Warga NU Jabar Tolak Calon Kepala Daerah Pendukung Kebijakan FDS

Warga NU Jabar Tolak Calon Kepala Daerah Pendukung Kebijakan FDS
A
A
A
BANDUNG - Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Barat mengeluarkan pernyataan sikap menolak calon kepala daerah di seluruh Jabar, termasuk calon gubernur/wakil gubernur Jabar yang mendukung kebijakan lima hari sekolah/delapan jam sehari (full day school/FDS).
Pernyataan tegas tersebut sekaligus menjadi instruksi bagi seluruh warga NU agar tidak memberikan dukungannya kepada calon kepala daerah yang mendukung atau menerapkan kebijakan yang dikeluarkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan itu.
"Keluarga Besar Nahdlatul Ulama Jawa Barat tidak akan mendukung calon kepala daerah yang mendukung penerapan kebijakan full day school," tegas Ketua PWNU Jabar Hasan Nuri Hidayatullah dalam acara Halaqoh Peran Madrasah dan Pondok Pesantren dalam Menjaga Moralitas dan Pengembangan Wawasan Keberagaman Generasi Muda di Sekretariat PWNU Jabar, Jalan Terusan Galunggung, Kota Bandung, Sabtu (12/8/2017).
Dia menyatakan, penarikan dukungan terhadap calon kepala daerah yang mendukung kebijakan FDS menjadi hal penting agar calon kepala daerah yang terpilih nanti memiliki pemahaman yang sama dalam memandang kebijakan tersebut. "Ini penting karena umara dengan masyarakat harus sama," katanya.
Menurut dia, kebijakan FDS melanggar undang-undang karena bertentangan dengan Pasal 51 Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) yang mengamanatkan pengelolaan pendidikan dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan minimal berbasis sekolah/madrasah. "Kebijakan tersebut tidak senapas dengan UU Sisdiknas yang selama ini cukup demokratis."
Selain itu, penerapan kebijakan FDS yang tertuang dalam Permendikbud Nomor 23/2017 pun melanggar Pasal 55 Undang-Undang tentang Guru dan Dosen yang mengatur batasan jam mengajar di sekolah.
"Dalam undang-undang diatur batasan jam mengajar guru sekurang-kurangnya 24 jam tatap muka dan sebanyak-banyaknya 40 jam tatap muka dalam satu minggu. Kebijakan ini berpotensi besar melampaui batasan jam mengajar."
Kebijakan FDS yang diklaim bertujuan untuk membentuk karakter generasi bangsa pun dinilainya keliru. Dia menegaskan, pembentukan karakter dengan penambahan jam sekolah merupakan hal berbeda. Sebab, pembentukan karakter tidak secara otomatis dapat dicapai dengan jalan menambahkan jam sekolah.
"Alasan full day school untuk menghindarkan anak-anak dari pergaulan bebas karena ditinggalkan orang tuanya seharian juga tidak sepenuhnya benar. Sebab, tidak semua orang tua didik bekerja seharian penuh, terutama para orang tua yang tinggal di pelosok," jelasnya.
Terlebih, berdasarkan kajian mendalam yang dilakukan pihaknya, mayoritas lembaga pendidikan di Jabar belum siap menerima kebijakan tersebut, baik kesiapan fasilitas penunjang maupun sumber daya manusia (SDM)-nya. "Berdasarkan latar belakang tersebut, kami menolak kebijakan full day school," tandasnya.
Baca Juga: Eksponen AMM: Permendikbud Bukan untuk Kepentingan Muhammadiyah(zik)
Pernyataan tegas tersebut sekaligus menjadi instruksi bagi seluruh warga NU agar tidak memberikan dukungannya kepada calon kepala daerah yang mendukung atau menerapkan kebijakan yang dikeluarkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan itu.
"Keluarga Besar Nahdlatul Ulama Jawa Barat tidak akan mendukung calon kepala daerah yang mendukung penerapan kebijakan full day school," tegas Ketua PWNU Jabar Hasan Nuri Hidayatullah dalam acara Halaqoh Peran Madrasah dan Pondok Pesantren dalam Menjaga Moralitas dan Pengembangan Wawasan Keberagaman Generasi Muda di Sekretariat PWNU Jabar, Jalan Terusan Galunggung, Kota Bandung, Sabtu (12/8/2017).
Dia menyatakan, penarikan dukungan terhadap calon kepala daerah yang mendukung kebijakan FDS menjadi hal penting agar calon kepala daerah yang terpilih nanti memiliki pemahaman yang sama dalam memandang kebijakan tersebut. "Ini penting karena umara dengan masyarakat harus sama," katanya.
Menurut dia, kebijakan FDS melanggar undang-undang karena bertentangan dengan Pasal 51 Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) yang mengamanatkan pengelolaan pendidikan dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan minimal berbasis sekolah/madrasah. "Kebijakan tersebut tidak senapas dengan UU Sisdiknas yang selama ini cukup demokratis."
Selain itu, penerapan kebijakan FDS yang tertuang dalam Permendikbud Nomor 23/2017 pun melanggar Pasal 55 Undang-Undang tentang Guru dan Dosen yang mengatur batasan jam mengajar di sekolah.
"Dalam undang-undang diatur batasan jam mengajar guru sekurang-kurangnya 24 jam tatap muka dan sebanyak-banyaknya 40 jam tatap muka dalam satu minggu. Kebijakan ini berpotensi besar melampaui batasan jam mengajar."
Kebijakan FDS yang diklaim bertujuan untuk membentuk karakter generasi bangsa pun dinilainya keliru. Dia menegaskan, pembentukan karakter dengan penambahan jam sekolah merupakan hal berbeda. Sebab, pembentukan karakter tidak secara otomatis dapat dicapai dengan jalan menambahkan jam sekolah.
"Alasan full day school untuk menghindarkan anak-anak dari pergaulan bebas karena ditinggalkan orang tuanya seharian juga tidak sepenuhnya benar. Sebab, tidak semua orang tua didik bekerja seharian penuh, terutama para orang tua yang tinggal di pelosok," jelasnya.
Terlebih, berdasarkan kajian mendalam yang dilakukan pihaknya, mayoritas lembaga pendidikan di Jabar belum siap menerima kebijakan tersebut, baik kesiapan fasilitas penunjang maupun sumber daya manusia (SDM)-nya. "Berdasarkan latar belakang tersebut, kami menolak kebijakan full day school," tandasnya.
Baca Juga: Eksponen AMM: Permendikbud Bukan untuk Kepentingan Muhammadiyah(zik)