Perjuangan Gigih Rakyat Kerinci Melawan Penjajah Belanda
A
A
A
Bumi alam Kerinci sepanjang sejarah dikenal sebagai daerah yang damai dan tenang. Kehidupan masyarakat alam Kerinci yang harmonis ditandai dengan adanya hubungan diplomasi dengan Kerajaan Melayu Jambi dan Majapahit di pulau Jawa serta dengan Indrapura.
Bukti dalam 'Tambo Kerinci' menyebutkan bahwa sekitar 450 tahun yang silam, Sultan Permansyah dari Indrapura pernah melakukan perang terbuka dengan Belanda.
Pada waktu itu Sultan Permansyah mengundang Rajo Mudo dari alam Kerinci untuk membantu Indrapura yang berperang dan bertempur selama 9 bulan.
Bantuan yang diberikan Rajo Mudo membuat penjajah Belanda mengundurkan diri meninggalkan Indrapura, kemudian diganti oleh Inggris dari Bengkulu. Ini menunjukkan suku Kerinci telah menjalin hubungan baik dengan daerah luar alam Kerinci.
Bukti lain yang terdapat dalam tulisan yang ada dalam 'Tambo' disebutkan bahwa para pemimpin dan rakyat Suku Kerinci telah menjalin hubungan erat dengan kerajaan Jambi, bukti adanya hubungan yang baik itu dapat dilihat dalam surat Pangeran Suria Karta Negara (1100.H).
Surat Pangeran Suta Wijaya (1116H), Surat Pangeran Suria Kusuma dan surat Pangeran Rata. Surat Sultan Ahmad Badaruddin, Surat Pangeran Citra Puspa (1340.H), Surat Pangeran Temenggung Mangku Negara dan beberapa surat surat lainnya yang berasal dari pemerintahan kerajaan jambi.
Para Sejarawan memperkirakan alam Kerinci dan rakyatnya sejak masa HinduBudha telah menjalin hubungan dengan daerahdaerah di sekitar alam Kerinci.
Puncak hubungan baik itu terjadi sekitar tahun 1815 (awal abad ke 19), pada tahun itu Belanda berhasil mencengkeramkan kuku imprealisnya di daerah Muko- muko dan Inderapura,jiwa menjajah yang tertanam paada imprealis Belanda terus berusaha untuk menguasai semua persada nusantara.
Menurut H.Sutan Kari,BA (Alm) dan Iskandar Zakaria Sejarawan dan Budayawan Kerinci, Kekayaan alam Kerinci terutama kekayaan hasil pertanian dan perkebunan yang melimpah kesuburan tanah dan panorama alamnya yang mempesona mengundang niat Belanda untuk menguasai bumi alam Kerinci yang kaya subur dan mempesona.
Awal tahun 1900 penjajah Belanda dengan bala tentaranya dari wilayah Muko muko mengirimkan pasukannya berpatroli di bukit Sitinjau laut.
Di kawasan puncak Gunung Raya mendirikan pesanggrahan dan memasang tanda sebagai peringatan dan pemberitahuan bahwa Belanda telah memasuki kawasan alam Kerinci.
Melihat sikap Balatentara Belanda yang mulai mengibarkan bendera perang dan menunjukkan itikad tidak baik membuat rakyat Kerinci menjadi marah.
Para depati- depati, Hulubalang dan rakyat Kerinci menjadi geram dan marah, utusan tentara Belanda yang dipimpin oleh Imam Marusa dan Imam Mahdi di dicegat dan Iman Marusa ditangkap dan dibunuh di perjalanan oleh hulubalang di bawah pimpinan Depati Parbo dari daerah Lolo dan Depati Agung dari daerah Lempur.
Sedangkan Imam Mahdi dibiarkan hidup dan diperintah untuk kembali menghadap Belanda, peristiwa yang menimpa kedua orang utusan Belanda itu menyulut kemarahan tentara Belanda.
Akibatnya tentara Belanda dengan sikap arogan dan watak imprealis mencari jalan untuk masuk dan menaklukan serta menduduki alam Kerinci. Niat licik dan nafsu ingin mengusai dan menjajah alam dan rakyat Kerinci telah tercium oleh hulubalang-hulubalang se alam Kerinci.
Suku Kerinci yang dikenal sejak zaman prasejarah sebagai suku pemberani dan telah memiliki tingkat kebudayaan dan peradaban serta kecerdasan yang tinggi dengan semangat menyala dan pantang menyerah dengan senjata dan amunisi yang sangat terbatas menghadapi balatentara Belanda yang bersenjata lengkap.
