Krisis Air Bersih Melanda Empat Desa di Purwakarta
A
A
A
PURWAKARTA - Empat desa di Kecamatan Bojong, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat, dilanda krisis air bersih. Keempat desa tersebut, yakni Desa Bojong Barat, Pangkalan, Sukamanah, dan Cipeundey. Namun kondisi paling parah terjadi di Desa Cipeundeuy.
Awalnya keempat desa itu mendapat pasokan dari sumber mata air dari Desa Cihanjawar yang berjarak puluhan kilometer. Desa Cipeundeuy merupakan wilayah terakhir yang mendapat pasokan air dengan debit sangat kecil. Sebab, debit air sudah banyak terkurangi oleh warga desa lain sebelum Desa Cipeundeuy.
Kepala Desa Cipeundeuy, Usep mengungkapkan, di wilayahnya air menjadi barang langka. Warga sudah berkali-kali menggali sumur dengan kedalaman sekitar 30 meter, hasilnya tetap kering. Akibatnya, 1.400 kepala keluarga di desanya harus berhemat menggunakan air. β"Di desa kami, sumur sudah tidak bisa diandalkan lagi,β kata Usep kepada SINDOnews, Senin (24/7/2017).
Menurut dia, ada satu sumber mata air di desanya yang bisa digunakan, yakni sumber air Cijanun. Namun perlu pompa besar untuk menyedot dan menyuplai air agar sampai ke permukiman dengan ketinggian sekitar 150 meter. Sementara dana yang dibutuhkan untuk pengadan pompa ini mencapai sekitar Rp1 miliar dan tidak bisa mengandalkan alokasi dana desa (ADD) yang hanya Rp800 juta per tahun.
Kondisi seperti ini sudah berlangsung cukup lama. Warga belum menemukan solusi atas krisis air yang melanda desanya itu. Warga pernah pula berupaya membuat sumur resapan. Namun, upaya itu selalu gagal karena air hilang ke dalam tanah. Padahal, hampir semua rumah sudah membuat sumur resapan. Selain itu, berbagai bantuan dari pemerintah telah disalurkan ke Desa Cipeundeuy, tapi tetap belum membuahkan hasil.
Sementara salah seorang warga mengaku terpaksa patungan dengan tetangganya untuk membeli air dari mobil tangki. Harganya lumayan mahal, Rp130.000 untuk setiap tangki. Kapasitasnya sebanyak 820 liter. Air sebanyak itu hanya cukup untuk keperluan empat hari.
βItu pun kami harus membatasi intensitas mandi. Kalau sedang kemarau, mandi sekali saja sudah bagus. Bahkan kami tidak jarang sampai tidak mandi,β ujar seorang warga.
Dia menambahkan, ketika musim hujan tiba, kebutuhan air sedikit tertanggulangi dengan membuat bak-bak penampungan. Namun, kualitasnya tetap sangat berbeda antara air hujan dengan sumber mata air.
Awalnya keempat desa itu mendapat pasokan dari sumber mata air dari Desa Cihanjawar yang berjarak puluhan kilometer. Desa Cipeundeuy merupakan wilayah terakhir yang mendapat pasokan air dengan debit sangat kecil. Sebab, debit air sudah banyak terkurangi oleh warga desa lain sebelum Desa Cipeundeuy.
Kepala Desa Cipeundeuy, Usep mengungkapkan, di wilayahnya air menjadi barang langka. Warga sudah berkali-kali menggali sumur dengan kedalaman sekitar 30 meter, hasilnya tetap kering. Akibatnya, 1.400 kepala keluarga di desanya harus berhemat menggunakan air. β"Di desa kami, sumur sudah tidak bisa diandalkan lagi,β kata Usep kepada SINDOnews, Senin (24/7/2017).
Menurut dia, ada satu sumber mata air di desanya yang bisa digunakan, yakni sumber air Cijanun. Namun perlu pompa besar untuk menyedot dan menyuplai air agar sampai ke permukiman dengan ketinggian sekitar 150 meter. Sementara dana yang dibutuhkan untuk pengadan pompa ini mencapai sekitar Rp1 miliar dan tidak bisa mengandalkan alokasi dana desa (ADD) yang hanya Rp800 juta per tahun.
Kondisi seperti ini sudah berlangsung cukup lama. Warga belum menemukan solusi atas krisis air yang melanda desanya itu. Warga pernah pula berupaya membuat sumur resapan. Namun, upaya itu selalu gagal karena air hilang ke dalam tanah. Padahal, hampir semua rumah sudah membuat sumur resapan. Selain itu, berbagai bantuan dari pemerintah telah disalurkan ke Desa Cipeundeuy, tapi tetap belum membuahkan hasil.
Sementara salah seorang warga mengaku terpaksa patungan dengan tetangganya untuk membeli air dari mobil tangki. Harganya lumayan mahal, Rp130.000 untuk setiap tangki. Kapasitasnya sebanyak 820 liter. Air sebanyak itu hanya cukup untuk keperluan empat hari.
βItu pun kami harus membatasi intensitas mandi. Kalau sedang kemarau, mandi sekali saja sudah bagus. Bahkan kami tidak jarang sampai tidak mandi,β ujar seorang warga.
Dia menambahkan, ketika musim hujan tiba, kebutuhan air sedikit tertanggulangi dengan membuat bak-bak penampungan. Namun, kualitasnya tetap sangat berbeda antara air hujan dengan sumber mata air.
(mcm)