Dokter Kariadi dan Pertempuran Lima Hari di Semarang
A
A
A
Sosok Dokter Kariadi, selanjutnya ditulis Kariadi, tak bisa dipisahkan dari peristiwa Pertempuan Lima Hari di Semarang, Jawa Tengah, pada 15-19 Oktober 1945. Tewasnya Kariadi menjadi salah satu penyebab pecahnya pertempuran itu. Penyebab lainnya, larinya tentara Jepang.
Dikisahkan, pada 1 Maret 1942, tentara Jepang mendarat di Pulau Jawa. Tujuh hari kemudian, tepatnya 8 Maret, pemerintah kolonial Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang. Sejak saat itu, Indonesia diduduki oleh Jepang
Tiga tahun kemudian, Jepang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu setelah dijatuhkannya bom atom di Hiroshima dan Nagasaki, 6 dan 9 Agustus 1945. Mengisi kekosongan tersebut, Soekarno-Hatta kemudian memproklamasikan kemerdekaan RI pada 17 Agustus1945.
Beberapa bulan setelah Proklamasi Kemerdekaan RI, gejolak terjadi di sejumlah daerah, termasuk di Semarang. Pada 13 Oktober 1945, suasana di Semarang sangat mencekam. Para pemuda pun marah dan rakyat mulai bergerak sendiri-sendiri. Aula RS Pusat Rumah Sakit Rakyat (Purusara) Semarang, tempat Kariadi bertugas, dijadikan markas perjuangan.
Ketika pemuda Indonesia memindahkan tawanan Jepang dari Cepiring ke Bulu, di tengah jalan tawanan kabur dan bergabung dengan pasukan Kidobutai di bawah pimpinan Jenderal Nakamura. Kidobutai terkenal sebagai pasukan yang paling berani.
Setelah kaburnya tawanan Jepang, pada 14 Oktober 1945, pukul 06.30 WIB, pemuda-pemuda rumah sakit mendapat instruksi untuk mencegat dan memeriksa mobil Jepang yang lewat di depan RS Purusara. Mereka menyita sedan milik Kempetai dan merampas senjata mereka.
Sore harinya, para pemuda ikut mencari tentara Jepang dan kemudian menjebloskannya ke Penjara Bulu. Tanpa disangka, pukul 18.00 WIB, pasukan Jepang bersenjata lengkap melancarkan serangan mendadak sekaligus melucuti delapan anggota Polisi Istimewa yang waktu itu sedang menjaga sumber air minum bagi warga Kota Semarang, Reservoir Siranda di Candilama.
Kedelapan anggota Polisi Istimewa itu disiksa dan dibawa ke Markas Kidobutai di Jatingaleh. Sore hari itu pula tersiar kabar tentara Jepang menebarkan racun ke dalam reservoir itu. Kegelisan pun melanda rakyat karena cadangan air tersebut kala itu adalah satu-satunya sumber mata air di Kota Semarang.
Kariadi berniat memastikan kabar tersebut. Selepas Magrib, ada telepon dari pimpinan Rumah Sakit Purusara, yang memberitahukan agar Kariadi, kepala Laboratorium Purusara, segera memeriksa Reservoir Siranda karena berita Jepang menebarkan racun itu. Dengan sigap, Kariadi pun memutuskan harus segera pergi ke sana.
Situasi kala itu sangat berbahaya karena tentara Jepang telah melakukan serangan di beberapa tempat termasuk di jalan menuju ke Reservoir Siranda. Istri Kariadi, drg Soenarti mencoba mencegah suaminya pergi karena keadaan yang sangat genting itu. Namun, Kariadi berpendapat lain.
Dia ngotot ingin menyelidiki kebenaran desas-desus itu karena menyangkut nyawa ribuan warga Semarang. Akhirnya, Soenarti tidak bisa berbuat apa-apa. Kariadi pun berangkat.
Firasat Soenarti terbukti. Saat dalam perjalanan menuju Reservoir Siranda itu, tepatnya di Jalan Pandaran, mobil yang ditumpangi Kariadi dicegat tentara Jepang. Bersama tentara pelajar yang menyopiri mobil yang ditumpanginya, Kariadi ditembak.
Kariadi sempat dibawa ke rumah sakit sekitar pukul 23.30 WIB. Saat tiba di kamar bedah, kondisi Kariadi sudah sangat gawat. Nyawa Kariadi tidak dapat diselamatkan. Pria yang lahir di Malang, 15 September 1905 dan sempat menjadi asisten tokoh pergerakan dr Soetomo itu gugur. Dia dimakamkan di Halaman RS Purusara.
Keesokan harinya, pimpinan Kidobutai memerintahkan sekitar 1.000 tentaranya untuk melakukan penyerangan ke pusat Kota Semarang. Di sisi lain, kabar gugurnya Kariadi yang dengan cepat tersebar dan menyulut kemarahan warga Semarang.
Pertempuran meluas ke berbagai penjuru Kota Semarang, korban berjatuhan. Meski pada 17 Oktober 1945 tentara Jepang minta gencatan senjata, diam-diam mereka melakukan serangan ke berbagai kampung. Pertempuran yang berlangsung hingga 19 Oktober 1945 itu memakan korban 2.000 rakyat Indonesia dan 850 tentara Jepang.
Sementara, pada 5 November 1961, kerangka Kariadi dipindahkan dari Halaman RS Purusara ke Taman Makam Pahlawan Giri Tunggal Semarang. Atas jasa-jasanya, Kariadi dianugerahi Satyalencana Kebaktian Sosial oleh Presiden Soeharto pada Hari Kebangkitan Nasional 20 Mei 1968. Nama Kariadi pun diabadikan menjadi nama salah satu rumah sakit di Semarang.
