dibuka untuk umum pada 18 Juni 2009, memperingati ulang tahun Tjong A Fie ke-150. Bangunan berarsitektur China, Melayu dan Art Deco ini menjadi salah satu objek wisata bersejarah di Medan.

Sementara jejak kakaknya Tjong Yong Hian dapat dilihat di Jembatan Kebajikan di Jalan Zainul Arifin, Kampong Madras, yang dibangun tahun 1916. Jembatan di atas Sungai Babura ini memang sengaja dibangun oleh putranya untuk mengenang Tjong Yong Hian. Di Kota Medan juga ada jalan yang dinamai Pemkot Medan sebagai Jalan Tjong Yong Hian.

Sumber:
Benny G Setiono, Tionghoa dalam Pusaran Politik, Mengungkap Fakta Sejarah Tersembunyi Orang Tionghoa di Indonesia, Jakarta: Penerbit TransMedia, 2018.
http://tjongafiemansion.org/
Wikipedia
(mcm)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3361 seconds (0.1#10.140)