Ahli Pidana Dicecar tentang UU ITE di Sidang Buni Yani
A
A
A
BANDUNG - Ahli hukum pidana Dr Effendi Saragih SH MH hadir sebagai saksi pertama dalam sidang lanjutan perkara pelanggaran Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dengan terdakwa Buni Yani, di Gedung Perpustakaan dan Kearsipan Kota Bandung, Jalan Seram, Selasa (8/8/2018).
Dalam sidang, dosen Universitas Trisakti itu dicecar tentang Pasal 28 ayat 2 dan Jo Pasal 45 ayat 1 dan Pasal 32 ayat 2 juncto Pasal 48 ayat 2 UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE.
Sebelum cecaran pertanyaan dilontarkan JPU dan kuasa hukum, JPU membacakan isi Pasal 28 ayat (2) UU ITE yang berbunyi, setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). Pelanggar dipidana penjara paling lama enam tahun dan atau denda paling banyak Rp1 miliar.
Kemudian dibacakan pula isi Pasal 32 ayat 2 juncto Pasal 48 ayat 1 UU ITE yang berbunyi, setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum dengan cara apapun mengurangi, menambah, memindahkan atau mentransfer informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik kepada sistem elektronik orang lain yang tidak berhak. Pelanggaran terhadap pasal ini akan dikenakan pidana dengan hukuman penjara paling lama 9 tahun dan denda paling banyak Rp3 miliar.
Tim jaksa penuntut umum (JPU) Kejari Depok dan kuasa hukum terdakwa sama-sama menanyakan tentang pasal yang menjerat terdakwa Buni Yani. Namun, tujuan JPU dan kuasa hukum berbeda. Pihak JPU ingin mempertegas bahwa tindakan Buni Yani memposting status di Facebook dan mengunggah video pidato Ahok di Kepulauan Seribu telah memenuhi unsur pidana, yakni Pasal 28 ayat 2 dan Pasal 32 ayat 2 UU ITE. Sementara kuasa hukum mencecar saksi ahli dengan tujuan agar Buni Yani tidak terbukti melanggar kedua pasal tersebut.
Dosen Universitas Trisakti ini mengatakan, informasi dan dokumen elektronik itu dilindungi. Jika tak dilindungi, orang akan bebas mengurangi atau menambah isi informasi elektronik sehingga tentu akan mengubah arti dan pesan yang sebenarnya tidak sampai. Apalagi perbuatan itu dilakukan tanpa hak. “Undang-undang melarang keras setiap orang untuk mengubah, seperti mengurangi apapun isi informasi dan dokumen elektronik. Satu kata pun tidak boleh,” kata Effendi.
Dalam sidang, dosen Universitas Trisakti itu dicecar tentang Pasal 28 ayat 2 dan Jo Pasal 45 ayat 1 dan Pasal 32 ayat 2 juncto Pasal 48 ayat 2 UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE.
Sebelum cecaran pertanyaan dilontarkan JPU dan kuasa hukum, JPU membacakan isi Pasal 28 ayat (2) UU ITE yang berbunyi, setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). Pelanggar dipidana penjara paling lama enam tahun dan atau denda paling banyak Rp1 miliar.
Kemudian dibacakan pula isi Pasal 32 ayat 2 juncto Pasal 48 ayat 1 UU ITE yang berbunyi, setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum dengan cara apapun mengurangi, menambah, memindahkan atau mentransfer informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik kepada sistem elektronik orang lain yang tidak berhak. Pelanggaran terhadap pasal ini akan dikenakan pidana dengan hukuman penjara paling lama 9 tahun dan denda paling banyak Rp3 miliar.
Tim jaksa penuntut umum (JPU) Kejari Depok dan kuasa hukum terdakwa sama-sama menanyakan tentang pasal yang menjerat terdakwa Buni Yani. Namun, tujuan JPU dan kuasa hukum berbeda. Pihak JPU ingin mempertegas bahwa tindakan Buni Yani memposting status di Facebook dan mengunggah video pidato Ahok di Kepulauan Seribu telah memenuhi unsur pidana, yakni Pasal 28 ayat 2 dan Pasal 32 ayat 2 UU ITE. Sementara kuasa hukum mencecar saksi ahli dengan tujuan agar Buni Yani tidak terbukti melanggar kedua pasal tersebut.
Dosen Universitas Trisakti ini mengatakan, informasi dan dokumen elektronik itu dilindungi. Jika tak dilindungi, orang akan bebas mengurangi atau menambah isi informasi elektronik sehingga tentu akan mengubah arti dan pesan yang sebenarnya tidak sampai. Apalagi perbuatan itu dilakukan tanpa hak. “Undang-undang melarang keras setiap orang untuk mengubah, seperti mengurangi apapun isi informasi dan dokumen elektronik. Satu kata pun tidak boleh,” kata Effendi.
(mcm)