Perang pertama meletus tahun 1901 di kawasan Renah Manjuto laskar hulu balang Kerinci yang berjumlah 18 orang dipimpin Depati Parbo berhasil mematahkan serangan Prajurut Belanda yang berjumlah sekitar 300 orang.
Dengan semangat menyala dan pantang menyerah hulubalang Kerinci berhasil memukul mundur dan menewaskan puluhan tentara Belanda. Tahun itu merupakan tahun dimulainya pertempuran hulubalang alam Kerinci dengan prajurit Penjajah Belanda.
Tokoh dan pemimpin perjuangan rakyat Kerinci yang menonjol disaat itu adalah Depati Parbo bersama hulubalang-hulubalang dari berbagai negeri/dusun di alam Kerinci bahu membahu menghadapi dan berjuang habis-habisan menghadapi kaum Imprealisme Belanda.
Di Ranah Manjuto terjadi penyerangan yang dilakukan oleh pasukan tentara Belanda. Pasukan Belanda dari Indrapura melewati Bukit Sitinjau Laut bersama pasukan Belanda yang didatangkan dari Muko muko dipimpin Kapten Bolmar melakukan penyerangan terhadap markas pejuang Alam Kerinci yang dipimpin Panglima Perang Depati Parbo. Kubu-kubu pertahanan dibangun pasukan Belanda di sebelah Utara Renah Manjuto.
Setelah bermufakat dengan Depati Agung, Depati Parbo mempersiapkan hulubalang-hulubalang yang gigih dan berani mati untuk menyongsong dan melakukan pertempuran hidup mati menghadapi pasukan Belanda yang bersenjata lengkap dan modern.
Setelah berjalan melewati rimba belantara yang ganas, Depati Parbo dan para pejuang beristirahat sambil mempersiapkan makanan untuk makanan sore, sebagian dari pejuang ada yang tidur tiduran sambil melepas lelah.
Tanpa diduga tiba-tiba pasukan Belanda mengepung dan telah berdiri dengan senjata lengkap dihadapan Depati parbo dan para pejuang, dengan kondisi yang belum siap.
Dalam suasana tidak siap para pejuang dengan gagah berani menghadapi serangan musuh, puluhan korban berjatuhan dari kedua belah pihak, beberapa opsir dan serdadu belanda tewas bersimbah darah.
Dengan bekal semangat jihad yang tinggi dan dengan ilmu kebatinan dan ilmu kebal yang dimilikinya, setelah tiga hari bertempur, Depati Parbo dan para pejuang mampu memukul mundur pasukkan Belanda.
sumber:
kerinciinspirasi.blogspot
diolah dari berbagai sumber
Bukti dalam 'Tambo Kerinci' menyebutkan bahwa sekitar 450 tahun yang silam, Sultan Permansyah dari Indrapura pernah melakukan perang terbuka dengan Belanda.
Pada waktu itu Sultan Permansyah mengundang Rajo Mudo dari alam Kerinci untuk membantu Indrapura yang berperang dan bertempur selama 9 bulan.
Bantuan yang diberikan Rajo Mudo membuat penjajah Belanda mengundurkan diri meninggalkan Indrapura, kemudian diganti oleh Inggris dari Bengkulu. Ini menunjukkan suku Kerinci telah menjalin hubungan baik dengan daerah luar alam Kerinci.
Bukti lain yang terdapat dalam tulisan yang ada dalam 'Tambo' disebutkan bahwa para pemimpin dan rakyat Suku Kerinci telah menjalin hubungan erat dengan kerajaan Jambi, bukti adanya hubungan yang baik itu dapat dilihat dalam surat Pangeran Suria Karta Negara (1100.H).
Surat Pangeran Suta Wijaya (1116H), Surat Pangeran Suria Kusuma dan surat Pangeran Rata. Surat Sultan Ahmad Badaruddin, Surat Pangeran Citra Puspa (1340.H), Surat Pangeran Temenggung Mangku Negara dan beberapa surat surat lainnya yang berasal dari pemerintahan kerajaan jambi.
Para Sejarawan memperkirakan alam Kerinci dan rakyatnya sejak masa HinduBudha telah menjalin hubungan dengan daerahdaerah di sekitar alam Kerinci.
Puncak hubungan baik itu terjadi sekitar tahun 1815 (awal abad ke 19), pada tahun itu Belanda berhasil mencengkeramkan kuku imprealisnya di daerah Muko- muko dan Inderapura,jiwa menjajah yang tertanam paada imprealis Belanda terus berusaha untuk menguasai semua persada nusantara.
Menurut H.Sutan Kari,BA (Alm) dan Iskandar Zakaria Sejarawan dan Budayawan Kerinci, Kekayaan alam Kerinci terutama kekayaan hasil pertanian dan perkebunan yang melimpah kesuburan tanah dan panorama alamnya yang mempesona mengundang niat Belanda untuk menguasai bumi alam Kerinci yang kaya subur dan mempesona.