Sumber: id.wikipedia.org, diolah dari berbagai sumber.
Dikisahkan, pada 1 Maret 1942, tentara Jepang mendarat di Pulau Jawa. Tujuh hari kemudian, tepatnya 8 Maret, pemerintah kolonial Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang. Sejak saat itu, Indonesia diduduki oleh Jepang
Tiga tahun kemudian, Jepang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu setelah dijatuhkannya bom atom di Hiroshima dan Nagasaki, 6 dan 9 Agustus 1945. Mengisi kekosongan tersebut, Soekarno-Hatta kemudian memproklamasikan kemerdekaan RI pada 17 Agustus1945.
Beberapa bulan setelah Proklamasi Kemerdekaan RI, gejolak terjadi di sejumlah daerah, termasuk di Semarang. Pada 13 Oktober 1945, suasana di Semarang sangat mencekam. Para pemuda pun marah dan rakyat mulai bergerak sendiri-sendiri. Aula RS Pusat Rumah Sakit Rakyat (Purusara) Semarang, tempat Kariadi bertugas, dijadikan markas perjuangan.
Ketika pemuda Indonesia memindahkan tawanan Jepang dari Cepiring ke Bulu, di tengah jalan tawanan kabur dan bergabung dengan pasukan Kidobutai di bawah pimpinan Jenderal Nakamura. Kidobutai terkenal sebagai pasukan yang paling berani.
Setelah kaburnya tawanan Jepang, pada 14 Oktober 1945, pukul 06.30 WIB, pemuda-pemuda rumah sakit mendapat instruksi untuk mencegat dan memeriksa mobil Jepang yang lewat di depan RS Purusara. Mereka menyita sedan milik Kempetai dan merampas senjata mereka.
Sore harinya, para pemuda ikut mencari tentara Jepang dan kemudian menjebloskannya ke Penjara Bulu. Tanpa disangka, pukul 18.00 WIB, pasukan Jepang bersenjata lengkap melancarkan serangan mendadak sekaligus melucuti delapan anggota Polisi Istimewa yang waktu itu sedang menjaga sumber air minum bagi warga Kota Semarang, Reservoir Siranda di Candilama.
Kedelapan anggota Polisi Istimewa itu disiksa dan dibawa ke Markas Kidobutai di Jatingaleh. Sore hari itu pula tersiar kabar tentara Jepang menebarkan racun ke dalam reservoir itu. Kegelisan pun melanda rakyat karena cadangan air tersebut kala itu adalah satu-satunya sumber mata air di Kota Semarang.
Kariadi berniat memastikan kabar tersebut. Selepas Magrib, ada telepon dari pimpinan Rumah Sakit Purusara, yang memberitahukan agar Kariadi, kepala Laboratorium Purusara, segera memeriksa Reservoir Siranda karena berita Jepang menebarkan racun itu. Dengan sigap, Kariadi pun memutuskan harus segera pergi ke sana.
Situasi kala itu sangat berbahaya karena tentara Jepang telah melakukan serangan di beberapa tempat termasuk di jalan menuju ke Reservoir Siranda. Istri Kariadi, drg Soenarti mencoba mencegah suaminya pergi karena keadaan yang sangat genting itu. Namun, Kariadi berpendapat lain.
Dia ngotot ingin menyelidiki kebenaran desas-desus itu karena menyangkut nyawa ribuan warga Semarang. Akhirnya, Soenarti tidak bisa berbuat apa-apa. Kariadi pun berangkat.
Firasat Soenarti terbukti. Saat dalam perjalanan menuju Reservoir Siranda itu, tepatnya di Jalan Pandaran, mobil yang ditumpangi Kariadi dicegat tentara Jepang. Bersama tentara pelajar yang menyopiri mobil yang ditumpanginya, Kariadi ditembak.
Kariadi sempat dibawa ke rumah sakit sekitar pukul 23.30 WIB. Saat tiba di kamar bedah, kondisi Kariadi sudah sangat gawat. Nyawa Kariadi tidak dapat diselamatkan. Pria yang lahir di Malang, 15 September 1905 dan sempat menjadi asisten tokoh pergerakan dr Soetomo itu gugur. Dia dimakamkan di Halaman RS Purusara.
Keesokan harinya, pimpinan Kidobutai memerintahkan sekitar 1.000 tentaranya untuk melakukan penyerangan ke pusat Kota Semarang. Di sisi lain, kabar gugurnya Kariadi yang dengan cepat tersebar dan menyulut kemarahan warga Semarang.
Pertempuran meluas ke berbagai penjuru Kota Semarang, korban berjatuhan. Meski pada 17 Oktober 1945 tentara Jepang minta gencatan senjata, diam-diam mereka melakukan serangan ke berbagai kampung. Pertempuran yang berlangsung hingga 19 Oktober 1945 itu memakan korban 2.000 rakyat Indonesia dan 850 tentara Jepang.
Sementara, pada 5 November 1961, kerangka Kariadi dipindahkan dari Halaman RS Purusara ke Taman Makam Pahlawan Giri Tunggal Semarang. Atas jasa-jasanya, Kariadi dianugerahi Satyalencana Kebaktian Sosial oleh Presiden Soeharto pada Hari Kebangkitan Nasional 20 Mei 1968. Nama Kariadi pun diabadikan menjadi nama salah satu rumah sakit di Semarang.
Sumber: id.wikipedia.org, diolah dari berbagai sumber.
(zik)