Gubernur DIY Hanya Boleh Gunakan Nama Sesuai UUK
A
A
A
YOGYAKARTA - Sri Sultan Hamengku Buwono X dan Paku Alam X resmi ditetapkan sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DIY periode 2017-2022 oleh DPRD DIY melalui Rapat Paripurna Penetapan di Gedung DPRD DIY, Rabu (2/8/2017).
Secara aklamasi anggota Dewan yang hadir menyetujui Sri Sultan Hamengku Buwono X dan Paku Alam X ditetapkan sebagai gubernur dan wakil gubernur periode 2017-2022.
Ketua DPRD DIY Yoeke Indra Agung Laksana pun langsung mengetok palu menyatakan keduanya sah ditetapkan sebagai gubernur dan wakil gubernur.
Sebelum palu diketok, juru bicara Pansus Penetapan, Arif Noor Hartanto yang juga wakil Ketua DPRD DIY membacakan laporan hasil pansus penetapan di dalam rapat paripurna.
Inung- sapaan Arif Noor Hartanto menyebut Pansus ada beberapa hal yang membutuhkan klarifikasi yakni berkenaan dengan persyaratan calon gubernur DIY. Di antaranya adalah terkait surat pengukuhan yang menyatakan Sri Sultan Hamangku Buwono X bertahta di Kasultananan Yogyakarta.
Atas penjelasan yang diberikan perwakilan Kawedanan Hageng Panitrapuro, pansus menyimpulkan bahwa nama yang diajukan sebagai calon Gubernur DIY adalah nama yang diatur dalam Pasal 1 angka 4 UU No 13 /2012 tentang Keistimewaan DIY (UUK) yakni Ngarsa Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono Senapati Ing Ngalaga Ngabdurrakhman Sayidin Panatagama Kalifullah.
“Oleh karena itu calon gubernur yang dimaksud adalah Sultan Hamengku Buwono X sehingga tidak dikenal nama lain sebagaimana dimaksud dalam UU No 13 /2012 tentang Keistimewan DIY,” terang Inung.
Seperti diketahui, polemik soal nama ini muncul setelah 30 April 2015 Sultan mengeluarkan Sabdaraja yang mengganti namanya menjadi Hamengku Bawono Ka 10. Sabdaraja ini kemudian ditindaklanjuti dengan undhang (semacam surat keputusan) nomor 080/KHPP/rejep V/EHE.1948.2015 yang dikeluarkan oleh Kawedanan Hageng Panitra Pura pada 4 Mei 2015 dan ditandatangani oleh GKR Condrokirono.
Selama ini dalam kegiatan-kegiatan internal Keraton Sultan menggunakan nama Hamengku Bawono Ka 10, sementara dalam kegiatan di luar utamanya terkait dengan jabatan gubernur digunakan nama Sri Sultan Hamengku Buwono X.
Sementara itu ditanya wartawan perihal catatan pansus penetapan yang menyebut tidak dikenal nama lain selain seperti yang tertuang dalam UUK DIY, Sri Sultan menanggapi dengan santai “ Ya ndak apa-apa, itu namanya. Kalau tidak sesuai malah bertentangan (dengan UUK),” ujarnya.
Saat ditanya apakah hal itu berarti Sabdaraja sudah tidak berlaku lagi, Sultan hanya menjawab singkat. “Itu persoalan lain,” tegasnya.
Perihal nama soal dua nama ini, permaisuri Keraton Yogyakarta, GKR Hemas menyebut bahwa soal nama lainnya tersebut adalah hak Sultan. Ditanya lebih jauh apakah nantinya nama Bawono Ka 10 tetap akan digunakan, mantan wakil ketua DPD RI ini menjawab diplomatis.
“Sebetulnya tergantung situasional, itu hak Sultan melakukan perubahan nama dan itu bukan wilayah DPR. Itu nama intern kan boleh saja to, itu (hak) pribadinya,” terangnya.
Secara aklamasi anggota Dewan yang hadir menyetujui Sri Sultan Hamengku Buwono X dan Paku Alam X ditetapkan sebagai gubernur dan wakil gubernur periode 2017-2022.
Ketua DPRD DIY Yoeke Indra Agung Laksana pun langsung mengetok palu menyatakan keduanya sah ditetapkan sebagai gubernur dan wakil gubernur.
Sebelum palu diketok, juru bicara Pansus Penetapan, Arif Noor Hartanto yang juga wakil Ketua DPRD DIY membacakan laporan hasil pansus penetapan di dalam rapat paripurna.
Inung- sapaan Arif Noor Hartanto menyebut Pansus ada beberapa hal yang membutuhkan klarifikasi yakni berkenaan dengan persyaratan calon gubernur DIY. Di antaranya adalah terkait surat pengukuhan yang menyatakan Sri Sultan Hamangku Buwono X bertahta di Kasultananan Yogyakarta.
Atas penjelasan yang diberikan perwakilan Kawedanan Hageng Panitrapuro, pansus menyimpulkan bahwa nama yang diajukan sebagai calon Gubernur DIY adalah nama yang diatur dalam Pasal 1 angka 4 UU No 13 /2012 tentang Keistimewaan DIY (UUK) yakni Ngarsa Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono Senapati Ing Ngalaga Ngabdurrakhman Sayidin Panatagama Kalifullah.
“Oleh karena itu calon gubernur yang dimaksud adalah Sultan Hamengku Buwono X sehingga tidak dikenal nama lain sebagaimana dimaksud dalam UU No 13 /2012 tentang Keistimewan DIY,” terang Inung.
Seperti diketahui, polemik soal nama ini muncul setelah 30 April 2015 Sultan mengeluarkan Sabdaraja yang mengganti namanya menjadi Hamengku Bawono Ka 10. Sabdaraja ini kemudian ditindaklanjuti dengan undhang (semacam surat keputusan) nomor 080/KHPP/rejep V/EHE.1948.2015 yang dikeluarkan oleh Kawedanan Hageng Panitra Pura pada 4 Mei 2015 dan ditandatangani oleh GKR Condrokirono.
Selama ini dalam kegiatan-kegiatan internal Keraton Sultan menggunakan nama Hamengku Bawono Ka 10, sementara dalam kegiatan di luar utamanya terkait dengan jabatan gubernur digunakan nama Sri Sultan Hamengku Buwono X.
Sementara itu ditanya wartawan perihal catatan pansus penetapan yang menyebut tidak dikenal nama lain selain seperti yang tertuang dalam UUK DIY, Sri Sultan menanggapi dengan santai “ Ya ndak apa-apa, itu namanya. Kalau tidak sesuai malah bertentangan (dengan UUK),” ujarnya.
Saat ditanya apakah hal itu berarti Sabdaraja sudah tidak berlaku lagi, Sultan hanya menjawab singkat. “Itu persoalan lain,” tegasnya.
Perihal nama soal dua nama ini, permaisuri Keraton Yogyakarta, GKR Hemas menyebut bahwa soal nama lainnya tersebut adalah hak Sultan. Ditanya lebih jauh apakah nantinya nama Bawono Ka 10 tetap akan digunakan, mantan wakil ketua DPD RI ini menjawab diplomatis.
“Sebetulnya tergantung situasional, itu hak Sultan melakukan perubahan nama dan itu bukan wilayah DPR. Itu nama intern kan boleh saja to, itu (hak) pribadinya,” terangnya.
(sms)