Ombudsman Terima 37 Aduan Pungli Sekolah di Jabar
A
A
A
BANDUNG - Ombudsman Perwakilan Jawa Barat (Jabar) menerima 120 aduan masyarakat terkait permasalahan Penerimaan Perserta Didik Baru (PPDB) tingkat SMA/SMK di Jawa Barat. Dari jumlah aduan itu, terdapat 37 aduan terkait pungutan liar (pungli).
Ketua Ombudsman Perwakilan Jabar Haneda Sri Lastoto mengungkapkan, sejumlah permasalahan yang terjadi, di antaranya diakibatkan kesalahan sistemik dan administratif yang mendasar yang dilakukan pihak penyelenggara. Selain itu, terjadi pula pelanggaran dengan modus operandi yang terus berulang setiap tahunnya yang dilakukan oknum masyarakat dan oknum sekolah.
"Harus ada komitmen bersama untuk perbaikan pelayanan publik dalam pendidikan," tegas Haneda dalam acara Workshop Deseminasi Hasil Rapid Assesment dan Hasil Pemantauan tentang PPDB 2017 Jabar di Hotel Nexa Kota Bandung, Selasa (8/8/2017).
Haneda memaparkan, kasus yang kembali ditemukan pihaknya, yakni calo jual beli kursi di sekolah, pengurangan kuota siswa rawan meneruskan pendidikan (RMP), hingga pelaksanaan PPDB jalur perjanjian yang menyalahi aturan.
Haneda menekankan, hal yang paling menjadi sorotan pihaknya, yakni petunjuk teknis (juknis) dari Kementerian Pendidikan yang dinilainya terlambat. Kondisi tersebut berdampak pada aturan pemerintah daerah yang tidak matang dan terkesan dipaksakan.
Di lapangan, Ombudsman juga menyoroti praktik jual beli kursi yang ditemukan di sejumlah daerah, terutama di sekolah-sekolah negeri favorit. Kasus tersebut, di antaranya ditemukan di Purwakarta, Kota Bandung, dan Kabupaten Subang.
Menurut Haneda, calo jual beli kursi sekolah ini diketahui oknum ormas, LSM, hingga pihak sekolah yang memanfaatkan keinginan orang tua untuk menyekolahkan anaknya ke sekolah pavorit demi mendapatkan keuntungan ekonomi.
"Kami harus menyebutnya dengan calo, kita punya videonya. Bagaimana negosiasi, berapa uangnya, kemudian dengan siapa, itu terekam semua. Angka yang tertinggi Rp35 juta,” katanya.
Seperti di Purwakarta, jual beli kuota akademik oleh oknum ormas nilainya sampai Rp10 juta per orang. Di Subang, jual beli kuota akademik oleh oknum nilainya mencapai Rp5 juta sampai Rp15 juta.
Modus pungli lainnya yang dilakukan pihak sekolah terhadap orang tua siswa, yakni dengan modus penjualan seragam dan buku. Sumbangan ini dikatakan pungli karena tidak sesuai dengan prosedur pemungutan sumbangan.
"Di Cimahi ada yang memungut untuk membeli seragam, buku pelajaran yang memang tidak boleh. Sumbangan yang boleh itu harus sesuai PP (Peraturan Pemerintah) Nomor 48/2008. Ada rapat komite dengan orang tua terlebih dahulu," jelasnya.
Haneda mengaku telah melaporkan temuan pihaknya itu kepada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) untuk segera ditindaklanjuti. Ombudsman juga bekerja sama dengan Tim Saber Pungli terkait pungutan yang tidak sesuai prosedur untuk diselidiki lebih lanjut.
Ketua Ombudsman Perwakilan Jabar Haneda Sri Lastoto mengungkapkan, sejumlah permasalahan yang terjadi, di antaranya diakibatkan kesalahan sistemik dan administratif yang mendasar yang dilakukan pihak penyelenggara. Selain itu, terjadi pula pelanggaran dengan modus operandi yang terus berulang setiap tahunnya yang dilakukan oknum masyarakat dan oknum sekolah.
"Harus ada komitmen bersama untuk perbaikan pelayanan publik dalam pendidikan," tegas Haneda dalam acara Workshop Deseminasi Hasil Rapid Assesment dan Hasil Pemantauan tentang PPDB 2017 Jabar di Hotel Nexa Kota Bandung, Selasa (8/8/2017).
Haneda memaparkan, kasus yang kembali ditemukan pihaknya, yakni calo jual beli kursi di sekolah, pengurangan kuota siswa rawan meneruskan pendidikan (RMP), hingga pelaksanaan PPDB jalur perjanjian yang menyalahi aturan.
Haneda menekankan, hal yang paling menjadi sorotan pihaknya, yakni petunjuk teknis (juknis) dari Kementerian Pendidikan yang dinilainya terlambat. Kondisi tersebut berdampak pada aturan pemerintah daerah yang tidak matang dan terkesan dipaksakan.
Di lapangan, Ombudsman juga menyoroti praktik jual beli kursi yang ditemukan di sejumlah daerah, terutama di sekolah-sekolah negeri favorit. Kasus tersebut, di antaranya ditemukan di Purwakarta, Kota Bandung, dan Kabupaten Subang.
Menurut Haneda, calo jual beli kursi sekolah ini diketahui oknum ormas, LSM, hingga pihak sekolah yang memanfaatkan keinginan orang tua untuk menyekolahkan anaknya ke sekolah pavorit demi mendapatkan keuntungan ekonomi.
"Kami harus menyebutnya dengan calo, kita punya videonya. Bagaimana negosiasi, berapa uangnya, kemudian dengan siapa, itu terekam semua. Angka yang tertinggi Rp35 juta,” katanya.
Seperti di Purwakarta, jual beli kuota akademik oleh oknum ormas nilainya sampai Rp10 juta per orang. Di Subang, jual beli kuota akademik oleh oknum nilainya mencapai Rp5 juta sampai Rp15 juta.
Modus pungli lainnya yang dilakukan pihak sekolah terhadap orang tua siswa, yakni dengan modus penjualan seragam dan buku. Sumbangan ini dikatakan pungli karena tidak sesuai dengan prosedur pemungutan sumbangan.
"Di Cimahi ada yang memungut untuk membeli seragam, buku pelajaran yang memang tidak boleh. Sumbangan yang boleh itu harus sesuai PP (Peraturan Pemerintah) Nomor 48/2008. Ada rapat komite dengan orang tua terlebih dahulu," jelasnya.
Haneda mengaku telah melaporkan temuan pihaknya itu kepada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) untuk segera ditindaklanjuti. Ombudsman juga bekerja sama dengan Tim Saber Pungli terkait pungutan yang tidak sesuai prosedur untuk diselidiki lebih lanjut.
(rhs)