Awal tahun 1900 penjajah Belanda dengan bala tentaranya dari wilayah Muko muko mengirimkan pasukannya berpatroli di bukit Sitinjau laut.
Di kawasan puncak Gunung Raya mendirikan pesanggrahan dan memasang tanda sebagai peringatan dan pemberitahuan bahwa Belanda telah memasuki kawasan alam Kerinci.
Melihat sikap Balatentara Belanda yang mulai mengibarkan bendera perang dan menunjukkan itikad tidak baik membuat rakyat Kerinci menjadi marah.
Para depati- depati, Hulubalang dan rakyat Kerinci menjadi geram dan marah, utusan tentara Belanda yang dipimpin oleh Imam Marusa dan Imam Mahdi di dicegat dan Iman Marusa ditangkap dan dibunuh di perjalanan oleh hulubalang di bawah pimpinan Depati Parbo dari daerah Lolo dan Depati Agung dari daerah Lempur.
Sedangkan Imam Mahdi dibiarkan hidup dan diperintah untuk kembali menghadap Belanda, peristiwa yang menimpa kedua orang utusan Belanda itu menyulut kemarahan tentara Belanda.
Akibatnya tentara Belanda dengan sikap arogan dan watak imprealis mencari jalan untuk masuk dan menaklukan serta menduduki alam Kerinci. Niat licik dan nafsu ingin mengusai dan menjajah alam dan rakyat Kerinci telah tercium oleh hulubalang-hulubalang se alam Kerinci.
Suku Kerinci yang dikenal sejak zaman prasejarah sebagai suku pemberani dan telah memiliki tingkat kebudayaan dan peradaban serta kecerdasan yang tinggi dengan semangat menyala dan pantang menyerah dengan senjata dan amunisi yang sangat terbatas menghadapi balatentara Belanda yang bersenjata lengkap.
Perang pertama meletus tahun 1901 di kawasan Renah Manjuto laskar hulu balang Kerinci yang berjumlah 18 orang dipimpin Depati Parbo berhasil mematahkan serangan Prajurut Belanda yang berjumlah sekitar 300 orang.
Dengan semangat menyala dan pantang menyerah hulubalang Kerinci berhasil memukul mundur dan menewaskan puluhan tentara Belanda. Tahun itu merupakan tahun dimulainya pertempuran hulubalang alam Kerinci dengan prajurit Penjajah Belanda.
Tokoh dan pemimpin perjuangan rakyat Kerinci yang menonjol disaat itu adalah Depati Parbo bersama hulubalang-hulubalang dari berbagai negeri/dusun di alam Kerinci bahu membahu menghadapi dan berjuang habis-habisan menghadapi kaum Imprealisme Belanda.
Di Ranah Manjuto terjadi penyerangan yang dilakukan oleh pasukan tentara Belanda. Pasukan Belanda dari Indrapura melewati Bukit Sitinjau Laut bersama pasukan Belanda yang didatangkan dari Muko muko dipimpin Kapten Bolmar melakukan penyerangan terhadap markas pejuang Alam Kerinci yang dipimpin Panglima Perang Depati Parbo. Kubu-kubu pertahanan dibangun pasukan Belanda di sebelah Utara Renah Manjuto.
Setelah bermufakat dengan Depati Agung, Depati Parbo mempersiapkan hulubalang-hulubalang yang gigih dan berani mati untuk menyongsong dan melakukan pertempuran hidup mati menghadapi pasukan Belanda yang bersenjata lengkap dan modern.
Setelah berjalan melewati rimba belantara yang ganas, Depati Parbo dan para pejuang beristirahat sambil mempersiapkan makanan untuk makanan sore, sebagian dari pejuang ada yang tidur tiduran sambil melepas lelah.
Tanpa diduga tiba-tiba pasukan Belanda mengepung dan telah berdiri dengan senjata lengkap dihadapan Depati parbo dan para pejuang, dengan kondisi yang belum siap.
Dalam suasana tidak siap para pejuang dengan gagah berani menghadapi serangan musuh, puluhan korban berjatuhan dari kedua belah pihak, beberapa opsir dan serdadu belanda tewas bersimbah darah.
Dengan bekal semangat jihad yang tinggi dan dengan ilmu kebatinan dan ilmu kebal yang dimilikinya, setelah tiga hari bertempur, Depati Parbo dan para pejuang mampu memukul mundur pasukkan Belanda.
sumber:
kerinciinspirasi.blogspot
diolah dari berbagai sumber
(nag)